NovelToon NovelToon
My Secret Husband

My Secret Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Aliansi Pernikahan
Popularitas:16.5k
Nilai: 5
Nama Author: lestari sipayung

Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.

Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.

Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERTENGKARAN DI KAMAR MANDI

Aurora tersenyum tipis sejenak sebelum akhirnya mengangguk kecil. Hana yang melihatnya hanya bisa terdiam, hatinya dipenuhi rasa penasaran dan sedikit kecewa.

"Kalian semua tahu, tapi kenapa tidak ada yang memberitahuku sejak awal?" tanyanya lagi, merasa seperti diabaikan.

Aurora menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca sebelum akhirnya menjawab dengan suara tenang, "Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa kita tidak sedekat itu?"

Hana terdiam. Kata-kata Aurora menusuk perasaannya, tapi ia juga tidak bisa menyangkal bahwa ucapannya benar. Ia menghela napas, merasa semua ini terlalu melelahkan untuk dipikirkan lebih jauh.

"Tapi... ah, sudahlah!" Hana mengibaskan tangannya, memilih untuk mengakhiri pembicaraan yang hanya membuat kepalanya semakin pusing. Semuanya terlalu membingungkan, dan yang lebih menyebalkan, semuanya terasa begitu menyebalkannya.

Hana menghela napas panjang setelahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang terasa semakin kacau.

"Apa yang kau tahu tentang Livy?" tanya Aurora setelah beberapa saat hening. Suaranya tenang, tetapi ada ketertarikan yang jelas dalam nada bicaranya.

Hana tidak langsung menjawab. Ia memilih untuk menyeruput minuman pesanannya yang baru saja tiba, membiarkan rasa manisnya sedikit mengalihkan pikirannya. Setelah itu, ia melirik Aurora, yang masih menunggu jawabannya dengan ekspresi datar namun penuh perhatian.

"Nathan memberitahuku kalau Livy adalah teman masa kecil Rei," ujar Hana akhirnya, suaranya sedikit lebih pelan. "Dulu mereka sangat dekat, bahkan hampir tidak terpisahkan. Tapi entah kenapa, Livy tiba-tiba pergi begitu saja tanpa berpamitan. Rei tidak tahu alasan kepergiannya, dan sejak saat itu, dia terlihat sangat kesepian."

Hana berhenti sejenak, memastikan tidak ada informasi yang tertinggal sebelum melanjutkan, "Itu saja yang aku tahu. Tidak ada yang lebih dari itu, hanya apa yang dikatakan Nathan kepadaku."

Aurora masih diam, seolah sedang mencerna kata-kata Hana. Merasa penasaran dengan reaksinya, Hana pun kembali membuka suara.

"Bolehkah kau menambahkan sesuatu? Mungkin ada hal yang kau ketahui tentang Livy yang tidak aku tahu?" tanya Hana, suaranya terdengar penuh harap. Ia ingin tahu lebih banyak, ingin memahami teka-teki yang selama ini membuatnya penasaran.

Aurora terdiam. Wajahnya terlihat berpikir, seolah sedang memilah-milah kata yang tepat sebelum akhirnya mulai berbicara.

"Livy juga teman masa kecil kami semua," ucapnya pelan, nada suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Namun, dia memang lebih akrab dengan Rei dibandingkan dengan yang lain. Mereka selalu bersama."

Hana mendengarkan dengan saksama, matanya menatap Aurora penuh rasa ingin tahu.

"Mereka bahkan pernah membuat janji," lanjut Aurora, suaranya terdengar lebih pelan seiring dengan kata-kata yang keluar dari bibirnya.

"Janji apa?" tanya Hana cepat, rasa penasarannya semakin memuncak.

Aurora menundukkan kepalanya sedikit, mengambil minumannya, lalu menyeruputnya perlahan. Sejenak, ia tampak ragu untuk melanjutkan. Entah karena merasa canggung atau karena ada sesuatu yang membuatnya enggan mengatakannya.

Akhirnya, dengan suara yang nyaris berbisik, Aurora mengungkapkan, "Janji untuk... menikah di masa depan."

Deg.

*

Hana berjalan pulang dengan langkah lemas dan gontai. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan tadi, membuatnya merasa semakin terbebani. Begitu sampai di kamarnya, ia membuka pintu dengan gerakan lambat, lalu menutupnya kembali tanpa suara, seolah ingin menghindari dunia luar untuk sementara.

"Dari mana saja?"

Sebuah suara berat menyapanya begitu ia melangkah masuk. Hana mendongak, matanya bertemu dengan sosok Rei yang tengah duduk di sofa kamarnya. Sorot matanya tajam, namun ada ketenangan yang sulit diartikan di sana.

Hana tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas singkat, memilih untuk tidak menanggapi. Tanpa berkata apa pun, ia melanjutkan langkahnya, berjalan melewati Rei seolah keberadaannya tidak berarti.

Rei memperhatikan perubahan sikap Hana yang begitu nyata. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tanpa sadar, ia juga menghela napas, seolah sedang berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi.

"Hana."

