Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Kepalanya mendongak saat pintu kaca itu terbuka sedikit, lalu tertutup lagi. Seorang gadis masuk sembari membawa dua cangkir kopi. “Masih sibuk, ya? Mau aku temanin lagi?” Tangannya meletakkan dua cangkir kopi itu bersisian. Lalu, duduk di atas meja menghadap Kaivan. Tangannya melepas kacamata yang dipakai Kaivan dengan senyuman manisnya. “Sudah lama ‘kan, Mas?”
Terjadi beberapa momen dalam waktu singkat, yang benar-benar mengganggu pikiran Kaivan. Dia benar-benar menyesalinya tanpa bisa berucap apa pun. Tangannya mengepal kuat dengan deru nafas yang susah sekali untuk dia hirup. Rasanya jantungnya sudah tidak berfungsi dengan baik. Beberapa kali jemarinya menyisir rambutnya kasar, berharap semuanya sirna.
“Mas? Kamu nggak apa-apa?”
Kaivan menoleh pada Shana yang duduk di sampingnya. Dia tidak sadar bahwa di antara mereka selama dari Jakarta belum mengeluarkan obrolan apa pun.
“Iya, aku nggak apa-apa,”gumamnya. Lalu, kembali menoleh ke depan. Matanya menatap lurus jalan raya yang tengah ramai oleh pengendara.
“Mas, tadi malam, kamu pulang jam berapa?” Shana tidak menoleh lagi. Matanya memendar ke luar jendela melihat ramainya jalanan oleh orang-orang yang tengah mencari makan siang.
“Aku pulang jam … satu. Mungkin…”
Terdengar keraguan di sana. Namun, Shana tidak berpikir apa pun. Dia menoleh pada Kaivan yang juga menoleh, memberinya senyuman hangat di sana.
“Kemarin, aku ke dokter obgyn. Sudah menuju tiga bulan. Tapi, untuk jenis kelaminnya, katanya belum terlihat. Mungkin, bulan depan.”
Shana tersenyum-senyum sendiri mengingat penjelasan dokter kemarin. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa Kaivan tampak menghela napas.
“Maaf—”
“Kamu nggak perlu minta maaf, Mas. Aku tau kok kamu sibuk banget, sampe lembur, ya … semua karena aku. Karena ini, kan?”
Kaivan menoleh dengan perasaan gamang saat melihat Shana masih tersenyum dengan polos. Padahal, maaf Kaivan tadi bukan tertuju ke sana. Tapi, tertuju pada hal-hal yang dia pikir sudah mengkhianati pernikahan ini. Mulutnya tidak menjawab pertanyaan Shana. Dia memilih untuk tetap membisu.
“Mas? Kok kamu kayak … aneh?” Shana meneleng memperhatikan raut wajah Kaivan yang tiba-tiba berubah panik.
“Aneh, gimana?” Kaivan menggigit kecil bibirnya saat tahu sikapnya terbaca oleh Shana.
“Nggak ada yang kamu sembunyikan dari aku, kan, Mas?”
Tiba-tiba saja Kaivan menginjak pedal rem. Aksinya itu membuat tubuh Shana terdorong ke arah depan secara cepat. Membuat perempuan itu shock setengah mati. Dan juga, Kaivan yang terus-menerus dimaki oleh pengemudi mobil yang di belakangnya.
“Kamu kenapa, sih, Shan? Aneh banget tiba-tiba nuduh aku kayak gitu?” Kaivan berdecak, “Kamu nggak percaya sama aku?”
Mulut Shana terbuka hendak mengucapkan sesuatu. Namun, dia menahannya, memilih untuk tidak membalas ucapan Kaivan. Yang bisa saja membuat pertengkaran di antara mereka.
“Ini sudah di pertengahan jalan, loh. Nggak lama lagi kita sampai. Tolong lah, Shan. Jangan bikin aku membatalkan cutiku.” Kaivan mendelik tajam pada Shana. “Jangan bikin semuanya jadi sia-sia.”
Deg!
Tidak ada di pikiran Shana bahwa Kaivan akan mengatakan itu. Terdengar sangat memekik telinganya, sampai menusuk ke dasar hati. Bagai disambar petir di siang bolong, Shana mendadak bungkam.
Pandangan Shana mulai memburam, tepat di dalam matanya sudah terbentuk aliran anak sungai yang siap terjun bebas. Satu kedipan saja, maka semua akan luruh.
Shana menoleh sebentar pada Kaivan yang tidak memandangnya lagi. Laki-laki itu tengah mengusap wajahnya gusar. Nampaknya sedang tidak baik-baik saja. Membuat Shana cemas. Pandangan dihamparkan pada jendela yang diturunkan demi bisa melihat aktivitas di luar sana.
