MENGAMBIL KEMBALI
Selamat membaca
“Kerjakan dengan baik jangan sampai ada kesalahan sekalipun!”perintah Babeh padanya.
Ia menganggukkan kepala sebagai jawaban. Dan menerima kertas yang diberikan Babeh padanya. Setelah Babeh keluar dari kamar, ia pun melangkah menuju balkon kamarnya dan menatap halaman tetangganya.
Ia melihat setiap orang yang ada disana sedang bahagia dalam melepas kepenatan sehari-harinya. Mereka mengobrol banyak hal dan bercanda ria dengan wajah yang senang, menggambarkan bahwa keadaan mereka hari ini begitu menyenangkan.
Setiap sosok yang ada di sana ia pandangi dengan raut wajah bahagia, seakan memancarkan keceriaan. Mulai dari orang dewasa, remaja seumurannya, serta anak kecil yang berlarian dengan melakukan permainan tangkap-tangkap. Dan semua itu, terlihat jelas dari penglihatannya.
Terkadang, ia selalu bermimpi tentang kebahagiaan di dalam keluarganya. Menghabiskan waktu libur dengan berkumpul akrab bersama keluarga terdekat, berbagi cerita tentang keseharian, dan meluapkan keluh kesah tentang sosok-sosok menyebalkan yang mewarnai kesehariannya.
Ia ingin melakukan semua itu, ia ingin melakukannya bersama dengan keluarga. Namun untuk saat ini, dirinya hanya bisa membayangkan semua itu dalam mimpi. Mimpi indah yang setiap malamnya akan selalu hadir ketika tidur. Begitu banyak keinginan yang ingin ia wujudkan meskipun hanya sekali.
Namun itu, hanyalah pengharapan yang tak akan terwujud. Dia iri dengan keadaan tetangganya yang tidak terkekang, dia iri pada setiap orang yang selalu bahagia dan kuat dalam menghadapi rintangan di hadapannya. Terlebih lagi, dukungan yang mereka miliki semakin menguatkan keinginannya untuk merasakannya.
Hidupnya dari ketika ia lahir, sudah ditakdirkan untuk selalu menjadi beban yang seharusnya bukan tanggungannya. Kehidupan yang dijalaninya seolah sudah diatur oleh kedua orangtuanya, bahwa hidupnya tidak bisa dilakukan sesuai kemauannya.
Hidupnya yang penuh dengan ambisi dan pencapaian jika ingin mendapatkan sesuatu lebih. Pencapaian yang harus selalu terpenuhi dan ambisi yang bisa dibilang tidak diinginkannya.
Yang harus ia ambil dan diwujudkan.
Lelah memang jika di rasakannya waktu awal-awal. Namun, ia tidak bisa mengungkapkan kata lelah itu. Akan sangat beresiko bagi dirinya mengucapkan kata itu.
Didikan orang tuanya yang harus selalu diikuti, dan juga harus selalu membuatnya dominan di antara yang lain. Itu, sangat membuatnya tersiksa. Dirinya tidak pernah mengeluh dengan apa yang dilakukan orang tua terhadap dirinya. Ia berpikir semua itu untuk masa depannya yang cerah. Meskipun tersiksa.
Mereka akan melakukan segala cara supaya anak keturunan mereka tidak mengalami kehidupan pahit di masa mendatang. Karena hal itulah, ia tidak berani mengeluh dengan keadaan yang dialaminya. Dirinya lebih baik memendam semuanya sendirian daripada mengungkapkan rasa lelah itu.
Terkadang dia ingin berhenti sejenak dari semua kegiatan rutinnya.Mengistirahatkan pikiran dan mental dari didikan orang tuanya yang selalu membuatnya dominan di antara lainnya. Ia ingin beristirahat, namun kedua orangtuanya seakan tidak perduli dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Ia hanya ingin beristirahat sejenak dari semua rutinitas yang seharusnya tidak dirasakannya dalam umurnya sekarang.
“Kapan ya bisa ngerasain seperti mereka?”
“Raut wajah cerah yang selalu ditampilkan ketika di hari libur, tanpa bayang-bayang tumpukan buku yang harus dipelajari.”
“Mereka melakukan aktivitas yang menyenangkan untuk dirasakan setiap hari.”
“Warna hidup yang cerah dan juga rasa bahagia untuk kehidupan sehari-hari dengan tuntutan yang tak berlebihan.”
Ia menatap halaman rumahnya, membandingkannya dengan kehampaan halaman tetangganya. Kontras yang mencolok terlihat jelas di antara keduanya. Halaman rumahnya hanya dihiasi oleh pepohonan dan tanaman hijau, dilengkapi dengan sebuah kursi yang seolah tak berfungsi, tanpa jejak aktivitas yang menghidupkan suasana.
