NovelToon NovelToon
Aku Cinta Kamu, Dia, Dan Mereka

Aku Cinta Kamu, Dia, Dan Mereka

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Dikelilingi wanita cantik / Pelakor / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi
Popularitas:339
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Ibadurahman

Di sebuah sekolah yang lebih mirip medan pertarungan daripada tempat belajar, Nana Aoi—putri dari seorang ketua Yakuza—harus menghadapi kenyataan pahit. Cintanya kepada Yuki Kaze, seorang pria yang telah mengisi hatinya, berubah menjadi rasa sakit saat ingatan Yuki menghilang.

Demi mempertahankan Yuki di sisinya, Ayaka Ito, seorang gadis yang juga mencintainya, mengambil kesempatan atas amnesia Yuki. Ayaka bukan hanya sekadar rival cinta bagi Nana, tapi juga seseorang yang mendapat tugas dari ayah Nana sendiri untuk melindunginya. Dengan posisi yang sulit, Ayaka menikmati setiap momen bersama Yuki, sementara Nana harus menanggung luka di hatinya.

Di sisi lain, Yuna dan Yui tetap setia menemani Nana, memberikan dukungan di tengah keterpurukannya. Namun, keadaan semakin memburuk ketika Nana harus menghadapi duel brutal melawan Kexin Yue, pemimpin kelas dua. Kekalahan Nana dari Kexin membuatnya terluka parah, dan ia pun harus dirawat di rumah sakit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ibadurahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31.

Pagi tiba. Sinar matahari mulai menerobos masuk melalui celah-celah tirai apartemen Ayaka. Yuki masih terlelap di tempat tidur, nafasnya teratur, seolah menikmati tidur yang cukup jarang ia dapatkan belakangan ini.

Sementara itu, Ayaka duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang baru saja bergetar. Nama Hayashi Aoi tertera di sana. Ia segera mengangkatnya.

"Ada tugas untukmu," suara berat dan berwibawa terdengar di seberang.

Ayaka menegakkan punggungnya. “Baik, Tuan. Saya segera ke sana.”

Tanpa banyak bicara, panggilan itu terputus. Ayaka menarik napas panjang, lalu dengan sigap beranjak dari tempat tidur. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan mengambil kunci mobilnya sebelum meninggalkan apartemen tanpa suara.

Sementara itu, Yuki mulai menggeliat, matanya terbuka perlahan. Ia meraba-raba sisi ranjang, namun kosong. "Sayang?" gumamnya setengah sadar.

Ia mengira Ayaka sedang mandi, tapi saat melihat pintu kamar mandi terbuka dan kosong, ia mulai bertanya-tanya. Dengan langkah malas, ia berjalan ke balkon, berharap melihat keberadaan Ayaka di luar, namun tidak ada siapa-siapa.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. "Sayang, kamu nggak sekolah hari ini, kan?" suara Ayaka terdengar di seberang.

"Enggak," jawab Yuki, suaranya masih berat karena baru bangun. "Kamu di mana?"

"Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Kamu nggak apa-apa kan sendirian di apartemen?"

"Tidak apa-apa, sayang," balas Yuki datar.

"Baiklah kalau begitu. See you, sayang," ucap Ayaka sebelum menutup telepon.

Yuki hanya memandang layar ponselnya yang sudah kembali gelap.

Setelah mandi dan sarapan, Yuki duduk di sofa, menatap layar TV yang bahkan tidak benar-benar ia perhatikan. Biasanya, Ayaka akan duduk di sampingnya, menyandarkan kepala di bahunya atau sekadar mengganggunya dengan tingkah manjanya.

Tapi kali ini, Ayaka tidak ada. Dan untuk pertama kalinya Yuki merasa kehilangan Ayaka. "Kenapa kali ini gue merasa kehilangan Ayaka?" gumamnya dalam hati.

Ia mengusap wajahnya, lalu bangkit dari sofa. Tidak ingin terjebak dalam perasaan aneh itu, ia memutuskan untuk keluar. Karena tidak punya tujuan pasti, langkahnya membawanya ke rumah sakit.

Di rumah sakit, saat Yuki berdiri di depan lift menunggu pintunya terbuka, ia menyadari seseorang berdiri di sampingnya.

Kexin, Berbeda dari biasanya, wajah Kexin tidak lagi ceria atau centil seperti saat pertama kali mereka bertemu. Ada aura gelap yang menyelimuti dirinya. "Gua dengar Nana sadar?" tanyanya tanpa basa-basi.

Yuki meliriknya sekilas sebelum menjawab, “Gua nggak tahu.” Sesaat hening, lalu Yuki bertanya, "Gimana keadaan Zelda?"

