Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Anetha
Netha, yang sedang mengangkat tasnya dan menutup pintu mobil, menyadari tatapan Sean yang tidak biasa. Ia mengangkat alis, sedikit bingung. “Kenapa dia bengong begitu? Tumben,” pikirnya.
“Sean?” panggil Netha sambil berjalan mendekat.
Sean tersadar dari lamunannya. Ia mengusap tengkuknya, berusaha terlihat tenang, meski sorot matanya tak bisa menyembunyikan keterpesonaannya.
“Ah, iya. Kamu cepat sekali sampai,” katanya, mencoba mengalihkan perhatian dari apa yang barusan ia rasakan.
Netha memiringkan kepalanya, merasa ada yang aneh dengan sikap Sean. “Tentu saja cepat, kamp ini tidak jauh. Tapi kamu kenapa? Kelihatan aneh,” ujarnya sambil menatap Sean dengan curiga.
Sean hanya terkekeh kecil, berusaha mengabaikan pertanyaan itu. “Tidak apa-apa. Ayo masuk, si kembar pasti senang melihat kamu.”
“Mereka sudah bangun?” tanya Netha sambil mengikuti Sean masuk ke rumah.
Sean mengangguk. “Iya, mereka di kamar. Tapi nanti aku yang panggil mereka. Duduk dulu.”
Saat masuk ke ruang tamu, Sean sempat melirik penampilan Netha sekali lagi dari belakang. Gaun yang ia kenakan memberi kesan elegan, tapi tetap santai. Dalam hati, Sean hanya bisa bergumam, “Aku ini sudah jadi suaminya, tapi kenapa tetap merasa seperti orang yang sedang jatuh cinta lagi?”
Sementara itu, Netha duduk di sofa dengan tenang. Ia memperhatikan sekeliling ruangan, mengamati dekorasi sederhana yang mendominasi rumah dinas militer ini.
“Rumahnya lumayan nyaman, ya. Tapi kurang sentuhan feminin,” ujar Netha, mencoba membuka percakapan.
Sean duduk di kursi seberang, menatapnya dengan serius. “Ya, aku jarang ada di rumah, apalagi buat mikirin dekorasi.”
“Jelas sekali,” balas Netha dengan nada bercanda, membuat Sean tersenyum tipis.
Sesaat kemudian, Sean bangkit dan menuju kamar si kembar. Tak lama, terdengar suara gaduh dari dalam kamar, lalu El dan Al muncul dengan wajah penuh semangat.
“Mama!” seru keduanya serempak sambil berlari ke arah Netha.
Netha membuka tangannya, memeluk kedua anak itu erat-erat. Melihat mereka berdua, rasa rindu yang sebelumnya ia tahan tiba-tiba menyeruak.
“Kalian baik-baik saja, kan?” tanyanya sambil menatap luka-luka kecil di wajah mereka dengan khawatir.
El dan Al mengangguk, meskipun tatapan mereka sedikit menghindar, seolah tidak ingin membuat Netha khawatir lebih dari ini.
“Maaf ya, Mama. Kemarin kami nakal,” gumam Al pelan, membuat Netha semakin bingung.
Sean, yang berdiri tidak jauh dari situ, hanya terdiam. Ia tahu ini saat yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Namun, saat melihat Netha memeluk El dan Al dengan begitu lembut, ia merasa ada yang menusuk hatinya.
“Aku tidak ingin mengecewakan dia lagi,” pikir Sean dalam hati.
Sean memalingkan wajahnya sesaat, mengendalikan perasaan yang bergejolak. Ia tahu, meskipun Netha tidak menunjukkan reaksi marah di awal, rasa kecewanya pasti ada.
“Dia wanita yang luar biasa,” gumam Sean dalam hati. “Bagaimana aku bisa mendapatkan seseorang seperti dia dan malah hampir kehilangan segalanya?”
Sean melirik Netha sekali lagi. Dengan kecantikan, kecerdasan, dan perhatian yang ia tunjukkan kepada si kembar, Sean semakin yakin bahwa ia tidak bisa membiarkan hubungan ini berakhir begitu saja.
Namun, ia tahu bahwa untuk kembali merebut hati Netha, ia harus melakukannya dengan perlahan. Netha bukan tipe wanita yang mudah ditaklukkan, terutama setelah semua yang mereka lalui.
“Aku harus berusaha lebih keras, untuk dia dan untuk si kembar,” tekad Sean dalam hati.
Sementara itu, Netha, yang sedang asyik mengobrol dengan El dan Al, sesekali melirik Sean. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari tatapan Sean kali ini, tetapi ia memilih untuk tidak membahasnya, setidaknya untuk sekarang.