Sementara itu, di halaman tetangganya, dia menyaksikan banyak orang terlibat dalam beragam permainan dan obrolan ceria, menciptakan atmosfer yang penuh keceriaan. Betapa berbeda dengan halaman rumahnya yang sepi.
Kehidupan yang monoton dan melelahkan menyelimuti harinya. Setelah menjalani aktivitas di luar, ia mengurung diri di kamar, tenggelam dalam lembaran-lembaran buku demi menambah wawasan. Rasa lelahnya begitu mendalam, seolah ingin dia teriakkan di hadapan orangtuanya. Namun, keberanian itu tak pernah ia miliki.
Keberanian yang ia tampilkan selama di luar, itu hanya lah kamuflase pertahanan diri agar dirinya tidak dianggap lemah.
Namun ketika berada di rumah, topeng kuat itu seakan menghilang dari dalam dirinya. Bayang-bayang ketakutan masa kecil dan rasa bersalah terus menghantuinya, menamparnya setiap kali ia terperosok dalam perbuatan yang sama.
“C’mon Erica kamu bukan orang selemah itu”ucapnya dengan memandangi atap balkonnya.
Ucapan yang seakan menjadi penyemangatnya agar tidak lemah, adalah hal yang sering dilakukannya.
Tuntutan dan paksaan yang sering dilakukan kedua orangtuanya, seakan menjadikannya robot untuk selalu berbenah diri setiap saatnya.
Dan ia harus melakukan hal itu agar tidak mendapat pukulan serta cacian yang berakhir trauma pada tubuhnya.
Di satu waktu namun di tempat yang berbeda. Ada yang memandangi Erica dengan tatapan heran.
“Kenapa?”
“Ah nggak papa, yuk turun”ajaknya.
Sekelebat ia melihat seseorang yang terus memandangi rumahnya sedari tadi. Tetangga yang menurutnya begitu misterius dan sulit untuk diajak bersosialisasi.
μμ
Semua pengajaran yang di ucapkan guru privatnya selalu ia pahami dengan mudah. Tak hanya itu, dirinya juga mampu dalam mempelajari hal baru di dunia pengetahuan dengan cepat. Berkat pelatihan yang intensif untuk memahami segala sesuatu dengan cermat, ditambah sikap tegas orang tuanya dalam mendisiplinkannya, ia mampu menyerap informasi dengan kilat.
Membuat nya cepat memahami segala sesuatu dengan cepat.
Dirinya tidak pernah menginjakkan kaki ke sekolah umum. Dia hanya sekolah privat di rumah dengan satu guru yang mengajarnya. Tak punya teman adalah kehidupannya sedari kecil. Saudara yang tidak pernah bisa dekat dengannya, karena orangtuanya selalu memberi jarak padanya.
Sepi yang selalu menemaninya setiap saat, namun ia juga tak bisa munafik. Bahwa ia ingin kebebasan dalam hidupnya.
“Sekarang kamu paham kan?”tanya guru itu padanya.
“Iya”jawabnya singkat. Ia pun menutup bukunya dan merapikannya menjadi satu. Tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih pada gurunya karena telah mengajarkannya.
Setelahnya ia berdiri dari tempatnya dan berjalan menuju kamarnya. Tatapan datar tanpa senyum yang selalu terlihat dan juga rumah sepi tanpa penghuni di dalamnya.
Rumah ini akan ramai jika jam pulang sekolah sudah tiba. Karena adik dan para sepupunya akan berdatangan dengan suara ramai dalam mengisi kesunyian nya.
Ia menarik napas dalam dan mengeluarkan nya perlahan. Menatap atap kamarnya dengan perasaan yang sama. Sepi dan lelah. Ia berjalan menuju tempat balkonnya dan melihat sekeliling rumah yang ada di sekitarnya.
Dia melihat semua aktivitas yang ada di sekitar rumahnya. Bersosialisasi dengan sesama tetangga dan para anak sekolah yang baru pulang. Hal yang tak
pernah terjadi padanya selama ini.
Menatap semua aktivitas yang ada dan membayangkan di antara mereka bahwa dirinya ada di sana.
Dia ingin melakukan semua itu. Kebebasan dalam berekspresi tanpa memenuhi ekspektasi orangtuanya. Adalah kebahagiaan yang ingin sekali diwujudkan nya.
“Enyak Babeh sadar nggak ya kalau aku juga ingin seperti yang lainnya?”
"Mereka menjalani setiap momen dengan penuh kealamian, sementara aku… terkurung dalam sangkar yang dibangun oleh harapan mereka.”
