NovelToon NovelToon
Ketika Malaikat Maut Jatuh Cinta

Ketika Malaikat Maut Jatuh Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cinta Terlarang / Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:297
Nilai: 5
Nama Author: Irnu R

Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.

Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.

Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.

Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mata yang Bisa Melihat Kematian

Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Kata-kata malaikat asing itu masih terngiang di kepalanya, membebani pikirannya seperti kabut yang tak kunjung sirna. Pilihan. Konsekuensi. Kehidupan dan kematian. Ia ingin berpikir bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk, bahwa ia masih bisa kembali ke kehidupannya yang biasa. Tapi jauh di dalam hati, ia tahu semuanya sudah berubah. Dunia ini mulai menolaknya.

Keesokan harinya, saat berjalan pulang dari rumah sakit, Alya melihat sesuatu yang membuatnya berhenti seketika. Seorang wanita berdiri diam di tengah jalan. Rambutnya panjang terurai, tubuhnya terlihat biasa saja, tapi ada sesuatu yang tidak beres. Wajahnya datar, kosong, seolah ia tidak sadar sedang berada di tempat yang salah. Alya melihat sebuah mobil melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi.

“Aw—!”

Suaranya tercekat di tenggorokan.

Brak!

Mobil itu menabrak tubuh wanita tersebut. Alya menutup mulutnya, matanya membelalak.

Suara jeritan terdengar dari trotoar. Beberapa orang berlari mendekat, sementara yang lain hanya berdiri terpaku, wajah mereka dipenuhi keterkejutan. Pengemudi mobil keluar dengan ekspresi panik, tangannya gemetar saat mencoba menelepon seseorang.

"Ada yang panggil ambulans!" seseorang berseru.

Namun, Alya tidak bisa fokus pada itu semua. Matanya hanya tertuju pada sosok wanita yang masih berdiri di tengah jalan, seakan tidak menyadari keributan yang terjadi di sekelilingnya.

Tapi detik berikutnya, tubuh wanita itu masih berdiri di tempat yang sama, seolah hantaman tadi tidak pernah terjadi. Tubuh fisiknya terbaring di aspal, darah mengalir dari pelipisnya, sementara sosoknya yang lain masih berdiri, menatap kosong ke depan.

Alya mundur selangkah. Dadanya naik turun cepat. Ini… tidak mungkin. Ini tidak nyata. Tapi matanya tidak mungkin berbohong.

“Alya.”

Suara Rheyan terdengar di belakangnya. Ia menoleh, mendapati malaikat maut itu berdiri di bawah bayangan pohon, ekspresinya suram.

"Kau mulai melihat mereka, bukan?"

Alya menelan ludah. Tubuhnya terasa kaku, udara di sekelilingnya menjadi lebih berat.

"Apa… apa yang terjadi padaku?" suaranya bergetar.

Rheyan melangkah mendekat. Matanya yang tajam memperhatikan ekspresi terkejut Alya. "Kau tidak seharusnya ada di dunia ini," katanya pelan. "Seharusnya kau sudah mati. Jiwamu kini berada di antara dua dunia. Itulah mengapa kau bisa melihat roh-roh yang seharusnya tidak bisa dilihat manusia."

Alya merasakan perutnya melilit. Ia ingin menyangkalnya, mengatakan bahwa ini tidak mungkin. Tapi semua yang terjadi selama beberapa minggu terakhir telah menamparnya dengan kenyataan. Ia tidak lagi hanya seorang manusia biasa.

Ia melihat wanita itu berbalik, tatapannya kosong, lalu perlahan menghilang. Dunia terasa sedikit lebih gelap setelah kepergiannya.

Hari-hari berikutnya semakin sulit bagi Alya. Ia mulai melihat lebih banyak sosok yang tidak seharusnya ada. Mereka ada di mana-mana—di rumah sakit, di jalan, bahkan di kamarnya sendiri. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya, berpura-pura bahwa mereka tidak nyata. Tapi semakin lama, semakin sulit untuk menutup mata terhadap kenyataan.

Di rumah sakit, ia mulai kehilangan fokus saat bekerja. Suatu malam, ia merawat seorang pasien tua yang sedang tertidur pulas. Tapi di sudut ruangan, ia melihat bayangan samar berdiri. Sosok itu terlihat seperti pasiennya… tapi lebih pucat, lebih tak bernyawa. Alya berkedip, berharap penglihatannya salah. Tapi saat ia melihat ke tempat tidur, pasien itu masih ada di sana, bernapas lemah.

Detik berikutnya, suara monitor jantung berbunyi panjang. Pasien itu berhenti bernapas.

Dunia di sekelilingnya terasa membungkam. Dada Alya naik turun dengan cepat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia melangkah mundur, lututnya terasa lemas. Perutnya melilit, seolah sesuatu di dalam dirinya menolak kenyataan yang baru saja ia lihat.

