"Jika kamu ingin melihat pelangi, kamu harus belajar melihat hujan."
Pernikahan Mario dan Karina sudah berjalan selama delapan tahun, dikaruniai buah hati tentulah hal yang didambakan oleh Mario dan Karina.
Didalam penantian itu, Mario datang dengan membawa seorang anak perempuan bernama Aluna, yang dia adopsi, Karina yang sudah lama mendambakan buah hati menyayangi Aluna dengan setulus hatinya.
Tapi semua harus berubah, saat Karina menyadari ada sikap berbeda dari Mario ke anak angkat mereka, sampai akhirnya Karina mengetahui bahwa Aluna adalah anak haram Mario dengan wanita lain, akankah pernikahan delapan tahun itu kandas karena hubungan gelap Mario dibelakang Karina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua
Tepat jam sepuluh pagi, mobil yang dikendarai Pak Ahmad memasuki halaman sebuah rumah dengan gaya minimalis.
Mario berjalan tergesa, melangkah masuk ke rumah itu, diiringi sunyi yang memelas. Mario merasa cukup heran dengan keadaan rumah saat ini. Biasanya Zoya akan menyambut kedatangannya dan memeluk lengan pria itu dengan manja.
"Selamat datang, Pak Mario," kata Bu Tini dengan suara pelan.
Mario merasakan getaran tidak enak di hatinya. "Apa yang terjadi, Bu Tini?"
Bu Tini menarik napas dalam, dia menelan ludah. Rasanya sangat berat untuk mengatakan apa yang sedang terjadi, "Ibu Zoya ... sudah pergi dari rumah sejak dua hari yang lalu, Pak."
Mario merasa aliran darahnya terhenti mendengar ucapan pembantunya itu. Tak menyangka jika wanita itu akan melakukan hal tersebut.
"Maksud Bu Tini apa?" Mario bertanya lagi untuk memastikan apa yang Zoya telah lakukan.
Sebelum Bu Tini menjawab, terdengar suara tangis dari atas. Aluna, putri kecilnya yang berusia empat tahun, berlari turun tangga dengan wajah merah dan mata bengkak.
"Papi ...!" teriaknya, melompat ke pelukan Mario.
Mario memeluk Aluna erat, mencoba menenangkan tangisnya. "Apa yang terjadi, Nak? Jangan takut, papi di sini!"
Aluna menangis lebih keras, menjawab di antara Isak tangisnya. "Mami pergi, Papi ... aku takut ...."
Mario memandang Bu Tini dengan banyak pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Zoya pergi tanpa pesan? Bu Tini yang berada di rumah ini tak mungkin tak mengetahui alasan wanita itu pergi.
Mario kembali memeluk Aluna dengan erat, mencoba menenangkan tangisnya. "Apa yang terjadi, Nak? Jangan takut, papi ada di sini. Apa Zoya ada mengatakan sesuatu sebelum. pergi?" tanya Mario pada
Bu Tini menggelengkan kepala. "Pak Mario, saya tidak tahu apa yang terjadi. Ibu Zoya pergi pagi-pagi, tanpa mengatakan apa pun. Saya pikir hanya sebentar, hingga tengah malam, Bu Zoya belum juga kembali, hingga hari ini."
Mario merasa kebingungan dan khawatir. Dia memandang sekeliling rumah, berharap menemukan petunjuk.
"Aluna, Sayang, ceritakan apa yang terjadi sebelum Mami pergi," kata Mario, mencoba tetap tenang.
Aluna tampak berpikir, mungkin dia belum bisa merangkai kata yang tepat. "Tak ada ngomong apa-apa," jawab Aluna dengan suara cadelnya.
"Tak apa, Sayang. Mami pasti akan kembali. Sekarang kita duduk dulu," balas Mario.
Mario menggendong putrinya, membawa menuju ruang keluarga. Mereka berdua lalu duduk di sofa.
Aluna menatap papinya dengan mata bengkak. "Papi, kenapa mami pergi?" tanya Aluna.
Mario duduk di samping Aluna, memeluknya erat. "Papi juga tidak tahu, Nak." Mario menjawab dengan suara pelan.
Aluna menangis lagi, suaranya terputus-putus. "Papi, aku takut. Aku mau Mami," ucap Aluna.
Mario memeluk Aluna lebih erat. "Papi akan membawa kamu menemui mami baru. Yang lebih baik. Tapi Aluna harus janji, jangan katakan apa pun. Jangan bilang kalau Luna sering bertemu papi."
"Apa mami baru nanti akan sayang dengan Luna?" tanya bocah itu. Sepertinya dia memiliki trauma pada sosok wanita dewasa.
