Sea adalah gadis yang selalu menemukan kedamaian di laut. Ombak yang bergulung, aroma asin yang menyegarkan, dan angin yang berbisik selalu menjadi tempatnya berlabuh saat dunia terasa menyesakkan. Namun, hidupnya berubah drastis ketika orang tuanya bangkrut setelah usaha mereka dirampok. Impiannya untuk melanjutkan kuliah harus ia kubur dalam-dalam.
Di sisi lain, Aldo adalah seorang CEO muda yang hidupnya dikendalikan oleh keluarga besarnya. Dalam tiga hari, ia harus menemukan pasangan sendiri atau menerima perjodohan yang telah diatur orang tuanya. Sebagai pria yang keras kepala dan tak ingin terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, ia berusaha mencari jalan keluar.
Takdir mempertemukan Sea dan Aldo dalam satu peristiwa yang tak terduga. Laut yang selama ini menjadi tempat pelarian Sea, kini mempertemukannya dengan pria yang bisa mengubah hidupnya. Aldo melihat sesuatu dalam diri Sea—sebuah ketulusan yang selama ini sulit ia temukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Humairah_bidadarisurga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Sea mengaduk tehnya perlahan, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Aldo.
"Aku ingin kau tetap di sisiku."
Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Sea mengangkat tatapannya, menatap Aldo yang duduk di seberangnya dengan ekspresi tenang namun penuh arti. Ia tahu pria itu tidak main-main.
"Tapi, Aldo... ini terlalu cepat," bisik Sea.
Aldo menyandarkan punggungnya ke sofa, menghela napas panjang. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa terus menahan diri."
Sea menggigit bibirnya. "Aku... aku masih bingung. Aku tidak ingin membuat keputusan yang salah."
Aldo menatapnya lekat, lalu tersenyum tipis. "Aku tidak akan memaksamu, Sea. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak hanya ingin kau di sini karena kesepakatan kita."
Sea menunduk, hatinya semakin kacau. Ia ingin menjawab, ingin memberi Aldo kepastian. Tapi perasaannya masih bercampur aduk.
Mereka terdiam cukup lama, hanya ditemani suara detak jam di dinding.
"Aku akan memberimu waktu," ujar Aldo akhirnya. "Tapi jangan biarkan aku menunggu terlalu lama."
Sea mengangguk pelan.
Keesokan harinya, Sea memutuskan untuk pergi keluar sendiri. Ia butuh waktu untuk berpikir, untuk menjernihkan pikirannya.
Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke tepi laut.
Deburan ombak yang menenangkan, angin yang membawa aroma asin, dan suara burung camar yang beterbangan di atasnya—semuanya membuatnya merasa damai.
Di sinilah tempatnya. Di laut.
Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya mengalir bebas.
"Apa yang sebenarnya aku rasakan?"
Sebuah suara menginterupsi lamunannya.
"Sea?"
Sea membuka mata dan menoleh.
Riko.
Pria itu berdiri tidak jauh darinya, dengan ekspresi terkejut sekaligus bahagia.
"Aku tidak menyangka bertemu denganmu di sini," ujar Riko sambil berjalan mendekat.
Sea tersenyum kecil. "Aku selalu kembali ke laut saat butuh ketenangan."
Riko mengangguk, lalu menatapnya dengan ragu. "Sea, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
Sea menatapnya. "Tentu."
Riko menarik napas. "Apakah kau bahagia?"
Sea terdiam.
Itulah pertanyaan yang bahkan ia sendiri belum bisa menjawabnya.
"Aku..." Sea menggigit bibirnya. "Aku tidak tahu, Riko."
Riko menatapnya dalam. "Kalau begitu, apa yang menahanmu?"
Sea menghela napas panjang. "Aku... aku bingung dengan perasaanku sendiri."
Riko tersenyum tipis. "Sea, jika kau ragu, mungkin itu adalah jawabanmu."
Sea tertegun. "Maksudmu?"
Riko menatap laut yang terbentang di depan mereka. "Jika kau benar-benar mencintai seseorang, kau tidak akan ragu. Kau akan tahu."
Sea ikut menatap lautan, mencoba memahami kata-kata Riko.
Apakah benar sesederhana itu?
Saat Sea kembali ke apartemen, Aldo sudah menunggunya di ruang tamu.
"Kau pergi tanpa memberitahuku lagi," ujar Aldo, suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada kecewa di dalamnya.
Sea meletakkan tasnya di sofa dan duduk di seberang Aldo.