Dengan tangan gemetar, Alya keluar dari ruangan. Ia tidak bisa berada di sana lebih lama. Langkahnya membawanya ke tangga darurat, tempat ia akhirnya bersandar ke dinding dan menarik napas dalam-dalam.

"Aku gila…" bisiknya pada dirinya sendiri. "Ini tidak nyata…"

Namun, bayangan pasien itu sebelum meninggal masih melekat di pikirannya.

Alya membeku. Napasnya tercekat. Ia baru saja melihat seseorang sebelum kematiannya terjadi.

Tangan Alya gemetar saat ia melangkah mundur. Ruangan itu terasa lebih dingin, lebih sunyi dari sebelumnya.

Davin masuk ke ruangan dan melihat ekspresi Alya yang pucat. “Alya?”

Alya menoleh padanya, tapi tak tahu harus berkata apa. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini? Bagaimana ia bisa memberitahu Davin bahwa ia kini bisa melihat kematian sebelum ia terjadi?

"Kau baik-baik saja?" Davin bertanya lagi, kali ini dengan lebih cemas.

Alya mencoba mengendalikan dirinya. Ia mengangguk, meskipun tubuhnya jelas-jelas mengatakan sebaliknya. "Aku hanya… sedikit pusing."

Davin masih menatapnya, jelas tidak percaya begitu saja. Matanya menyipit, seakan mencoba membaca sesuatu yang disembunyikan Alya.

"Kau sering terlihat aneh akhir-akhir ini," katanya pelan. "Kadang kau melamun, kadang wajahmu pucat seperti melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain."

Alya menegang. "Aku baik-baik saja, Davin. Jangan khawatir."

"Tapi aku khawatir." Davin melangkah lebih dekat. "Alya… kalau ada sesuatu yang terjadi padamu, aku ingin kau memberitahuku. Jangan menanggungnya sendirian."

Hati Alya mencelos. Ia ingin percaya pada Davin. Ingin sekali. Tapi bagaimana mungkin ia menjelaskan semua ini?

Davin memperhatikannya dengan tatapan penuh analisis. Ia tahu ada sesuatu yang salah. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, Alya sudah melangkah keluar dari ruangan.

Ia butuh udara. Ia butuh waktu untuk memahami apa yang sedang terjadi padanya.

Malam itu, Alya duduk di balkon apartemennya, memeluk lututnya. Angin malam berembus dingin, menusuk kulitnya. Ia menatap langit, mencoba mencari jawaban di antara bintang-bintang.

“Apa yang harus kulakukan?” bisiknya pada dirinya sendiri.

Ia merasa kosong, seolah dunia ini benar-benar mulai menjauhkannya. Sejak malam itu, semuanya berubah. Makanan terasa hambar. Suara-suara di sekelilingnya terdengar jauh, seolah ia berada di dunia yang berbeda. Ia bahkan bisa merasakan keberadaan roh di sekelilingnya lebih jelas.

Dunia ini tidak menerimanya lagi.

Langkah kaki terdengar dari belakang. Rheyan berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan ekspresi tak terbaca.

"Alya," katanya pelan.

Alya menunduk. "Apa aku akan mati?" tanyanya lirih.

Rheyan tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. "Kau seharusnya sudah mati," katanya akhirnya. "Tapi kau masih di sini."

"Dan dunia ini tidak menginginkanku lagi."

Rheyan menghela napas. "Bukan begitu."

Alya menatapnya. "Lalu apa?"

Rheyan menoleh padanya. "Kau berada di antara dua dunia. Itu bukan tempat yang seharusnya bagi siapa pun. Dan jika kau tetap seperti ini…" ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "…aku tidak tahu berapa lama dunia ini bisa mempertahankanmu."

Alya menelan ludah. "Apa maksudmu?"

Rheyan tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke langit malam sebelum akhirnya kembali menatap Alya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Roh yang terlalu lama berada di antara dua dunia… akan mulai kehilangan bentuknya."

Alya merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. "Kehilangan bentuk?"

"Kau mungkin tetap terlihat seperti manusia, tapi suatu saat, dunia ini akan mulai melupakanmu. Orang-orang akan melewatimu tanpa menyadari keberadaanmu. Sampai akhirnya, kau benar-benar lenyap."

Jantung Alya berdegup kencang. "Jadi aku akan menghilang begitu saja?"

Rheyan diam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ya."

Dada Alya semakin sesak. Ia menutup matanya, mencoba mengusir ketakutan yang menguasainya. Tapi ketakutan itu tidak pergi. Ia tahu ia berada di ambang sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar sendirian.

1
Ngực lép
Aku suka banget sama karakter di dalam cerita ini, author jangan berhenti yaa!
Legato Bluesummers
Keren! 😍
°·`.Elliot.'·°
Bikin susah move-on, semoga cepat update lagi ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!