Tangannya bergerak mengusap ujung matanya yang basah. Dia hanya berharap kalau saja Kaivan akan membatalkan perjalanan ke Bandung, dan memutar balik ke Jakarta.
Namun, semua itu tidak terjadi. Karena, kini Kaivan sudah menekan pedal gas, dan mobil kembali melaju. Melanjutkan perjalanan mereka yang sempat terhenti.
***
Mobil milik Kaivan sudah terparkir rapi di sebuah pekarangan rumah yang luas. Sebuah rumah bercat biru muda yang nampaknya sudah usang, dengan daun pintu yang permukaan catnya sudah terkelupas separuh. Terdengar suara riuh suara orang di dalam rumah yang pintunya terbuka sedikit.
Kaivan baru saja mematikan mesin mobilnya. Dia menghela napas berat sampai akhirnya bisa menggenggam tangan Shana. Membuat keduanya bertatapan dengan perasaan campur aduk. Sampai Shana yang terlebih dulu berbicara.
“Mas, aku minta maaf—”
“Nggak ada, Sayang. Kamu nggak ada kesalahan apapun. Aku yang seharusnya minta maaf karena bikin kamu kepikiran terus,”sahut Kaivan mengecup puncak kepala Shana. “Maaf, ya, Sayang…”
Mata Shana berkaca-kaca, namun segera dia menunduk agar Kaivan tidak melihatnya. Ini bukan momen yang pas. Namun, Kaivan tetaplah Kaivan. Tangannya mengangkat dagu Shana. Dan di sana lah perasaan Kaivan mencelos. Mengumpat dirinya sendiri.
“Kok nangis, sih?” Telunjuknya mengusap air mata yang mengalir di pipi Shana. “Jahat banget ya aku? Aku minta maaf ya, Sayang. Aku janji nggak bakal kayak gini lagi.”
Lembut dan halus sekali perkataannya masuk ke telinga Shana. Menenangkan perasaan Shana yang tak karuan.
“Mas, nggak apa-apa kok. Aku tau tuntutan pekerjaan kamu banyak. Dan, aku paham keadaan kamu,”ucap Shana.
Salah satu tangan Shana terangkat mengusap pipi Kaivan.
“Lagi pula, memang seharusnya aku nggak ngomong sesuatu yang menyinggung perasaan kamu,”lanjutnya.
Kaivan tidak berekspresi, “Kamu jangan banyak pikiran, ya?”
Keduanya memutuskan untuk turun dari mobil setelah menuntaskan permasalahan mereka. Shana masih berdiri di depan pintu untuk menunggu Kaivan yang mengambil koper mereka di mobil. Meski Kaivan sudah menyuruhnya masuk lebih dulu, namun Shana tidak bergerak sedari tadi. Dia merasa canggung jika melakukan itu.
Hingga pandangannya menoleh ke arah pintu yang terbuka dan sebuah kepala berisi uban menyembul di sana. Shana tersenyum kikuk, sampai akhirnya tawa Kaivan terdengar dari arah belakang. “Assalamualaikum!”
Wanita paruh baya yang baru saja membuka pintu itu terkejut, namun tersenyum manis ketika melihat kedatangan Kaivan. “Waalaikumsalam! Hapunten. Sugan teh saha.” [Maaf. Saya kirain siapa]
Girangnya ibu Kaivan menyambut Shana dan memeluk anak mantunya, rupanya membuat semua yang berisik di dalam mulai menghambur di pintu. Ikut menyaksikan siapa yang barusan datang.
“Aa!” Beberapa orang gadis kecil yang Shana belum sempat menghitung langsung menyerbu Kaivan dengan pelukan-pelukan. Yang disambut dengan tawa bahagia.
“Aa punya kejutan buat kalian, yuk masuk!” Kaivan menginterupsi dan melirik Shana yang bergeming di tempat. Memperhatikan bahagianya mereka menyambut Kaivan.
“Kumaha damang?” [Bagaimana kabar?]
Tangan ibu merangkul lengan Shana dan membawanya masuk ke dalam rumah sederhana miliknya. Shana melirik Kaivan, dia tidak mengerti bahasa Sunda.
Kaivan yang memahami wajah penuh tanya Shana, hanya terkekeh kecil. Lalu, “Kata ibu, bagaimana kabar? Baik?”
Mendengar suara Kaivan, semua yang ada di ruang tengah tertawa. Mereka baru tahu kalau istri Kaivan tidak mengerti bahasa Sunda. Begitu pun dengan ibu, beliau tertawa sampai beberapa giginya yang tanggal terlihat. Shana hanya menggigit kecil bibirnya, menahan malu.