Kesadaran kedua orangtuanya menjadi kunci penting agar ia dapat menikmati pengalaman yang sama seperti saudara-saudaranya.
Namun, kesadaran tersebut tampak sirna menghilangkan jejak, menyisakan dirinya terperangkap dalam bayang-bayang harapan yang tak terwujud.
μμ
“Kenapa kamu nggak becus dalam menangani hal ini Erica?!”bentak Enyak padanya.
“Kamu itu udah belajar banyak hal bahkan Enyak sama Babeh ngeluarin duwit banyak buat kamu paham gimana caranya nyelesain ini masalah, tapi apa tadi?!”marahnya sambil menunjuk dahi Erica dengan jari telunjuknya.
Enyak bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondar-mandir di depan Erica, kemarahan terpancar jelas dari wajahnya yang penuh rasa frustrasi.
Tatapan bingung dan cemas menyatu dalam diri, membuatnya merasa terjebak dalam ketidakpastian. Gelisah, ia menyaksikan orangtuanya yang berputar-putar, seolah tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan cemas yang mendominasi secara bersamaan dengan posisi berdiri. Dan juga perasaan yang khawatir akan suatu sebab membuat orang itu berjalan mondar-mandir.
Ia tahu, baru saja dirinya melakukan kesalahan yang berakibat fatal untuk bisnis orangtuanya. Dan ia tahu bahwa apa yang dilakukannya tadi, membuat kedua orangtuanya marah besar dan
memukulnya berkali-kali.
Ia paling benci dengan kegagalan. Ia paling benci dengan kesedihan. Dan ia paling benci dengan tatapan amarah dari kedua orang tuanya. Dia tidak dapat mengendalikan semua itu, namun dirinya paling tidak senang jika mengalami
hal itu.
Karena setelah mengalami hal itu, tubuhnya harus menerima pukulan berkali-kali serta cacian yang menyayat hati. Ia harus berusaha kuat untuk menahan rasa sakit akibat pukulan itu. Dan menguatkan dirinya setelah mereka selesai memukulinya. Ia tidak berdaya dengan semua itu.
Dia benci dengan kelemahan. Dia benci dengan tatapan remeh kedua orangtunya. Dan dia benci jika harus berpura-pura kuat
untuk menahan rasa sakit itu.
“Pokoknya Enyak enggak mau tahu, kamu harus selesaikan semuanya dengan benar kalau nggak jangan harap bisa keluar kamar ini, ngerti?!!”sentak Enyak padanya dan berjalan keluar dari kamarnya.
Tak lupa wanita itu juga membanting pintu kamarnya dengan keras. Yang artinya menandakan bahwa orang itu sedang tersulut amarah akibat perbuatannya.
Erica berdiri dari duduknya dan berjalan menuju balkonnya. Ia menatap sekeliling rumahnya dan melihat berbagai aktivitas yang menurutnya sangat menyenangkan jika ia juga melakukannya.
Hatinya merasakan kehampaan yang begitu mendalam dengan hal ini. Kemarahan yang ditunjukkan orangtuanya seperti hantaman keras padanya. Perasaan tidak tenang dan juga kepala nya yang pusing. Membuat dirinya tidak mampu untuk mengucapkan satu kata dari mulutnya.
Kelopak mata kendur dan tangisan dengan suara pelan adalah hal baik dalam meredakan rasa sakit tubuhnya akibat pukulan tadi. Pukulan yang diberikan ibunya tadi sangatlah kuat dan mengakibatkan tubuhnya menjadi
berdarah di beberapa titik.
Dia benci menangis, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya dalam menahan rasa sakit. Dia benci menjadi lemah, tapi ia juga tidak kuasa untuk selalu menjadi kuat. Dia ingin kebebasan, dia ingin menjalani kehidupan seperti orang lain yang seumuran dengannya. Ia ingin melakukan apa yang ia suka tanpa paksaan dari orang lain. Ia ingin melakukan apa saja yang diminatinya.
“Kapan aku bisa meraih kebebasan itu?”
“Mengapa semua hal yang kuinginkan tidak sesuai rencana?”
“Dan juga, mengapa aku harus menanggung masalah yang seharusnya bukan ranahku?”
“Mengapa mereka tidak melakukannya sendiri tanpa melibatkan ku?!”
Negoisasi yang dilakukannya tadi, harus berujung kegagalan karena dirinya yang terlampaui gugup. Dirinya dibawa oleh kedua orangtuanya untuk mengajak kerja sama dari salah satu kolega impian orangtuanya.
Sekaligus untuk mengetes dirinya masih layak atau tidak dalam meneruskan bisnis kedua orangtuanya. Erica disuruh untuk berbicara pada kolega itu dan mengajaknya untuk kerja sama dengan
perusahaan orangtuanya.
