Rian adalah siswa sekolah menengah atas yang terkenal dengan sebutan "Siswa Kere" karna ia memang siswa miskin no 1 di SMA nya.
Suatu hari, ia menerima Sistem yang membantu meraih puncak kesuksesan nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 - Hadiah Penyelamatan Sasha
Sasha masih terdiam. Kata-kata ayahnya masuk akal, tapi... ada seseorang yang sudah mengisi hatinya.
Dan orang itu… bukanlah seseorang yang Felix harapkan.
- Di Rumah Rian -
Rian mengucek matanya yang masih terasa berat, lalu menghela napas panjang. Sinar matahari yang menyelinap melalui celah jendela membuatnya sedikit menyipit.
Tidurnya memang nyenyak, tapi pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin sore.
Setelah memastikan bahwa Sasha baik-baik saja di rumah sakit, ia memutuskan untuk pulang.
Menginap di hotel bukan pilihan karena ia sadar uangnya mulai menipis.
Tinggal di rumah sakit pun tak nyaman, apalagi suasananya yang penuh dengan bau obat dan suara mesin medis membuatnya sulit beristirahat dengan tenang.
Rian tertegun sejenak saat melihat pesan dari nomor yang tidak dikenal, tapi setelah membaca isi pesan tersebut, hatinya sedikit berdebar. Pesan dari Sasha yang menggunakan nomor perawat itu membuatnya semakin penasaran.
Ia tahu kalau Sasha biasanya tidak begitu mendalam dalam berbicara, jadi jika ia ingin mengungkapkan sesuatu yang serius, pasti ada hal penting yang ingin disampaikan.
Rian memandangi layar handphone-nya, mempertimbangkan apakah ia harus langsung pergi ke rumah sakit atau menunggu besok.
Akhirnya, setelah beberapa detik, ia memutuskan untuk segera membalas pesan tersebut.
"Baik, Sasha. Aku akan datang.
Saat melihat chat itu ia dikagetkan dengan sistem yang ia dapat sebulan yang lalu setelah menyelamatkan nadia, menampilkan layar panel.
Ding! [Notifikasi Tertunda]
Ding! [Misi Selesai]
[Menyelamatkan Sasha dari kecelakaan]
[Hadiah : ???]
Ding! [Hadiah Diberikan]
.....
......
Ding! [Sedang Mengacak Hadiah]
....
....
....
Ding! [Uang Rp.50.000.000]
Wah, aku nggak nyangka hadiah misinya sebesar ini..." gumamnya dalam hati.
Pikiran pertamanya adalah melunasi hutangnya ke Nadia. Uang ini lebih dari cukup untuk membayar semua yang ia pinjam. Tapi kemudian, ia mengerutkan kening. Jika tiba-tiba ia melunasi semuanya dalam semalam, Nadia pasti akan curiga. Dari mana ia mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu singkat?
"Kalau aku kasih tahu soal sistem ini… apakah dia akan percaya? Gak deh nanti dikira gila." pikir Rian
Rian menghela napas dan akhirnya memutuskan untuk menunda pembayaran. Lebih baik ia mencari alasan yang masuk akal sebelum menyerahkan uang itu ke Nadia. Mungkin ia bisa mencicil sedikit demi sedikit agar tidak mencurigakan.
Rian meletakkan ponselnya di atas meja, lalu bangkit dari tempat tidur.
Dengan langkah santai, ia mengambil handuk dan menuju kamar mandi.
Air dingin yang mengalir membasahi tubuhnya langsung membuatnya merasa lebih segar. Ia membiarkan pikirannya kosong sejenak, menikmati sensasi dinginnya air yang mengalir di kulitnya.
Setelah selesai mandi, ia mengenakan pakaian santai dan menuju dapur. Aroma nasi goreng yang baru saja matang langsung menyambutnya. Perutnya yang sejak tadi kosong langsung berbunyi pelan.
Lalu rian pamit kepada ibunya untuk pergi.
Rian segera memesan taksi dan berangkat menuju Rumah Sakit Adana. Jalanan cukup lengang, dan perjalanan terasa cepat meskipun pikirannya masih dipenuhi rasa penasaran tentang apa yang ingin Sasha bicarakan.
Di tengah perjalanan, ia melihat sebuah toko buah di pinggir jalan. Tanpa ragu, ia meminta sopir taksi untuk berhenti sebentar.
"Kalau aku datang dengan tangan kosong, rasanya kurang sopan." pikirnya.
Ia masuk ke dalam toko dan melihat berbagai pilihan buah segar. Setelah berpikir sejenak, ia memilih sebuah parcel buah berisi apel, anggur, jeruk, dan pir, kombinasi yang terlihat segar dan menarik.
Setelah membayar, ia kembali masuk ke taksi dan melanjutkan perjalanan. Parcel buah itu ia letakkan di pangkuannya.
Setelah membayar ongkos taksi, Rian turun dengan parcel buah di tangannya. Ia melangkah masuk ke Rumah Sakit Adana, melewati lorong yang dipenuhi dengan aroma khas antiseptik dan suara pelan perawat yang sibuk bekerja.
Tanpa membuang waktu, ia menuju lift dan menekan tombol ke lantai 3, tempat Sasha dirawat.
- Di Kamar Rawat Inap Sasha -
Saat suasana masih sedikit tegang, pintu kamar Sasha tiba-tiba diketuk.
Tok! Tok!
Felix dan Sasha menoleh bersamaan.