Pagi itu suasana di rumah dinas Sean awalnya tenang. Netha masih berbincang santai dengan El dan Al setelah menemani kedua nya sarapan. Namun, tiba-tiba terdengar keributan di luar. Suara teriakan, langkah kaki bergegas, dan beberapa nama disebut-sebut dengan nada tinggi.
"Komandan! Anakmu itu keluarin! Mana El dan Al?!"
Netha, yang sedang membereskan piring, tertegun. Ia melirik Sean, yang langsung memasang ekspresi serius.
"Apa itu?" tanya Netha sambil mendekat ke jendela.
Sean mengangkat tangan, memberi isyarat agar Netha tetap di dalam. "Aku saja yang keluar. Kamu tunggu di sini," ujarnya tegas.
Namun, rasa penasaran Netha tak begitu saja teredam. Ia berjalan pelan ke jendela, mengintip ke arah halaman depan. Di sana, ia melihat sekelompok orang—lima ibu-ibu dengan wajah penuh emosi, ditemani oleh lima suami mereka yang tampak canggung, dan lima anak yang wajahnya terlihat babak belur.
📍Di Halaman Rumah
Sean membuka pintu dan melangkah keluar dengan tenang, meski wajahnya menunjukkan ketegasan yang khas. Para suami langsung menunduk, salah satu dari mereka memberanikan diri berbicara.
"Maaf, Komandan. Kami sebenarnya sudah mencoba melarang istri-istri kami datang ke sini, tapi mereka tetap bersikeras. Kami benar-benar minta maaf atas ini," katanya dengan suara pelan.
Sean mengangguk kecil, tapi tatapannya sudah beralih ke para ibu-ibu yang masih memelototinya.
"Komandan Sean, anak-anakmu itu harus keluar sekarang! Mereka sudah membuat anak-anak kami seperti ini!" teriak salah satu ibu dengan nada tinggi sambil menunjuk-nunjuk ke arah Sean.
Sean tidak segera menjawab. Ia hanya menatap ibu itu dengan dingin, membuat beberapa suami yang ada di sana semakin gugup.
"El! Al! Keluarlah kalian! Jangan sembunyi di belakang papa kalian!" teriak ibu lainnya.
Sean mengepalkan tangan, menahan amarahnya. Namun, sebelum ia sempat melakukan sesuatu, pintu di belakangnya terbuka, dan El serta Al muncul dengan wajah cemas.
"Kami di sini, Tante," kata El dengan suara kecil.
Melihat kedua anak itu keluar, para ibu semakin memanas. Mereka mulai melontarkan berbagai makian, menyalahkan El dan Al atas luka-luka di tubuh anak-anak mereka.
"Anak-anak nakal! Pantas saja kalian begini, pasti kalian itu nggak pernah diajarin sopan santun!"
"Benar! Apalagi kalian nggak punya mama, kan? Jadi siapa yang ngurus kalian? Wajar saja kalian liar!"
Di dalam rumah, Netha yang mendengar ucapan itu langsung merasa dadanya bergemuruh. Ia tidak bisa menerima anak-anaknya dihina seperti itu, apalagi dengan membawa-bawa dirinya.
"Tidak punya Mama? Berani-beraninya mereka bicara seperti itu," gumam Netha, sebelum dengan cepat melangkah keluar.
Sean yang masih berdiri di depan hanya bisa menoleh kaget saat melihat Netha muncul di sampingnya. Para ibu yang sebelumnya marah-marah langsung terdiam sejenak, kaget melihat sosok Netha yang begitu anggun dan berwibawa.
"Siapa dia?" bisik salah satu ibu.
"Tidak tau, tak pernah melihatnya di komplek ini?" gumam ibu lainnya.
Namun, salah satu ibu yang paling lantang segera melangkah maju. "Dan kamu siapa? Jangan ikut campur urusan kami!" serunya sambil menunjuk Netha.
Netha hanya tersenyum tipis, lalu berbicara dengan nada dingin. "Saya? Saya ini mamanya El dan Al. Ada masalah?"
Pernyataan itu membuat semua orang, termasuk Sean, terdiam. Para ibu saling pandang dengan ekspresi tidak percaya, sementara para suami hanya menunduk lebih dalam.
"Hah, jangan bercanda! Kamu ini terlalu muda untuk jadi ibu mereka. Lihat saja penampilanmu, jelas bohong!" sergah salah satu ibu dengan suara tinggi.
