Fariq Atlas Renandra seorang pria yang berprofesi sebagai mandor bangunan sekaligus arsitektur yang sudah memiliki jam terbang kemana-mana. Bertemu dengan seorang dokter muda bernama Rachel Diandra yang memiliki paras cantik rupawan. Keduanya dijodohkan oleh orangtuanya masing-masing, mengingat Fariq dan Rachel sama-sama sendiri.
Pernikahan mereka berjalan seperti yang diharapkan oleh orang tua mereka. Walaupun ada saja tantangan yang mereka hadapi. Mulai dari mantan Fariq hingga saudara tiri Rachel yang mencoba menghancurkan hubungan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naga Rahsyafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima
Sudah beberapa hari berlalu, Fariq dan Rachel semakin dekat saja. Sesuai dengan kemauan kedua orang tua mereka. Persiapan untuk pelaksanaan acara pertunangan akan segera tiba.
Fariq tidak mau ambil pusing, semuanya di siapkan oleh orangtuanya dan juga orang tua Rachel beserta wanita itu. Bukannya tidak ingin ikut campur namun dia fokus pada pekerjaannya.
Saat dimalam hari Fariq tidak sengaja bertemu dengan Rachel di sebuah cafe. Awalnya mereka baik saja namun ekspresi Rachel seperti tidak suka.
"Kenapa kalau aku yang ajak ketemuan, Mas nggak mau?"
"Kamu tau sendiri 'kan saya 'kan kerja. Pulang ke rumah, capek. Istirahat."
"Terus sekarang nggak capek?" tanya Rachel.
"Bukan begitu." Saat Fariq hendak meraih lengan wanita itu, Rachel menepis tangannya.
"Belum juga tunangan Mas udah susah di ajak kompromi. Gimana mau nikah."
"Belum juga nikah. Kamu udah melarang saya keluar."
"Aku nggak larang, Mas ... Aku tanya kenapa kalau aku yang ajak Nas nggak mau. Tapi teman-teman Mas yang ajak keluar, Mas iyain aja."
"Ya udah lah. Nggak usah dipermasalahkan lagi. Ini tempat umum."
Kembali Fariq meraih lengan calon istrinya namun Rachel menepis tanga pria itu. "Jangan pegang aku."
"Jangan marah. Saya mengaku salah."
"Jangan pegang! Denger nggak sih!" ketus Rachel.
Dari sudut ruangan itu, Fariq menatap sekeliling mereka. Sebisa mungkin dia akan mencoba meluluhkan hati wanita itu supaya tidak marah kepadanya. Akan bahaya jika orangtuanya mengetahui pertengkaran kecil itu.
"Sekarang–"
"Iiih ..." Rachel semakin kesal kepada pria itu. "Kalau mau ngomong ya udah, nggak usah pegang-pegang."
"Kamu jangan marah-marah. Ini tempat umum."
"Mas sendiri yang buat aku marah. Kalau–"
Cup!
Rachel membulatkan matanya, di depan banyak orang pria itu malah mengecup bibirnya. Segera mungkin ia mendorong tubuh Fariq agar tidak banyak orang lagi yang menyaksikan hal itu.
"Gimana? Masih marah?" Tanya Fariq.
"Mas ngapain sih. Untung nggak di liat sama orang-orang."
"Masih marah sama saya?"
"Masih!" ketus Rachel.
"Mau saya cium lagi?"
"Jorok!"
"Gimana? Mau nggak?" Fariq memainkan alis matanya.
"Aku mau pulang."
[] [] []
Sekarang Fariq dan calon istrinya sedang berada di sebuah taman kota. Setelah susah payah membujuk wanita itu, akhirnya Rachel mau ikut bersama Fariq.
Duduk di kursi taman dengan suasana remang-remang membuat suasana menjadi romantis. Tapi tidak bagi Rachel, ia masih kesal dengan kelakuan pria itu. Merasa tidak di gubris oleh calonnya, Fariq duduk bersila menghadap Rachel. Tapi wanita itu masih belum mau menatapnya.
