Difiar Seamus seorang penyihir penyedia jasa pengabul permintaan dengan imbalan sesuka hatinya. Tidak segan-segan Difiar mengambil hal berharga dari pelanggannya. Sehingga manusia sadar jika mereka harus lebih berusaha lagi daripada menempuh jalan instan yang membuat mereka menyesal.
Malena Safira manusia yang tidak tahu identitasnya, pasalnya semua orang menganggap jika dirinya seorang penjelajah waktu. Bagi Safira, dia hanyalah orang yang setiap hari selalu sial dan bermimpi buruk. Anehnya, mimpi itu merupakan kisah masa lalu orang yang diambang kematian.
Jika kalian sedang putus asa lalu menemukan gubuk tua yang di kelilingi pepohonan, masuklah ke dalam penyihir akan mengabulkan permintaan kalian karena mereka pernah mencicipi rasanya ramuan pengubah nasib yang terbukti ampuh mengubah hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gaurika Jolie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cantik-Cantik Kok Sial
Entah apa yang terjadi di hari esok, kata takut terus saja menghantui padahal detik ini tidak ada kejadian buruk yang menimpa kita. Namun, hati terus-terusan tidak tenang mengkhawatirkan peristiwa apalagi yang harus dihadapi nanti.
Safira terus mengatur napas agar tenang. Berulang kali memperbaiki posisi duduknya di dalam bus. Seharusnya dia bisa duduk nyaman sebab tidak berdesakan dan angin malam hari mendukung untuk menenangkan tubuhnya.
“Argh!”
Sudah tidak tahan lagi perasaan yang terus berkecamuk dalam hatinya perlahan menggerogoti mentalnya. Dia tidak ingin masalah yang datang membuatnya kehilangan jati diri. Dia harus melawan perasaan putus asa yang terus menyapanya.
Wanita dengan balutan busana kerja itu memilih berdiri berpegangan pada handle tangan di atas kepalanya. Dia menarik sudut bibirnya memaksa untuk tersenyum. “Halo semua, aku Safira Malena. Aku nggak bisa masak, tapi jago buat roti. Sekarang ekonomiku lagi susah, jadi jarang baking lagi. Walaupun jadi orang sial, aku berusaha bertahan biar publik speaking ku tetap lancar.”
“Ck! Nggak ada yang mau tau informasi seperti itu, Kak! Bisa diam nggak sih ganggu orang belajar aja!” protes gadis yang duduk di depannya itu memberikan tatapan tajam yang menusuk perasaannya.
Lantas Safira merasa bersalah. “Maaf, aku nggak tau ada kamu di situ.”
Gadis itu mendesis seolah tidak ingin mendengar balasan darinya. Safira mengulum bibir dan hendak berbalik, namun tiba-tiba saja bus yang mereka tumpangi mengerem mendadak sehingga kedua kaki Safira kehilangan keseimbangan.
“Kak!!”
Gadis itu berusaha menarik tangan Safira, begitu juga Safira yang berusaha mencari pegangan. Sayangnya tablet yang ada di genggaman tangan gadis itu lah yang bisa dia raih sehingga tablet itu ikut terlempar mengikuti tubuhnya yang jatuh.
Brak!!!
Tubuh mungilnya jatuh ke bawah menciptakan bunyi dentuman yang keras disusul barang jatuh yang membuat jantung keduanya hampir lompat dari tempatnya.
Secepat mungkin Safira melihat apa yang dia perbuat lagi, betapa kagetnya benda persegi panjang itu sudah terkapar di bawah sangat mengenaskan.
“Ip*d aku!”
‘Harga diriku lagi dan lagi kalah sama benda kecil yang bisa apa-apa. Di tempat kerja baik-baik aja, tapi sekarang kesialan terus menghampiriku,’ batin Safira dengan mata terpejam, tangannya mengusap sikutnya yang terasa nyeri.
Terdengar tangis dari gadis pemilik tablet yang sudah pecah belah di genggamannya. Dia terus memeriksa tabletnya berharap masih bisa menyala. Namun naas, nasi sudah jadi bubur.
“Tablet aku udah remuk, Kak! Nggak bisa hidup lagi. Nggak mau tau pokoknya Kakak harus ganti rugi!” desak gadis itu yang kini menghampiri Safira.
Safira langsung berkeringat dingin, dia tidak merasa bersalah sama sekali. “Aku juga korban, Dek! Kamu nggak lihat sikut aku lebam kayak gini?”
Gadis itu melihat Safira menggulung lengannya dan tampak jelas berwarna biru kehitaman di tangannya yang seputih susu itu. Namun, dia semakin nangis. “Terus aku pulangnya gimana? Kalau Mama sampai tau, aku dipukulin karena beli ip*d-nya mahal! Kakak kerja, kan? Pasti punya uang buat ganti rugi!”
“Enggak, Dek. Aku juga nggak punya uang sama sekali. Sebentar, biar aku protes sama supir busnya!”
“Kak! Kalau sampai Kakak nggak ganti rugi, ayahnya sahabatku polisi. Aku pasti minta bantuan sama dia biar tabletku yang Kakak rusak cepat-cepat diganti!”