Kexin menoleh, tatapannya tajam. Alih-alih menjawab, ia hanya mendengus pelan. Saat lift berbunyi dan pintunya terbuka, Kexin langsung melangkah masuk. Yuki mengikutinya. Di dalam lift, hanya ada mereka berdua.

Tanpa peringatan, Kexin membuka mulut. "Gua harus bikin Nana koma, kayak Zelda sekarang." Nada suaranya datar, tapi mengandung ancaman yang jelas.

Yuki menoleh tajam, rahangnya mengeras. "Gua nggak akan biarin itu terjadi," ucapnya tegas.

Kexin hanya mendengus kecil, lalu melangkah keluar dari lift saat pintunya terbuka. Yuki tetap di dalam, karena ruang rawat Nana berada di lantai yang berbeda. Namun, ucapan Kexin barusan terus terngiang di kepalanya.

Sesampainya di depan kamar rawat Nana, Yuki ragu untuk masuk. Kexin bilang Nana sudah sadar. Kalau begitu, dia harus ngomong apa nanti?. Saat ia masih berdiri di depan pintu, ragu-ragu, tiba-tiba pintu itu terbuka dari dalam.

Yui muncul, terkejut melihat siapa yang berdiri di luar. "Yuki?" ucapnya kaget.

Dari dalam ruangan, Yuna juga mendengar nama itu disebut. Ia segera keluar dan langsung menutup pintu di belakangnya, seolah tidak ingin Yuki masuk begitu saja.

Tatapan Yuna langsung menusuk, penuh kewaspadaan. "Lu sendiri?" tanyanya tanpa basa-basi.

Yuki mengangguk. "Iya. Memangnya kenapa?"

"Tumben nggak bawa pacar lu," sindir Yuna.

"Dia lagi sibuk," jawab Yuki santai.

Yuna menyilangkan tangan di dada. "Paling sibuk bunuh orang," katanya dingin.

Yuki mengangkat alis. "Apa maksud lu?"

Sebelum Yuna bisa menjawab, tiba-tiba pintu kamar terbuka lagi.

Nana keluar dengan perlahan, masih membawa tiang infus di tangannya. Wajahnya masih pucat, tapi matanya yang berkaca-kaca berbicara lebih banyak dari kata-kata. Begitu melihat Yuki, tanpa ragu, ia langsung memeluknya. Tanpa sepatah kata pun.

Yuki membeku di tempat. Ia tidak mengerti perasaan yang tiba-tiba muncul di dadanya. Tapi ada sesuatu yang hangat, sesuatu yang terasa nyaman. Dan di dalam hatinya, sebuah pemikiran melintas. "Kenapa,,, Nana nggak seperti yang Ayaka bilang?"

Pelukan itu tidak berlangsung lama. Nana perlahan melepaskannya, namun matanya tetap menatap Yuki. Air mata yang tertahan di sudut matanya semakin memperjelas emosinya. “Maaf,,,” bisiknya pelan.

Yuki menggeleng cepat. “T-tidak apa-apa,” ucapnya, suaranya sedikit gemetar.

Yuna segera menopang Nana kembali ke tempat tidurnya, diikuti oleh Yui. Yuki masih berdiri di luar, menatap pintu yang baru saja ditutup kembali oleh Yuna. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara. “Apa gue boleh masuk?” tanyanya. Yuna menoleh, menatapnya sebentar, lalu mengangguk.

Saat Yuki melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Nana dirawat, ia langsung memperhatikan Yui dan Yuna yang sudah berganti baju.

“Kalian ganti baju?” tanyanya tanpa berpikir.

Yui dan Yuna saling bertukar pandang sebelum menatap Yuki dengan alis terangkat. “Lah, masa gua harus terus pakai seragam kotor bekas berantem?” jawab Yuna, sedikit bingung dengan pertanyaan Yuki.

“Lagian, lu kenapa sih? Aneh-aneh aja,” timpal Yui. “Kenapa lu malah komentarin pakaian kita?”

Yuki menggaruk tengkuknya, sedikit canggung. “Jadi,, itu artinya kalian pulang?”

Yuna mendecak kesal. “Bodoh. Memangnya di rumah sakit ada lemari pakaian gua? Tentu aja kita pulang dulu buat ganti baju.”

Yui menyeringai. “Lu nggak ada bahan omongan ya, Yuki?”

Nana hanya diam, memperhatikan percakapan mereka dengan tatapan tenang. Namun, setelah beberapa saat, Yuki akhirnya mengalihkan pandangannya pada Yuna dan Yui. “Kalau kalian mau pulang lagi, tolong kabarin gua. Biar gua yang jagain Nana.”