Ia memanggil nama gadis itu lagi, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Namun, ada sesuatu dalam nada bicaranya—sebuah emosi yang sulit diartikan. Ia bahkan memejamkan mata sejenak, seperti sedang menahan sesuatu yang tak ingin diungkapkan.

Hana meletakkan tas ranselnya di atas meja dengan gerakan pelan, lalu tanpa banyak berpikir, ia langsung mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Kepalanya terasa penuh, dan ia hanya ingin menyegarkan diri sejenak agar pikirannya sedikit lebih jernih.

Di sisi lain, Rei yang masih duduk di sofa membuka kembali matanya. Ia memperhatikan gerak-gerik Hana, matanya menajam, membaca perubahan sikap gadis itu. Ada sesuatu yang mengganggunya, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang.

Dia benci situasi seperti ini.

Dia benci saat tidak bisa mengendalikan satu hal dari dirinya—perasaan yang muncul tanpa bisa ia kendalikan. Perasaan yang membuatnya ingin tahu lebih banyak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa.

Tanpa banyak berpikir, Rei bangkit berdiri. Langkahnya cepat dan penuh ketegasan saat ia berjalan menuju kamar mandi. Tanpa memberi peringatan, ia membuka pintu dengan kasar.

Brak!

Hana yang baru saja membuka kancing bajunya terperanjat kaget. Seragam sekolahnya sudah melorot dari bahunya, menyisakan hanya tanktop yang masih melekat di tubuhnya.

Matanya membulat, tubuhnya menegang.

"Rei!" pekiknya refleks, jantungnya berdegup kencang, sementara tatapan lelaki itu justru sulit ditebak.

"Apa yang kau lakukan?!" Hana berteriak kasar, suaranya menggema di dalam kamar mandi. Napasnya memburu, tubuhnya menegang, dan matanya memancarkan keterkejutan bercampur kemarahan.

Rei berdiri di ambang pintu, tidak bergerak. Sorot matanya tajam, menusuk, seolah menuntut jawaban. Meski suaranya pelan, nada yang keluar begitu dingin dan penuh tekanan.

"Kenapa kau tidak menjawabku?"

Hana semakin merapatkan handuk di tubuhnya, memeluk dirinya sendiri. Dadanya naik turun, bukan hanya karena syok, tapi juga karena emosinya yang perlahan tersulut. Ia menggertakkan giginya, tangan mengepal erat.

"Memangnya kenapa?!" Hana balik bertanya dengan suara lantang, suaranya tak lagi bergetar. "Apa yang akan kau lakukan kalau aku tidak menjawabmu?!"

Rei tidak berkata apa pun, tapi langkahnya maju mendekat. Matanya tetap mengunci milik Hana, dan tanpa aba-aba, tangannya mencengkeram kedua lengan gadis itu dengan kasar dan kuat.

"Hentikan, Rei!" Hana memberontak, berusaha menarik dirinya dari genggaman lelaki itu. Emosi yang memuncak membuatnya semakin geram. Dengan sekuat tenaga, ia menepis tangan Rei dengan kasar. "Jangan sentuh aku!"

Rei terdiam.

Ia melihat tangannya sendiri, merasakan bagaimana Hana menepisnya tanpa ragu. Matanya perlahan bergerak ke arah cermin di sampingnya. Sosoknya yang terpantul di sana membuatnya membeku sejenak.

Dia terlihat... menyeramkan.

Alisnya berkerut, rahangnya mengeras. Sorot matanya tampak gelap, penuh sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tidak mengerti. Itu bukan dirinya yang biasa.

Ketika ia menoleh kembali, Hana sudah berdiri di tempatnya dengan napas memburu, matanya menatapnya dengan campuran kemarahan dan ketakutan.

"Hana..." Rei mencoba memanggilnya lagi. Suaranya sedikit lebih lembut kali ini, seolah ingin meredakan keadaan.

Namun Hana tidak peduli.

Dengan penuh tenaga, ia mendorong Rei ke luar kamar mandi. Tubuh lelaki itu terdorong mundur beberapa langkah hingga hampir kehilangan keseimbangan.

"Aku membencimu, Rei!" ucapnya pelan, tapi penuh tekanan.

Brak!

Tanpa ragu, Hana menutup pintu kamar mandi dengan kasar, meninggalkan Rei yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang benar-benar salah—sesuatu yang tidak bisa ia perbaiki begitu saja.

1
na Nina
please double up kak
na Nina
lanju kak udah 19.42
Na Noona
lanjuttt gak
na Nina
lanjut ga kak, double up dong
na Nina
lanjutttt
na Nina
kak bisa ga sih double up, aku suka ceritanya..
klo nunggu sehari satu,, kaya kurang puas. maaf
na Nina
lanjut kak
Na Noona
lanjut dong, dri kemarin ga up up
Ayu Sipayung: Sedang proses kk, sabar ya.....

jangan lupa baca karya terbaru author sembari menunggu up selanjutnya ya...
total 1 replies
Na Noona
belum up tor
na Nina
lanjut
na Nina
lanjut tor
Na Noona
up tor
Na Noona
up tor, aku sukaaa ceritanya
Chachap
kurang panjang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!