Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SISI LAIN REI
...~Happy Reading ~...
Suasana di kamar mereka masih terasa mencekam. Hana memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka suara.
"Jika aku balik bertanya, kenapa aku harus jujur kepadamu?" tanyanya, suaranya terdengar tenang, namun sorot matanya tajam dan tegas, mencerminkan keteguhan hatinya.
Rei tertegun, menangkap perubahan sikap itu. Keningnya berkerut saat matanya tetap mengunci wajah Hana, seolah mencari makna di balik kata-katanya. Napasnya terasa sedikit lebih berat saat ia mencoba memahami maksud Hana.
"Maksudmu apa?" tanyanya dengan nada yang mulai mengeras. "Kau merasa jujur kepadaku adalah sebuah kesalahan? Kau bahkan tidak merasa pantas berkata jujur pada suamimu sendiri?" Lintasan emosi mulai tersulut di dalam dirinya, membuat suaranya terdengar lebih tajam daripada yang ia maksudkan.
Hana tersenyum miring mendengar ucapan Rei, seolah ada sesuatu yang membuatnya geli, tapi juga sinis pada saat yang bersamaan. Ia menyilangkan tangan di depan dada dan menggelengkan kepala pelan.
"Tidak perlu lebih dahulu membahas aku," katanya dengan suara yang terdengar ringan, tapi ada ketegasan yang sulit diabaikan di dalamnya. "Kau saja dulu. Kau tahu apa yang kami bicarakan sewaktu bertemu?" lanjutnya, menatap langsung ke mata Rei dengan sorot dingin yang seolah menembus batinnya.
Rei menegang, keningnya berkerut dalam ketidakpercayaan. Hana yang ia kenal selama ini selalu cerewet, penuh ekspresi, dan nyaris tak pernah menyembunyikan emosinya. Tapi sekarang? Perempuan itu tampak begitu tenang, nyaris tanpa ekspresi, seakan menyimpan sesuatu yang dalam dan sulit ditebak.
"Hana..." Rei membuka mulut, tapi kalimatnya terhenti sesaat. Perasaan janggal mulai merayapi pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya, kali ini suaranya sedikit lebih pelan. Ada perasaan tidak nyaman yang perlahan menguasai dirinya, seolah ia sedang berjalan di atas tanah yang goyah dan bisa runtuh kapan saja.
Hana tidak langsung menjawab. Ia menatapnya beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya menggerakkan tubuhnya. Dengan langkah perlahan, ia mendekat ke samping Rei, membiarkan jarak mereka semakin mengecil.
"Ini tentangmu, Rei..." ucapnya, suaranya nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk membuat Rei menahan napas.
Hana lalu memiringkan kepalanya sedikit, mendekat ke telinga suaminya, lalu berbisik sesuatu—sesuatu yang seketika membuat ekspresi Rei berubah.
Rei tertegun. Pikirannya masih berusaha mencerna bisikan Hana barusan, namun detik berikutnya, perhatiannya justru tertuju pada ekspresi istrinya yang tampak begitu santai, seolah hal yang baru saja ia ucapkan bukanlah sesuatu yang besar.
Hana tersenyum tipis, menggelengkan kepala pelan sebelum akhirnya bersuara.
"Ah, kita berdua melanggar perjanjian, Rei." Suaranya terdengar ringan, namun ada sesuatu yang tersirat di dalamnya. Sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. "Seharusnya kita tidak perlu mencampuri urusan masing-masing, apalagi jika itu menyangkut masa lalu." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara sebelum kembali melanjutkan, "Lakukan saja semaumu, status kita hanya di atas kertas. Bukankah kita terlalu muda untuk terlalu serius?"
Tanpa menunggu respons dari Rei, Hana dengan santainya membaringkan tubuhnya kembali di atas ranjang, membalikkan badan, menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak peduli dengan reaksi suaminya. Baginya, perdebatan ini sudah berakhir.
Sementara itu, Rei masih terpaku di tempatnya, tidak bergerak sedikit pun. Pikirannya berputar dengan cepat, mencoba memahami bagaimana Hana bisa mengetahui semuanya. Kini semuanya terasa masuk akal—perubahan sikap Hana akhir-akhir ini, tatapan dinginnya, dan caranya berbicara yang tidak lagi seperti biasanya.