"Aku butuh waktu untuk berpikir," ujarnya jujur.
Aldo mengamati wajahnya sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Dan, apakah kau sudah menemukan jawabanmu?"
Sea menelan ludah. Ia tahu inilah saatnya.
Ia harus jujur.
Ia harus memutuskan.
Dan ia harus siap dengan konsekuensinya.
Aldo menunggu dengan sabar, matanya menatap lurus ke arah Sea. Tidak ada desakan, tidak ada kemarahan—hanya kesabaran yang luar biasa.
Sea menggenggam tangannya sendiri, mencoba mengendalikan kegugupan yang menghantuinya sejak pertemuan dengan Riko tadi. Kata-kata pria itu masih terngiang jelas di kepalanya.
"Jika kau benar-benar mencintai seseorang, kau tidak akan ragu. Kau akan tahu."
Sea menarik napas panjang. Ia menatap Aldo dengan hati-hati.
"Aku..." Ia menggigit bibirnya, ragu sejenak. Tapi ia harus mengatakannya. "Aku masih tidak yakin dengan perasaanku."
Aldo menegang, tapi ekspresinya tetap tenang. "Apa itu berarti kau ingin pergi?"
Sea menggeleng cepat. "Bukan begitu. Aku hanya... aku takut membuat keputusan yang salah. Aku takut jika aku memilihmu hanya karena keadaan memaksaku, bukan karena aku benar-benar menginginkannya."
Aldo memejamkan mata sejenak, seakan menenangkan dirinya.
"Sea, aku tidak ingin kau memilihku hanya karena terpaksa," ujarnya pelan. "Tapi aku juga tidak bisa terus berada dalam ketidakpastian."
Sea mengerti. Aldo sudah cukup bersabar selama ini.
"Kau ingin aku pergi?" tanyanya dengan suara lirih.
Aldo menatapnya tajam. "Aku ingin kau tetap di sini. Tapi aku ingin kau tetap di sini karena kau menginginkannya, bukan karena kau merasa tidak punya pilihan lain."
Sea terdiam.
Aldo berdiri, mendekati jendela besar apartemen mereka. "Aku akan memberimu waktu terakhir untuk berpikir, Sea."
Sea menelan ludah. "Berapa lama?"
Aldo menoleh, matanya penuh arti. "Satu minggu."
Hanya satu minggu untuk memutuskan segalanya?
Sea tahu waktu itu terdengar singkat, tapi ia tidak bisa menyalahkan Aldo.
"Baik," bisiknya akhirnya. "Satu minggu."
Selama beberapa hari berikutnya, Sea benar-benar mencoba memahami perasaannya.
Ia menghabiskan waktu sendirian, pergi ke tempat-tempat yang dulu ia sukai, mencoba mengenali dirinya sendiri kembali.
Setiap kali ia berpikir tentang pergi, hatinya terasa berat.
Setiap kali ia membayangkan hidup tanpa Aldo, ada sesuatu dalam dirinya yang menolak.
Namun, setiap kali ia bertanya pada dirinya sendiri apakah ini cinta, ia masih belum menemukan jawabannya.
Hingga akhirnya, malam sebelum batas waktu yang Aldo berikan, Sea kembali ke laut.
Ia berdiri di tepi pantai, membiarkan ombak menyapu kakinya.
Dan di sanalah, ia akhirnya menyadari sesuatu.
Bukan ketidakpastian yang membuatnya ragu.
Tapi ketakutan.
Ketakutan untuk menerima bahwa ia memang mencintai Aldo.
Ketakutan untuk mengakui bahwa ia telah jatuh cinta tanpa sadar.
Karena jika ia mengakuinya, maka ia harus menerima bahwa hatinya telah terikat.
Dan itu lebih menakutkan daripada apa pun.
Sea memejamkan mata, menghela napas panjang.
Sudah saatnya ia berhenti bersembunyi dari perasaannya sendiri.
Ia harus pulang.
Ke tempat yang seharusnya ia berada.
Saat Sea membuka pintu apartemen, Aldo sedang berdiri di dekat meja makan, tampaknya baru saja selesai bekerja.
Pria itu menoleh saat melihat Sea masuk.
Sea menatapnya tanpa ragu.
"Aku sudah menemukan jawabannya," ujar Sea pelan.
Aldo tidak mengatakan apa pun, hanya menunggu.
Sea berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di depannya.
"Aku ingin tetap di sini."
Aldo masih diam, tapi matanya menyala.
Sea menarik napas dalam, lalu melanjutkan, "Karena aku mencintaimu."