Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 31 Tidak Benar-benar Berhenti
Andini sedang memasak untuk makan malam bersama Edwin namun dia mendengar suara bel apartementnya berbunyi. Andini mematikan kompor dihadapannya hendak membukakan pintu.
"Biar saya yang membukanya," kata Edwin yang baru keluar dari kamar sehabis mandi dan berganti pakaian.
"Iya, Pak, kalau begitu saya lanjut memasak."
Edwin mengangguk lalu melangkah menuju pintu apartement untuk membukanya.
"Pak Tua?"
"Kamu ini, Bim, masih saja memanggil saya Pak Tua," protes Edwin.
Bima tak memperdulikan protes dari Edwin. Dia melangkah masuk begitu saja melewati Edwin yang membukakan pintu untuknya. Bima menubrukkan sisi bahunya dengan bahu Edwin membuat pria itu geleng-geleng kepala.
Edwin menutup pintu apartemen kemudian menyusul Bima yang menghampiri Andini yang sedang memasak didapur.
"Merepotkan." Bima meletakkan kontak motor Andini diatas meja makan lalu duduk disana. Bima yakin ini akal-akalan Edwin menjemput Andini di kampus dan merepotkan dirinya mengambil motor Andini.
Andini menoleh pada Bima lalu tersenyum.
"Terima kasih, ya, Kak," kata Andini.
"Lain kali kalau pulangnya mau dijemput Pak Tua jangan bawa motor, An. Kantorku dan kampus kamu itu jauh belum lagi jalan macet bikin Kakak kesal saja," omel Bima pada Andini
Sebetulnya Bima tak masalah mendatangi kampus Andini dan terjebak macet. Dia kesal itu karena Edwin yang semena-mena jadilah yang diomelinya adalah Andini.
"Maaf, Kak," ucap Andini.
"Heem."
Tak lama Edwin menghampiri Andini yang sedang memasak. Ditangannya ada ikat rambut yang dibelikannya tadi.
"Kalau lagi masak rambutnya diikat supaya tidak gerah," kata Edwin sembari mengumpulkan rambut Andini ke belakang lalu mengikat didekat tengkuk.
Andini menoleh pada Edwin lalu tersenyum.
"Lupa, Pak, kebiasaan tidak diikat rambutnya," kata Andini.
"Sekarangkan sudah saya belikan ikat rambut jadi kamu bisa mengikatnya kalau sedang memasak," kata Edwin seraya tersenyum.
Bima mencebik melihat interaksi kedua orang di hadapannya. Edwin pintar sekali merayu perempuan pantas saja Andini memiliki perasaan padanya.
Edwin lalu membantu Andini mencucikan sayuran dan ayam yang sudah dipotong lalu menyerahkannya pada Andini. Rencananya Andini hendak membuat sup ayam dan sambal.
Andini memasukkan ayam yang sudah Edwin cuci kedalam panci berisi air mendidih yang sebelumnya sudah diberi bumbu sup. Sementara Edwin menghampiri Bima duduk di meja makan.
"Kamu tidak pulang, Bim?" tanya Edwin.
Bima melirik sinis, sepertinya Edwin bertanya seperti itu karena hendak mengusir dirinya agar pergi dari sini.
"Tidak," jawab Bima.
"Pulanglah, Bim, kalau ada kamu saya dan Andini tidak bisa berdua-duaan," kata Edwin membuat Bima melotot.
Edwin tersenyum melihat reaksi Bima yang seperti itu membuatnya ingin selalu mengganggu lelaki itu. Bima yang posesif pada Andini menjadi hiburan tersendiri untuk dirinya.
"Kenapa tidak anda saja yang pulang? Istri anda pasti sudah menunggu Anda di rumah," tanya Bima.
"Saya masih ingin bersama Andini disini, berdua-duan dan berciuman dengannya," jawab Edwin sengaja membuat Bima semakin kesal.
"Awas saja kalau anda berani mencium Andini lagi saya tidak segan-segan mematahkan hidung anda itu," ancam Bima.
"Aww, saya takut, Bim," ucap Edwin sembari terkekeh meledek kakak dari Andini itu.
Edwin bangkit dari duduknya, menepuk bahu Bima yang di tepis lelaki itu. Edwin lalu membantu Andini menyiapkan piring dan nasi untuk mereka makan malam. Tak lupa juga Edwin membawanya ke meja makan dan menyiapkan air minum untuk mereka.