Ruangan itu langsung hening. Yuna, Yui, dan bahkan Nana sendiri terkejut mendengar ucapan Yuki.

“Apa gua nggak salah denger?” ujar Yui, menatap Yuki seolah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang mustahil. “Bukannya lu sibuk terus sama Ayaka?”

Mendengar nama itu disebut, Nana spontan menunduk. Tatapan matanya yang sebelumnya tenang kini tampak meredup.

Yuna yang menyadari itu langsung menatap Yui tajam. Yui pun tersadar bahwa ia baru saja salah bicara. Seharusnya dia tidak menyebut nama Ayaka di depan Nana.

Namun, sebelum Yuna bisa mengatakan sesuatu, Nana sudah lebih dulu berbicara. “Gua nggak apa-apa, Yuna,” ucapnya pelan, mencoba menyembunyikan kesedihannya. “Lagi pula, Yui benar. Yuki memang selalu sibuk sama Ayaka.”

Mendengar kata-kata itu, Yuki merasakan sesuatu di dalam hatinya. Perasaan aneh yang sulit ia cerna.

Nana mengangkat wajahnya, menatap Yuki. “Tapi kenapa lu sampai mau jagain gua kalau Yuna dan Yui pulang?” tanyanya, suara lembutnya dipenuhi rasa penasaran.

Yuki menarik napas, lalu menjawab dengan serius. “Gua khawatir Kexin bakal ke sini saat lu sendirian.”

Tatapan Nana berubah.

“Kexin bilang kemarin kalau Zelda mati, dia bakal bunuh lu. Dan tadi gua ketemu dia lagi, dia bilang mau bikin lu koma kayak Zelda sekarang.”

Ucapan itu membuat Nana membeku di tempatnya. Namun, bukan karena ketakutan, Setetes air mata jatuh dari matanya.

Yuna dan Yui yang menyaksikan itu juga ikut terdiam. Mereka mengira Nana menangis karena takut, tetapi mereka salah. Nana menangis karena terharu. Karena Yuki peduli padanya.

Yuki yang melihat itu tanpa sadar meletakkan tangannya di bahu Nana, menggenggamnya dengan lembut. “Nggak usah khawatir. Gua nggak bakal biarin itu terjadi.”

Namun, bukannya membuat Nana tenang, kata-kata Yuki justru membuatnya semakin tidak bisa menahan tangis. Ia menoleh ke samping, membelakangi mereka, lalu menangis pelan.

Melihat itu, Yuki kembali merasakan sesuatu dalam hatinya. Sesuatu yang asing, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

Yuna yang menyaksikan sahabatnya seperti itu juga ikut meneteskan air mata.

Yuki menatap mereka berdua. Di saat itulah ia mulai benar-benar menyadari sesuatu. Ucapan Ayaka, tentang Nana dan Yuna. Mereka tidak seperti yang Ayaka katakan. Mereka tidak berbahaya. Mereka adalah orang-orang yang menangis dan merasakan emosi yang nyata.

Yuki menarik napas dalam, lalu berkata, “Boleh gua tanya sesuatu?”

Nana, yang masih menunduk, perlahan menoleh ke arahnya. “Apa?” suaranya terdengar lembut.

Yuki menatapnya dalam. “Sebelum gua kehilangan ingatan, sebenarnya hubungan kita kayak gimana?”

Nana dan Yuna terdiam. Yuna menatap Nana, berharap Nana akan mengatakan yang sebenarnya.

Namun di dalam hati Nana, ia tahu, ini belum saatnya. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, Yuki mungkin akan berpikir keras. Dan jika itu terjadi, ada kemungkinan kepalanya akan kembali terasa sakit.

Nana menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Kita ini teman sekelas, kan? Jadi sudah pasti hubungan kita sama kayak hubungan lu sama Naoki dan Keisuke.”

Yuki terdiam, mencoba mengingat-ingat. Ia memang tidak ingat banyak tentang Naoki dan Keisuke, tapi perasaan akrab itu ada. “Jadi,,, kita akrab?” tanyanya pelan.

Nana mengangguk. “Iya. Nggak cuma sama gua, tapi juga sama Yuna. Kontrakan kita bersebelahan, jadi kita sering bareng.”

Yuki diam sejenak, mencerna kata-kata Nana. Jika memang benar begitu, kenapa Ayaka selalu mengatakan bahwa Nana dan Yuna berbahaya untuknya? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang Ayaka sembunyikan darinya? Untuk pertama kalinya, Yuki mulai mencurigai Ayaka.

1
🐌KANG MAGERAN🐌
mampir kak, semangat dr 'Ajari aku hijrah' 😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!