Safira tertawa getir. “Kamu mengancam aku ke kantor polisi?”
“Iya! Aku masih pelajar, pasti mereka lebih percaya ucapanku!” balasnya penuh percaya diri sehingga Safira kalah telak.
Wanita cantik yang acak-acakan itu tidak punya pilihan lagi. “Tunggu di sini biar aku yang urus!”
Kaki Safira menghentak-hentak berjalan ke arah supir bus yang hendak turun itu. Emosinya meledak dan dia menarik tangan supir yang hendak turun. Safira menunjuk pria di depannya penuh amarah. “Bisa mengendari bus nggak sih? Bapak nggak tau apa yang terjadi di belakang, hah?”
“Bentar, ya, Neng—”
“Nggak bisa nunggu lagi, karena Bapak bawa bus nggak hati-hati, lihat tuh tablet penumpang di belakang rusak parah. Bapak harus ganti rugi!” teriak Safira dengan suara lantang yang menunjuk gadis tadi di belakang. Uratnya bagaikan hampir putus sehingga sang supir melihat keadaan belakang.
“Gimana, ya, Neng jelasinnya, masalah bukan saya yang salah. Lihat tuh mobil di depan sana yang berkendara sembarangan. Kalau saya yang ganti rugi jelas nggak mau.”
Lantas Safira menoleh mendapati mobil yang sangat dia kenal. Dia meneliti nomor platnya dan dugaannya tepat. Dengan cepat dia menuruni bus mencari pemilik mobil penuh kecemasan. “Mami!”
Teriakan dari Safira itu mengundang perhatian banyak orang. Seorang wanita bercelana pendek itu menengok ke belakang. Wajah paniknya berubah jadi tenang ketika gadis yang dia banggakan mengkhawatirkannya.
“Safira, aku di sini,” jawab wanita itu dengan lambaian tangan.
Safira mencari sumber suara, saat mata mereka bertemu, Safira berlari memeluknya. Pemilik diskotik itu menangkap tubuhnya dan mengusap pinggangnya.
“Kamu ada di dalam bus, ya? Nggak papa, kan?” Sang muncikari itu memijit kepalanya yang pening, tetapi dia tampil terbaik untuk terlihat baik-baik saja.
Safira memandang Mami angkatnya itu. Seperti diberi jalan satu-satunya. Dia terus bertemu dengannya bagaikan pahlawan. “Tadi, aku nggak sengaja merusak tablet orang, Mam! Padahal aku nggak ada maksud.”
“Iya, aku tau keadaan kamu.”
“Kamu bawa uang sekitar 10 juta? Sepertinya bisa kurang dari segitu. Kalau aku nggak ganti rugi, urusannya polisi,” terang Safira yang memberikan tatapan berkaca-kaca.
Sang muncikari itu juga kebingungan melebihi masalah yang diderita Safira. Dia memegang lengan Safira sangat erat. “Kebetulan aku nggak bawa uang sama sekali. Gimana kalau kita pulang dulu?”
“Tapi, Mami?” Safira melihat wajah Maminya itu yang pucat pasi dengan butiran bulir di keringatnya. “Kamu sakit?”
Wanita berambut merah itu menggeleng lemah. Dia melihat sekeliling dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. “Kita pulang aja dulu.”
“Tablet orang itu...?” Safira melihat bus itu ketika Maminya menarik tangannya ke dalam mobil.
Genggaman tangan itu semakin kencang mau tidak mau Safira harus menurutinya. “Udah diam aja.”
Mulut Safira bungkam melihat wajah teduhnya berubah menjadi panik. “Nggak ada yang kamu sembunyikan dari aku, kan?”
Ada jeda obrolan di antara mereka. Tarikan napas dari pemilik diskotik itu mengakhiri kecemasannya. “Nggak ada.”
Mereka sempat hening kembali. Safira masih memikirkan tablet yang rusak lagi. Keuangannya benar-benar selalu diuji. Entah apa yang terjadi di masa depan, saat ini saja sudah membuatnya kelelahan.
“Aku mau menerima tawaran kamu.”
Kalimat yang dilontarkan Safira baru saja, membuat sang muncikari terkejut. Jelas dia tahu mengapa dia menerima tawarannya. “Kalau belum siap nggak usah main-main. Di sana hanya untuk orang-orang yang mau ambil resiko dan benar-benar siap menanggung semuanya sendiri.”
“Kamu nggak tau orang putus asa itu bisa mengubah keraguan jadi keyakinan?” tanya Safira menekan setiap kata sehingga perlahan sang muncikari itu tersenyum.
“Tau, makanya aku nggak mau kamu ambil tawaran itu karena terburu-buru.”
“Satu ... dua—”
Wanita itu langsung menyuruh Safira diam. “Baiklah itu mau kamu. Aku sama sekali nggak maksa.”
Bagaikan kabar baik karena masih ada jalan yang terbuka, Safira bersandar sambil tersenyum seolah kabar baik itu yang dia tunggu-tunggu. Namun, ada perasaan bersalah dalam dirinya.
‘Seharusnya, aku nggak perlu melakukan ini. Kalau suamiku kecewa dapat zonk itu salahnya datang terlalu lama!’