"Mau minum apa, Bim? Biar saya buatkan," tanya Edwin.
Bima menatap Edwin yang sudah berdiri didepan pantri. "Kopi," jawab Bima dan Edwin menganggukkan kepala.
"Kamu mau minum apa, An?" tanya Edwin pada Andini.
"Susu saja, Pak," jawab Andini.
"Bukannya kamu sudah punya susu," kata Edwin membuat pipi Andini bersemu merah. Andini jadi teringat pada saat Edwin mengulum puncak gunung kembarnya dan meremasnya bersamaan.
"Pak ...."
Edwin tertawa melihat Andini yang malu-malu seperti itu. Dia mendekat pada Andini hendak menciumnya namun tangan Bima menghalanginya.
"Bima, kamu bikin saya kesal saja," keluh Edwin.
"Bukannya sudah saya bilang jangan cium adik saya lagi," kata Bima lagi.
Edwin tak mengherani Bima, dia melewati lelaki itu dan mencium bibir Andini.
Bima sudah siap-siap hendak melayangkan tinjunya namun Edwin lebih dulu melepas pagutan bibirnya pada bibir Andini.
Edwin melanjutkan kegiatannya yang tadi hendak membuat minuman. Dua gelas kopi hitam dan satu gelas susu Edwin letakkan dimeja makan kemudian lanjut membantu Andini membawakan sup ayam yang sudah matang.
Mereka makan malam bersama dengan Bima yang terus mengawasi keduanya.
...****************...
Mona pulang ke rumah setelah makan malam dirumah orang tuanya. Dia heran mobil Edwin tidak ada di garasi padahal pria itu sama sekali tidak pamit pergi ke mana-mana padanya.
"Mas Edwin pergi ke mana ya, Bi?" tanya Mona pada pelayan setelah masuk kedalam rumah.
"Saya kurang tahu, Bu," jawab pelayan itu.
Mona melirik meja makan. Makan malam yang dihidangkan dimeja makan masih utuh sama sekali tidak ada yang menyentuhnya artinya Edwin tidak makan malam di rumah.
"Jam berapa tadi Mas Edwin pergi, Bi?"
"Jam 02.00 siang, Bu, dan sampai sekarang belum pulang."
Mona mengangguk lalu melangkah menuju kamarnya berganti pakaian lebih dulu kemudian masuk ke dalam ruang kerjanya. Disana Mona terus menatap peralatan lukis yang ada di ruangan itu, ingin melukis lagi namun sudah berjanji pada Edwin bila akan berhenti melukis.
Menghela nafas berat, Mona lalu menghampirinya peralatan lukis tersebut.
Mona duduk di hadapan kanvas putih yang berdiri pada penyangganya. Mona mengambil palet, mengisinya dengan beberapa warna cat air, mengambil kuas lalu menggoreskan warna pada kanvas putih itu.
"Maaf, Mas, aku tidak benar-benar berhenti melukis," ucap Mona sembari tangannya terus melukis sesuatu yang indah diatas kanvas tersebut.
Benar seperti yang dia katakan bila karir dan hobi sudah melekat pada dirinya. Mona tidak bisa meninggalkan salah satunya meski dia mencintai Edwin. Mona ingin memiliki Edwin namun dia tak ingin meninggalkan karir dan hobinya. Kalau bisa ketiganya dia miliki kenapa tidak? Itulah yang ada di benak Mona.
Mona terus menggerakkan tangannya, melukis sesuatu yang indah diatas kanvas hingga nampak lah sebuah pemandangan bawah laut yang pernah dia lihat di Maldives saat bulan madu kemarin. Setajam itulah ingatan Mona hingga dia bisa menuangkannya kedalam karya seni lukis yang sangat dia gemari.
Tak lama suara mobil Edwin terdengar di telinga Mona membuatnya seketika menghentikan kegiatannya. Mona bangkit dari duduknya, mencuci tangan ditoilet lalu keluar dari ruang kerjanya. Mona menuju pintu utama untuk menyambut kedatangan Edwin.
Mata Mona mengernyit melihat Edwin pulang dengan bibir tersenyum.
"Kamu kenapa, Mas?"