Rachel berdecak kesal ketika pria itu meniup wajahnya. Sedangkan Fariq melakukan aksinya untuk mengambil perhatian dokter itu.
"Jangan ditiup, ah!" kesal Rachel.
Lagi dan lagi Fariq terus melakukan hal itu. Hingga akhirnya Rachel hilang kesabaran dan menatap Fariq dengan tajam. "Mas lihat kondisi. Orang lagi marah malah diajak bercanda."
Pria itu hanya tersenyum saja melihat calon istrinya.
"Nggak usah senyum-senyum. Mas pikir lucu."
“Emang lucu.” Balas Fariq.
"Aku masih kesal, marah sama, Mas ... Orang lain ngajak jalan dia mau, calon istrinya di abaikan."
Fariq menarik tengkuk wanita itu dan kejadian tadi terulang lagi. Pertemuan bibir beberapa detik dirasakan oleh keduanya.
"Bawel!" ucap Fariq.
Rachel terdiam, untuk kedua kalinya pria itu sudah menodai bibirnya.
"Gini dong, diam, kalem. Jangan marah-marah mulu."
"Aku marah juga karena, Mas."
"Mau lagi?"
"Apa?" tanya Rachel.
"Menurut kamu?"
Rachel tidak menjawab, dia terdiam. Saat hendak memalingkan wajah, kembali Fariq menangkup wajah wanita itu dan memberikan kecupan lagi tetapi di wajahnya.
Cup!
"Lama kelamaan saya mengenal kamu, kamu semakin terlihat cantik," ucap Fariq.
Orang yang ia puji sedang salah tingkah, Rachel merasa canggung saat ini setelah mendapat pujian yang tidak biasa calon tunangannya.
"Saya mau lagi."
"Mau apa?" tanya Rachel mengernyitkan keningnya.
"Mau bibir kamu."
Fariq menarik tengkuk Rachel namun wanita itu langsung menahan wajah calon suaminya. "Mau ngapain?"
"Biar kamu nggak marah lagi. Sini saya cium."
Rachel melarang tindakan yang dilakukan oleh pria itu. Namun tenaganya tidak sama dengan Fariq, ia kalah dan pria itu kembali merasakan bibirnya. Tapi tiba-tiba saja Rachel mendorong tubuh Fariq dan langsung berdiri di hadapan pria itu.
Plak!
Fariq mengusap wajahnya yang ditampar oleh wanita itu.
"Kok gitu sih?"
"Maaf," lirih Fariq.
Hampir saja dia melewati batasan karena telah menggenggam bagian dada wanita itu.
"Ingat ... Kita belum nikah, tunangan aja belum."
"Saya minta maaf. Saya akui, saya salah."
Rachel kembali duduk. "Kalau mau lebih, nikahnya dipercepat ... Jangan kayak tadi, aku nggak suka."
"Maafkan saya."
"Iya!" ketus Rachel.
[] [] []
Fariq Atlas Renandra sudah ada di ruang tamu, ia menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Melihat langit-langit ruangan, Fariq membayangkan calon istrinya yang terlihat cantik ketika saat marah.
"Kamu udah pulang, Ariq."
Dari arah belakang Rita melangkah menghampiri sang anak. "Baru sampai?" tanyanya setelah duduk di samping pria itu.
"Iya, Mi."
"Jam dua belas," lirih wanita itu saat melihat layar ponselnya. "Tumben pulang lama. Biasanya enggak."
"Ariq keluar sama temen-temen nggak sampai satu jam, Mi."
"Terus kamu kemana? Jam segini baru pulang." Tanya Rita.
"Tadi Ariq ketemu sama Rachel, calon menantu Mami."
"Serius sayang?" tanya Rita dengan semangat. "Kalian jalan?"
"Iya ... Dia marah sama Ariq."
"Marah kenapa?"
"Nggak tau. Tapi marahnya cuma sebentar, Mi."
"Tapi besok kamu nggak perlu ketemu sama dia," larang Rita.
"Lho! Kok gitu?"
"Lusa kalian tunangan. Alangkah baiknya jangan ketemu dulu."