Pintu terbuka, dan sosok Rian muncul di ambang pintu, membawa sebuah parcel buah di tangannya.
Tatapannya sedikit canggung saat melihat Felix ada di sana, tapi ia tetap melangkah masuk.
"Aku membelikan ini untukmu," katanya sambil meletakkan parcel itu di meja kecil di samping ranjang Sasha.
Sasha terkejut sesaat, lalu bibirnya perlahan melengkung membentuk senyum kecil. "Terima kasih, Rian."
"Kenalin Ini Ayahku Rian, Namanya Felix Nargawan" Ucap Sasha
Felix memperhatikan Rian dengan tatapan tajam. Matanya menelisik dari ujung kepala hingga kaki pemuda itu, terlihat pakaian Rian yang memakai celana panjang training dan baju hoodie ala anak remaja.
"Ho.. namanya sama kayak di bicarakan Adian kemarin.. Ini bocah yang mengaku sebagai suami Sasha?" Pikir Felix
Felix menyilangkan tangan di dadanya. "Jadi, kau Rian?"
Rian menundukkan punggungnya, sebagai tanda penghormatan dan setelah itu menatap Felix dengan penuh hormat. "Ya, Pak. Saya Rian."
Felix mengangguk pelan, lalu tanpa basa-basi, bertanya langsung dengan nada serius.
"Kenapa kau mengaku sebagai suami Sasha saat di rumah sakit?"
Rian menelan ludah, merasakan tatapan tajam Felix menusuk dirinya.
"Itu… terpaksa, Pak," jawabnya jujur.
Felix menaikkan alis. "Terpaksa?"
Rian mengangguk cepat. "Saat operasi akan dimulai, pihak rumah sakit meminta keluarga untuk tanda tangan sebagai penanggung jawab. Tapi… saya tidak tahu di mana keluarga Sasha, dan dompetnya tidak ditemukan. Jadi…"
Rian menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Saya tidak punya pilihan lain. Kalau saya tidak segera tanda tangan, operasinya bisa tertunda. Saya tidak bisa membiarkan itu terjadi."
Felix masih menatapnya lekat-lekat, seolah menimbang-nimbang kata-kata Rian.
Sasha yang sejak tadi diam, akhirnya ikut bicara.
" 'Yah', kalau bukan karena Rian… mungkin aku tidak akan selamat."
Felix mengalihkan tatapannya ke putrinya. Ia bisa melihat ketulusan di mata Sasha saat ia berbicara.
Sasha menatap Rian, matanya lembut.
"Dia sudah melakukan banyak hal untukku."
Felix menghela napas panjang. Perasaan di hatinya campur aduk.
Akhirnya, ia kembali menatap Rian dan berkata dengan nada lebih tenang.
"Baiklah. Aku akan mengingat jasamu kali ini."
"Terima Kasih Rian telah menyelamatkan putriku" Ucap Tulus Felix.
Namun, sebelum Rian bisa merasa lega, Felix melanjutkan dengan nada tegas.
"Tapi itu tidak berarti aku sudah setuju padamu."
Rian mengerutkan kening, merasa bingung dengan sikap Felix.
"Aku memang kenapa, Pak?" tanyanya, bingung mencoba mencari jawaban.
Felix tidak langsung menjawab. Matanya langsung menatap Sasha, memperhatikan ekspresinya.
Putrinya yang biasanya cuek dengan pria, dan selalu menjaga jarak… Sekarang, ia tersenyum manis pada Rian. Itu bukan senyum biasa. Itu senyum yang penuh perasaan.
Felix mulai memahami sesuatu.
Sasha-lah yang akhirnya memecah keheningan.
Ia mengambil napas dalam, lalu menatap Rian dengan mata yang berbinar.
"Rian… aku menyukaimu."
Rian terdiam, terkejut akan perkataan Sasha.
Rian ingin menjawab namun mengingat ucapan Felix ia ragu - ragu menjawab.
Felix tetap diam, ia ingin melihat bagaimana Rian merespons.
Sasha melanjutkan, "Aku ingin bersamamu Rian."
Suasana kamar itu menjadi begitu hening.
Felix yang melihat kebingungan di wajah Rian, akhirnya membuka suara.
"Bagaimana? Kau terima atau tidak?"
Nada suaranya datar, tapi tajam.
Sasha ikut menatap Rian, menunggu jawabannya.
Rian menarik napas dalam, kemudian menguatkan hatinya.
"Ya, Pak. Saya menerimanya… dan saya mencintai Sasha."
Sasha tersenyum bahagia, matanya berbinar.
Felix mengangguk pelan, memahami ketulusan di mata Rian.
Tapi kemudian, ekspresinya kembali serius.
"Baik. Tapi ingat satu hal, Rian."
Rian menegakkan tubuhnya, siap mendengar apa yang akan dikatakan Felix.
Felix menatapnya dalam, "Kau harus bekerja keras untuk bisa mendapatkan Sasha. Aku ingin melihat keseriusanmu."
Rian mengangguk mantap. "Saya mengerti, Pak."
Felix melanjutkan, "Setidaknya, bangunlah perusahaan kecil pun tak apa. Itu akan menunjukkan bahwa kau punya masa depan yang jelas."
Sasha terlihat ingin protes, tapi Rian lebih dulu menjawab.
"Baik, Pak. Saya akan membuktikannya."
Felix tersenyum tipis. Lalu melanjutkan perkataannya "Bagus. Aku akan menunggu, tapi-