Pengorbanan Renata yang awalnya hanya menjadi seorang penyamar untuk menggantikan seorang wanita yang merupakan tunangan dari Bryan karena sedang koma berakhir menjadi sebuah malapetaka yang membuatnya kehilangan segalanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sindya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Kenapa Namamu Berubah?
Berlin meninggalkan Renata dan Bryan untuk kembali ke perusahaan guna memimpin rapat. Ingin rasanya Renata membuka cadarnya namun adanya cctv di balkon kamar Bryan membuatnya mengurungkan niat.
"Apakah kamu ingin makan sesuatu?" tanya Renata yang melihat Bryan masih syok dengan panggilan sayang darinya.
"Rania. Aku ingin kamu memanggilku sayang setiap kali kita bersama seperti ini," pinta Bryan.
"Baiklah. Aku akan melakukannya untukmu kalau itu membuatmu semangat. Apakah kamu suka aku memanggilmu seperti itu, sayang?" Renata menatap dalam mata indah milik Bryan.
"Tentu saja sayang..! Kalau kamu tidak keberatan. Dari dulu aku ingin sekali kita ngobrol tanpa beban seperti ini. Hanya saja aku begitu takut untuk memintanya padamu karena kamu akan salah paham akan niatku," jelas Bryan.
"Kalau begitu kamu harus makan ini. Mulai sekarang aku akan menjadi tangan dan matamu saat kita dekat seperti ini," ucap Renata penuh ceria. Ia menyuapi setiap potongan buah yang ada di salad buah tersebut.
Bryan menangkap tangan Renata lalu mengecupnya dengan lembut membuat wajah Renata bersemu merah. Untuk sesaat hatinya menghangat namun ia buru-buru menepis perasaannya agar tidak larut dalam hubungan yang tidak wajar seperti ini.
"Renata. Kamu hanya sebagai penyamar. Jangan libatkan perasaanmu pada Bryan. Dia milik perempuan lain," batin Renata menguatkan hatinya.
"Aku ingin besok kita ke perusahaan. Aku ingin memperkenalkan kamu sebagai calon istriku. Kalau tunggu menikah dulu, itu terlalu lama. Aku ingin kamu lebih mengenal dunia pekerjaanku," ucap Bryan.
"Insya Allah. Terimakasih sebelumnya, Bryan. Tapi, apakah kamu tidak takut kalau diantara para kolegamu akan memanfaatkan kebutaan mu demi kepentingan mereka?"
"Bukankah ada kamu yang mewakili aku untuk mengawasi gerak-gerik mereka?" sanggah Bryan.
"Sepertinya aku harus menjadikan Bryan sebagai kelinci percobaan untuk menggunakan rancangan optik buatanku bernilai teknologi," batin Renata yang ingin melanjutkan penemuan ayahnya yang mendesain kacamata untuk membacakan apapun yang ada dihadapannya untuk pemakainya.
"Rania. Mengapa kamu tiba-tiba diam? Apakah kamu keberatan mendampingiku? Apakah kamu begitu sibuk mengajar di pesantren?" desak Bryan.
"Tidak. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu yang tertunda yang selama ini aku telah meninggalkannya."
"Apa itu?"
"Rahasia. Jika waktunya tiba aku akan memperkenalkan nya padamu."
"Apakah kamu punya teman lain selain aku, maksudku pria lain?"
"Dia bukan manusia tapi lebih kepada alat pintar. Aduh...! Rasanya sulit untuk menjelaskannya padamu. Aku ingin menyelesaikan proyekku itu lalu memperkenalkan kepadamu. Jadi, saat ini masih dirahasiakan."
"Mengapa kamu baru bilang sekarang, Rania? Padahal sebelumnya kamu tidak pernah menceritakan padaku."
"Itu karena aku ingin memberikan kejutan kepadamu kalau kita sudah sah menjadi suami istri. Tapi, melihat kondisimu seperti ini, aku berpikir bahwa aku harus mengatakan kepadamu walaupun belum bisa melihat fisiknya," sahut Renata.
"Apakah ini ada hubungannya dengan kebutaanku, sayang?"
"Hmm...! Benar sekali, sayang," timpal Renata.
"Bukankah Rania selama ini sibuk dengan dunia dakwah. Mengajar dan berceramah di beberapa majelis ilmu. Sejak kapan dia terobsesi dengan peralatan canggih? Apakah dia punya kelebihan lain yang sengaja ia sembunyikan padaku?" batin Bryan seakan sedang berhadapan dengan sosok wanita lain.
Ketukan pintu menyadarkan lamunan keduanya dengan pemikiran mereka masing-masing. Seorang pelayan mengantarkan makan siang untuk keduanya. Renata melihat dua orang pelayan lainnya menata setiap menu makan siang nam lezat itu untuk mereka berdua.
...----------------...
Sore itu Renata tidak menuju ke pondok tempat ia belajar ilmu. Ia mendatangi tempat penelitiannya yang tersembunyi jauh dari jangkauan manusia.