Netha melipat tangan di depan dada, menatap ibu itu dengan tenang tapi tajam. "Memang susah ya, menerima kenyataan kalau saya ini mama mereka yang cantik dan berkelas. Tapi biar saya perjelas lagi, ya, saya mama El dan Al. Mau bukti apa lagi? Lihat lah wajahnya anakku yang tampan ini mirip denganku, ini adalah perbuatan papa nya yang tampan dan mamanya yang cantik rupawan, sehingga menghasilkan anak yang tampan" ucap Netha dengan sombong dan konyol.
Sean tertegun dengan ucapan Netha, tak ayal ia juga tersenyum dengan tingkah konyol Netha. Sedangkan ibu-ibu itu dongkol dan mendengus.
Setelah beberapa saat saling pandang dengan penuh ketegangan, salah satu ibu akhirnya memulai lagi. "Anak-anakmu ini, Bu, mereka sudah membuat anak kami babak belur. Lihat ini!" katanya sambil menunjuk luka-luka di wajah anaknya.
"Apa mereka tidak diajari sopan santun? Anak-anak kami ini kan lebih tua darinya. Harusnya mereka itu menghormati yang lebih tua!"
Netha mengangkat alis, lalu menoleh ke El dan Al. "Apa benar seperti itu?" tanyanya dengan suara lembut.
El menggeleng cepat. "Tidak, Ma. Mereka yang mulai duluan. Mereka mengejek kami, bilang kami nggak punya mama. Mereka juga duluan yang mukul!"
Al mengangguk mendukung. "Benar, Ma. Mereka sering ganggu kami setiap kali kami ke kamp ini. Tapi kali ini kami nggak bisa diam lagi."
Mendengar penjelasan itu, Netha memandang ke arah para ibu-ibu dengan tatapan tajam. "Jadi, anak-anak saya yang salah? Kalau memang mereka mulai duluan, kenapa anak-anak Anda yang memancing keributan? Dan lebih penting lagi, bagaimana Anda bisa membiarkan anak-anak Anda menghina keluarga orang lain?"
"Tapi—" salah satu ibu mencoba membela diri, tapi Netha tidak memberinya kesempatan.
"Dan Anda bilang anak saya tidak punya mama?" suara Netha mulai meninggi, nadanya penuh amarah. "Sekarang dengarkan baik-baik. Saya ini mama mereka, dan saya tidak akan diam kalau anak saya dihina seperti itu. Anda harus tahu, anak-anak belajar dari orang tuanya. Kalau Anda ingin anak-anak Anda sopan, belajarlah memberikan contoh yang baik."
Para ibu terdiam, sebagian mulai menunduk malu. Namun, salah satu dari mereka yang masih belum terima mencoba membalas.
"Kamu ini cuma berlagak saja! Anak-anakmu tetap salah karena mereka memukul!"
Netha mendekat ke arah ibu itu, berdiri hanya beberapa langkah darinya. Wajahnya tetap tenang, tapi tatapannya begitu menusuk.
"Saya tidak mendidik anak-anak saya untuk memulai pertengkaran. Tapi saya juga tidak mendidik mereka untuk diam ketika dihina. Jadi kalau anak-anak Anda tidak ingin dipukul, ajarkan mereka untuk tidak bicara sembarangan," katanya dengan nada tajam.
Ibu itu akhirnya terdiam, sementara para suami mulai mencoba menenangkan situasi.
"Sudah, Bu. Kita pulang saja," bisik salah satu suami sambil menarik tangan istrinya.
Namun, ibu-ibu itu tetap tidak bergeming hingga Sean akhirnya angkat bicara.
"Cukup," katanya dengan suara rendah tapi penuh wibawa. "Saya kira masalah ini sudah selesai. Anak-anak Anda dan anak-anak saya sama-sama salah. Tapi kalau Anda masih ingin membuat keributan, saya tidak akan segan melaporkannya kepada komandan yang lebih tinggi."
Ancaman itu cukup untuk membuat para ibu langsung bungkam. Mereka saling pandang, lalu perlahan mundur sambil menarik anak-anak mereka.
Setelah semua orang pergi, El dan Al langsung mendekati Netha dengan wajah penuh haru.
"Mama, terima kasih sudah membela kami," kata Al sambil memeluk Netha erat-erat.
El mengangguk sambil berkata dengan suara serak, "Kami tidak pernah dibela seperti ini sebelumnya. Terima kasih, Ma."
Netha tersenyum lembut, mengusap kepala kedua anaknya. "Kalian tidak perlu khawatir. Mama akan selalu ada untuk kalian."
Sean, yang berdiri tidak jauh dari mereka, hanya bisa memperhatikan momen itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersyukur sekaligus kagum pada Netha. Dalam hati, ia bertekad untuk tidak pernah lagi mengecewakan wanita luar biasa itu.