Pantas saja...
Rei mengepalkan tangannya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergolak, tapi ia tidak tahu harus melampiaskannya ke mana.
---
Di Sekolah
Rei melangkah dengan cepat, nyaris berlari di koridor sekolah. Wajahnya tegang, ekspresinya tajam dan gelap, membuat para siswa lain yang melihatnya secara refleks menyingkir dari jalannya. Tidak ada yang berani menghalangi ketika Rei berjalan seperti itu.
Sesampainya di depan kelas Nathan, tanpa basa-basi, ia mendorong pintu hingga terbuka dengan sedikit kasar, membuat beberapa siswa di dalam kelas terlonjak kaget.
Nathan, yang sedang bercanda ria dengan Aurora, Selena, dan Elio sontak mengalihkan perhatian ketika melihat sosok Rei berdiri di ambang pintu.
Tatapan mereka bertemu.
Rei tidak berbicara banyak. Hanya satu kalimat keluar dari mulutnya, namun nadanya dingin dan penuh ketegasan.
"Ikut denganku, Nathan."
Suasana di kelas langsung berubah hening. Semua pasang mata kini tertuju pada mereka.
Nathan mengernyit, merasa ada yang tidak beres. Ini bukan Rei yang biasanya. Tatapan itu, nada suara itu... ada sesuatu yang jelas sedang terjadi.
Namun, tanpa menanyakan apa pun, ia bangkit dari duduknya.
Rei sudah berbalik lebih dulu, berjalan keluar kelas tanpa menoleh.
Nathan menghela napas pendek, lalu mengikuti langkah Rei yang penuh ketegangan.
"Ada apa dengan mereka?" tanya Elio dengan alis berkerut, matanya masih mengikuti kepergian Rei dan Nathan yang tampak begitu serius.
"Aku merasa terjadi sesuatu," sambung Selena, nadanya penuh kecurigaan. Ia bisa merasakan ada ketegangan di antara kedua pria itu, sesuatu yang tidak biasa.
Aurora yang sejak tadi juga memperhatikan mereka akhirnya mengambil keputusan. "Kalian tunggu di sini, aku akan memastikannya," ujarnya sebelum bergegas mengikuti langkah kedua sepupunya itu.
Elio hanya mengangkat bahu. "Jangan pedulikan mereka, ayo ke kantin!" katanya santai, lalu tanpa menunggu persetujuan, ia menarik tangan Selena.
"Aish, kau ini!" Selena berdecak kesal, tapi akhirnya membiarkan dirinya ditarik oleh Elio. Meski begitu, pikirannya masih tertuju pada Rei dan Nathan.
---
Sementara itu, Rei menghentikan langkahnya tepat di belakang gedung sekolah, di area yang cukup sepi dan jauh dari pandangan siswa lain. Nathan yang sedari tadi mengikutinya juga ikut berhenti, berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Rei menarik napas dalam sebelum akhirnya berbalik dengan ekspresi yang penuh tekanan. Tatapannya tajam menembus langsung ke mata Nathan.
"Apa yang kau katakan tentang Livy kepada Hana?" tanyanya to the point, tanpa basa-basi, dengan napas sedikit memburu.
Nathan terdiam. Kini semuanya masuk akal—kenapa Rei bertingkah seperti ini, kenapa ekspresinya sekeras itu.
"Jadi Hana sudah menceritakannya," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Namun, jawaban itu justru membuat Rei semakin kesal. Rahangnya mengeras, emosinya mulai naik ke permukaan.
"Jawab, Nathan! Apa yang kau katakan kepadanya?!" suara Rei kini lebih tajam, penuh penekanan, menunjukkan bahwa ia tidak sedang main-main.
Nathan menghela napas. Dia sudah lama mengenal sisi ini dari Rei—sisi yang tidak bisa mengendalikan emosi saat menyangkut sesuatu yang benar-benar penting baginya. Dan kali ini, jelas sekali bahwa Hana ada di dalam pusaran itu.
Nathan mengangkat wajahnya, menatap Rei dengan tenang, meski ia tahu bahwa percakapan ini tidak akan berakhir dengan baik.