Di gudang ruang bawah tanah, ia masuk ke dalamnya di mana banyak sekali rangkaian peralatan dan monitor komputer tempat ia merancang optik untuk membantu orang buta dalam mobilitasnya.
"Papa, Renata tidak tahu apakah pertemuan aku dan Bryan adalah takdir atau sebuah kebetulan? Sepertinya aku harus membantunya dengan hasil penemuan papa untuk membantu orang buta. Renata ingin meneruskan penemuan papa. Semoga Renata berhasil. Ya Allah, bantu aku ya Allah," desis Renata lalu menyalakan komputer di depannya lalu memasukkan beberapa kode untuk memulai operasional komputernya dalam membidik beberapa program yang tersimpan di setiap file.
Waktu terus bergulir di mana Renata tidak menyadari kalau saat ini sudah pukul 12 malam. Ia ingin menyelesaikan proyeknya lebih cepat agar kacamatanya itu berguna untuk Bryan yang ingin kembali ke perusahaan secepatnya.
"Alhamdulillah. Akhirnya berhasil juga. Walaupun masih ada kekurangannya tapi aku bisa sambil memperbaikinya lagi." Renata mematikan komputernya lalu menyimpan kacamata buatannya itu di dalam tempat kacamata pada umumnya. Ia melirik jamnya yang sudah pukul satu pagi.
"Ya Allah. Aku belum makan malam. Sebaiknya aku makan mie instan saja lalu menginap di sini. Aku akan mengabarkan ummi Dilla."
Keesokan paginya, Renata segera kembali ke mansion Bryan. Ia ingin memberikan kacamata itu pada Bryan sebelum pria tampan itu berangkat ke perusahaannya.
"Tuan Bryan, ada nona Rania. Apakah saya harus menyuruhnya menunggu di ruang tamu?" tanya seorang pelayan.
"Suruh dia ke kamarku dan bawakan sarapan untuk kami berdua, bibi." Bryan yang masih bingung dengan sekitarnya hingga tidak tahu untuk melakukan apapun pada dirinya. Ia bahkan belum bisa ke kamar mandi sendiri. Ia belum terlatih untuk itu. Kalau bukan karena Rania, mungkin Bryan malas untuk beraktivitas.
"Rania adalah semangatku. Aku harus belajar apapun disekitar ku melalui dirinya," batin Bryan yang masih mengenakan kimono tidurnya.
Pintu kamar kokoh itu dibuka dengan perlahan. Aroma khas Renata menjadikan Bryan sudah mengenalnya. Sementara Rania sendiri tidak pernah mengenakan parfum apapun karena ia lebih memahami aturan agama untuk seorang wanita tidak boleh menggunakan parfum kecuali di depan mahramnya.
"Selamat pagi sayang...! Assalamualaikum..!" sapa Renata dengan penuh binar.
"Waalaikumsalam. Selamat pagi juga Rania..! apa kabarmu hari ini sayang!" Bryan menghampiri Renata untuk mengambil tangan wanita itu untuk dikecupnya.
"Mengapa kamu jadi senang mencium tanganku?" tanya Renata.
"Bukankah kalau kita akan menikah kamu yang akan mencium tanganku tiap hari. Entah usai sholat atau setiap kali kita berpisah karena urusan di luar sana," jawab Bryan.
"Tapi bukan aku yang akan melakukan itu Bryan tapi Rania kekasihmu sesungguhnya," batin Renata yang hanya bisa membujuk hatinya untuk tidak terperdaya ucapan romantis Bryan padanya.
Sarapan tiba. Keduanya menyantap makanan mereka. Renata sedikit banyak membantu Bryan dengan menyuapi Bryan karena Bryan nampak lamban untuk makan sendiri karena terlalu hati-hati.
"Aku bawa sesuatu untukmu. Semoga ini membantu aktivitasmu," ucap Renata lalu mengeluarkan boks kacamata untuk Bryan.
"Apakah benda itu yang kamu katakan kepadaku kemarin?" tanya Bryan antusias.
"Yah. Aku mengerjakannya semalam suntuk. Aku harap proyekku ini berhasil dan kamu orang pertama yang akan mencobanya," ucap Renata lalu mengenakan kacamata itu pada Bryan.
"Masya Allah. Terimakasih Rania. Bryan mulai menatap ke depan dan melihat bayangan Renata didepannya seperti bayangan hitam putih namun sangat jelas.
"Kenapa namamu berubah jadi Renata, Rania?" tanya Bryan ketika kacamata itu memberitahukan Bryan sosok Renata didepannya karena setiap nama manusia yang hidup sudah terdaftar di kacamata itu berdasarkan id card nya.
Degggg.....
Renata terbelalak karena lupa akan hal itu. Ya Allah...! Bagaimana ini?" cemas Renata mencari jawaban atas tindakannya yang ceroboh.
next Thor
ditunggu selanjutnya...