"Tentu saja. Dia tak seperti mami Zoya yang tega meninggalkan Luna," jawab Mario dengan suara pelan berusaha membujuk putrinya itu.
Mario memutuskan akan membawa putrinya pulang ke rumah. Dia akan meminta Karina menjaganya. Dia yakin istrinya itu akan menjaga Aluna jauh lebih baik dari Zoya.
Setelah membujuk dan merayu Aluna, akhirnya bocah itu bisa mengerti. Tak lupa Mario juga mengajari apa yang harus anak itu lakukan dan katakan jika nanti bertemu Karina.
Mario lalu meminta Bu Tini untuk menyusun baju Aluna. Dia hanya membutuhkan beberapa pasang baju saja. Selebihnya bisa di beli lagi.
"Bu Tini, aku akan bawa Aluna. Tolong jaga dan bersihkan rumah ini. Gaji akan tetap aku kirimkan dan nanti juga aku beri uang buat makan!" seru Mario dengan penuh penekanan.
Dia merasa sangat marah karena Zoya yang tega meninggalkan darah daging mereka. Seharusnya wanita itu berpikir akibat buruk dari apa yang dia lakukan. Seandainya pembantu di sini berniat buruk dan jahat, bagaimana nasib putrinya.
"Bu, jika nanti Zoya kembali, jangan katakan aku yang membawa Aluna. Dan jangan izinkan dia masuk. Kamu minta saja dia menghubungi aku!" seru Mario lagi.
"Baik, Pak. Semoga di tempat yang baru Aluna lebih diperhatikan dan lebih diurus." Bu Tini berdoa dengan tulus. Melihat selama ini Zoya yang tak pernah memperhatikan sang bocah. Hanya memikirkan dirinya sendiri saja.
**
Mario lalu mengajak Aluna. Dia dan bocah itu duduk di bangku belakang. Sepanjang jalan anak itu selalu tersenyum. Sepertinya sangat bahagia.
Mario memang tak pernah membawa bocah itu keluar rumah. Takut ada yang melihatnya. Sehingga waktunya hanya dihabiskan dalam rumah saja.
Saat matahari mulai kembali ke peraduannya, Mario sampai di rumah. Dia tampak sedikit ragu saat memasuki rumahnya. Takut Karina tak bisa menerima kehadiran Aluna.
Mario meminta Aluna keluar dari mobil. Tangan mungilnya di genggam seolah memberikan kekuatan pada bocah itu.
Mereka berdua berjalan masuk ke rumah. Jam segini, Mario yakin sang istri sedang di dapur. Mempersiapkan masakan buat makan malam mereka.
Seperti dugaan, Karina sedang sibuk dengan masakannya. Mario mendekati dan memeluk pinggang istrinya dan mengecupnya dengan lembut.
'Sayang, kamu masak apa? Wanginya membuat perutku lapar," ucap Mario.
"Aku masak lauk kesukaanmu, Mas. Dendeng balado," jawab Karina sambil terus mengaduk cabe di kuali.
Setelah masak, dia mematikan kompor. Karina membalikan tubuhnya menghadap sang suami. Membalas pelukan pria itu.
"Tadi katanya Mas mau lembur?" tanya Karina dengan tatapan menyelidik.
"Rencananya, tapi aku ingat istri tercintaku ini. Aku buru-buru pulang. Aku tak kuat menahan rindu," jawab Mario.
"Gombal aja," ucap Karina.
Karina melepaskan pelukan sang suami. Menyajikan semua masakan ke atas meja.
"Mas, mandilah dulu, baru kita makan malam," ucap Karina.
"Karina, ada yang ingin aku katakan!' seru Mario dengan suara lembut.
Karina mengerutkan dahinya. Tak pernah suaminya bicara seserius saat ini. Raut wajah Mario tampak sangat tegang. Rahangnya terlihat jelas.
"Apa yang ingin kamu katakan, Mas? Sepertinya serius?" tanya Karina.
"Ya, Karin. Aku ...," ucapan Mario terjeda. Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku ingin kita mengadopsi seorang anak. Dia tak memiliki ibu lagi. Apakah kamu keberatan, Sayang?" tanya Mario.
"Aku tak keberatan, Mas. Cuma kenapa Mas baru teringat untuk melakukan itu. Selama ini setiap aku meminta Mas untuk adopsi anak, Mas tak mau. Kenapa kali ini jadi kepikiran untuk melakukan itu?' tanya Karina.
Klo dari dulu tegas ga akan berlarut masalahmu mario..
Terima kasih mam tetap 💪💪🤗😍