Namun ketika dirinya berbicara dengan kolega itu, ia harus mengalami kegugupan karena tatapan orang-orang di sana seperti akan menelanjangi nya.
Dia sangat gugup karena tatapan aneh orang-orang di sekitarnya saat itu. Dirinya, saat malam ini itu ingin segera pergi dari sana, namun ia juga tak bisa melakukan itu.
Ada tatapan ancaman yang ditunjukkan oleh orangtuanya. Dan ia tak berani untuk pergi dari sana.
“Masalah yang seharusnya bukan menjadi masalahku, dan kegagalan yang memang seharusnya gagal. Apakah masih harus disalahkan?”tanya Erica pada dirinya sendiri. Dia memang benci kegagalan, namun dirinya juga tahu bahwa setiap orang pasti akan mengalami
kegagalan.
Sementara di tempat yang sama namun di rumah yang beda. Ada seorang pria yang menatap balkon tetangganya dengan tatapan heran. Setiap kali dirinya ke balkon kamarnya, ia selalu menatap balkon tetangganya.
Meskipun tidak dekat, namun ia masih bisa melihat dengan jelas aktivitas yang dilakukan tetangganya.
Dia sampai hafal dengan semua aktivitas yang dilakukan tetangganya itu. Dan menurutnya itu sangatlah membosankan.
“Apa dia tidak bosan dengan aktivitas seperti itu? Mengapa juga dia tidak keluar rumah untuk sekedar merilekskan diri?”
Ia menghela napasnya dengan kelalukan tetangganya. Ingin sekali dia berkenalan dengan wanita itu, namun sayangnya dia tidak pernah bertemu dengan wanita itu ketika di luar rumah.
Meskipun sekedar berjalan-jalan di luar. Dia pun kembali memasuki kamarnya setelah berdiam diri melihat pemandangan tetangganya yang sedang melamun di balkon.
“Erica!!”panggil Babeh padanya yang melihatnya sedang berdiam diri di balkon.
Dengan penuh kemarahan, ia melepaskan ikat pinggangnya dan menghampiri Erica. Setelahnya ia membawa Erica ke dalam kamar dan memukulkan ikat pinggang itu ke tubuh Erica. Dengan penuh kemarahan, ia melepaskan ikat pinggangnya dan menghampiri Erica.
Berkali-kali ikat pinggang itu dipukulkan kepadanya dengan amarah yang terus membara. Wajahnya yang memerah dan juga matanya menatap tajam ke arahnya. Terlihat jelas di penglihatan Erica.
“Dasar anak tidak berguna! Kamu gua sekolahin biar bisa berguna buat orangtua malah kagak becus buat nyelesain semuanya!!”
“Kamu tahu nggak mereka udah tidak mau kerja sama lagi sama kita gara-gara ulah mu tadi!! Kamu benar-benar malu-maluin Babeh aja!!”
Teriakan demi teriakan, pukulan yang terus bertambah kencang, dan juga amarah yang dilampiaskan padanya. Serta, kepalanya yang sudah mulai pusing. Seakan menandakan bahwa mungkin dirinya setelah ini akan pingsan akibat ulah orang yang mengaku orang tuanya. Dia tidak menangis, dia hanya berusaha menahan rasa sakit pukulan itu.
Air matanya sudah ia keluarkan setelah ibunya memukulnya tadi. Dan sekarang air mata itu, sudah mengering untuk di keluarkan lagi. Babeh pun berhenti memukulinya dan mengatur napasnya yang terengah. Ia pun menjatuhkan ikat pinggang itu ke lantai dan menatap tajam ke arah Erica.
“Babeh nggak mau tahu, kamu harus belajar caranya buat menarik investor. Babeh kagak mau tahu, kamu harus bisa menarik investor lain buat mau kerja sama dengan perusahaan kita. Ngerti!!”
Babeh keluar dari kamar Erica dengan perasaan lebih lega karena telah melampiaskan amarah itu padanya.
Sedangkan dirinya sulit untuk bangkit dari tempat duduknya akibat pukulan tadi.
Bajunya yang berlumuran darah dengan goresan-goresan bekas cambukan ikat pinggang tadi. Ia melepas kemeja yang dipakainya dan melihat semua bekas cambukan tadi dari cermin.
Ia menatap wajahnya ke arah cermin dengan tatapan menyedihkan. Wajahnya yang kusam dengan lebam di area mulut, serta darah yang keluar dari pelipis.
“Huft, Erica buktiin ke mereka bahwa lo bisa untuk memenuhi ekspektasi mereka dan… meraih kebebasan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments