Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Mansion Jaycolin terlihat megah dengan arsitektur klasik yang elegan. Di ruang tamu yang luas dengan perabotan mewah berwarna krem dan emas, seorang wanita berpenampilan anggun duduk di dekat meja kecil, menyeduh teh dengan cangkir porselen halus. Tangannya yang terlatih menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli dan pecinta teh sejati, terutama teh daun.
Wanita itu adalah Angelina, nyonya besar keluarga Jaycolin, yang kini terlihat tenang tetapi dipenuhi pikiran mendalam. Aroma teh yang harum mengisi ruangan, namun tak mampu mengusir kekhawatiran di hatinya.
Seorang pria paruh baya dengan postur tegap memasuki ruangan. Dia adalah Calvin, kepala pelayan yang setia kepada keluarga Jaycolin. Dengan sopan, dia memberi salam.
“Nyonya besar,” sapa Calvin dengan suara lembut.
Angelina meletakkan cangkirnya dengan gerakan anggun, kemudian menoleh. “Di mana Dev?” tanyanya, merujuk pada putranya satu-satunya.
“Lapor, Nyonya. Tuan muda masih sibuk di perusahaan,” jawab Calvin dengan nada hormat.
Angelina menghela napas panjang, matanya menerawang. “Calvin, di usiaku yang sudah tua, aku masih saja mencemaskan kehidupan pribadi putraku. Dev selalu fokus pada bisnisnya, sehingga tidak pernah peduli dengan kebahagiaan sendiri. Sudah berapa gadis yang kita jodohkan dengannya, tetap saja semuanya ditolak,” keluhnya dengan nada prihatin.
Calvin sedikit tersenyum, mencoba menenangkan nyonya besarnya. “Nyonya besar, jangan mencemaskan Tuan muda. Bila jodohnya tiba, dia pasti akan jatuh cinta. Mungkin saja, sampai saat ini belum ada gadis yang benar-benar bisa menarik perhatian Tuan muda.”
Angelina memandang Calvin sejenak sebelum kembali menghela napas. “Aku tidak tahu tipe gadis seperti apa yang bisa menarik perhatiannya,” katanya lirih, seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Calvin melirik jam di tangannya sebelum menatap lembut ke arah Angelina. “Nyonya besar, sudah waktunya makan. Makanan akan segera dihidangkan,” ujarnya sopan.
Namun, Angelina tampak tak bergeming. Pandangannya kini tertuju ke arah jendela besar di sudut ruangan. Angin musim gugur berhembus, membawa dedaunan yang berterbangan. Suasana di luar tampak tenang, namun di dalam hati Angelina, badai kecil bergejolak. Kesedihan tampak jelas di wajahnya.
“Apakah Nyonya besar sedang merindukan dia lagi?” tanya Calvin hati-hati, memahami betul isi hati wanita itu.
Angelina memejamkan mata sejenak, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Setiap ganti musim, aku akan memikirkannya. Di mana dia sekarang? Apakah dia hidup dengan baik? Apakah dia makan kenyang? Apakah dia kedinginan? Atau...” Angelina menghentikan ucapannya, suaranya bergetar. “Apakah dia masih hidup?” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Calvin terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara penuh keyakinan. “Dengan kasih sayang seorang ibu seperti Nyonya, saya yakin Tuhan akan melindunginya dan suatu hari nanti, mengirimnya kembali ke sisi Anda.”
Suara langkah kaki mendekat, disertai dengan kehadiran yang hangat. Dev, putra tunggal Angelina. dengan wajah tegas dan elegan, muncul dari pintu. Jas hitamnya rapi, mencerminkan kesuksesannya sebagai pewaris perusahaan besar.
“Tuhan tidak akan mengecewakan seorang ibu,” ujar Dev, suaranya dalam dan menenangkan. Dia menghampiri ibunya, menyentuh bahunya dengan lembut. “Ma, aku yakin dia ada di luar sana, hidup dengan baik. Jangan terlalu khawatir.”
Angelina menoleh, matanya penuh kasih sayang. Kehadiran putranya seolah menjadi penghiburan di tengah hatinya yang gelisah. “Dev...” bisiknya pelan, sementara Calvin mundur dengan hormat, memberi mereka ruang untuk berbicara.
“Mama tidak tahu apakah adikmu masih hidup atau tidak,” katanya lirih, suaranya penuh kerinduan. “Sebelum Mama meninggal, keinginan Mama hanya satu berjumpa dengannya.”
“Ma, aku sudah mengutus beberapa orang untuk mencarinya sesuai data yang Mama berikan,” ujar Dev dengan suara tegas. “Jadi kita tunggu saja. Aku yakin kita akan menemukan dia.”
Angelina mengangguk kecil, meski kesedihan tetap membayangi wajahnya. Dia menghela napas lagi sebelum berbicara, kali ini dengan nada lebih serius.
“Dev, Mama ada satu permintaan,” ucapnya, menatap putranya dengan penuh harap.
Dev mengerutkan kening, lalu tersenyum lembut. “Jangan hanya satu permintaan, Ma. Apa pun yang Mama inginkan, akan aku kabulkan,” jawabnya dengan penuh keyakinan.
Angelina mengeluarkan senyum tipis, meski matanya masih memancarkan kesedihan. Dia menggenggam tangan Dev erat-erat. “Cari calon menantu untuk Mama. Hanya ini yang Mama inginkan darimu.”
Dev terkejut mendengar permintaan ibunya. Dia menatap Angelina sejenak, mencari keseriusan di matanya. “Apakah ini akan membuat Mama bahagia?” tanyanya, ingin memastikan.
Angelina mengangguk dengan mantap, senyumnya kini terlihat lebih hangat. “Iya. Demi Mama, temui gadis yang akan Mama jodohkan untukmu. Kalian berkencan dulu. Kalau cocok, baru menikah,” ujarnya, nada suaranya penuh harapan.
Dev termenung sejenak, lalu menghela napas ringan. Dia tahu betapa pentingnya kebahagiaan ibunya. Meski ragu, dia akhirnya mengangguk. “Baiklah, Ma. Demi Mama, aku akan melakukannya,” jawabnya, suaranya penuh ketulusan.
***
Restoran mewah
Pinky sibuk mengatur piring di atas meja, berusaha keras untuk menjaga senyumnya di tengah keramaian restoran mewah itu. Meski tubuhnya terasa lelah, dia tetap bekerja dengan sepenuh hati.
Di sudut ruangan, di meja itu, Jenny, gadis muda dengan wajah penuh keangkuhan, berbicara kepada ibunya dengan nada menghina.
"Ma, dia hanya seorang pelayan rendahan. Kenapa Papa memiliki seorang anak yang tidak memiliki kemampuan sama sekali?" kata Jenny sambil melipat tangannya di dada, bibirnya melengkung sinis.
Sang ibu, wanita dengan dandanan rapi dan aura penuh percaya diri, mendengus pelan sambil menyeruput tehnya. "Dia sudah lama tidak sekolah dan bekerja. Di saat Papamu datang nanti, jangan salah bicara... apa kamu dengar?" jawabnya dengan tegas, matanya melirik tajam ke arah Jenny untuk memastikan putrinya mendengar perintah itu.
Jenny mengerucutkan bibirnya, tampak tidak puas dengan jawaban ibunya. "Ma, apakah Mama sengaja bertemu Papa di sini karena gadis bodoh itu bekerja di sini?" tanyanya dengan nada sedikit lebih pelan.
Wanita itu tersenyum tipis, senyumnya dipenuhi dengan maksud tersembunyi. "Jenny, Mama ingin gadis bodoh itu iri dan marah di saat kita berkumpul dengan Papamu," ujarnya, tatapannya penuh rencana.
Jenny tertawa kecil, sebuah tawa yang lebih menyerupai ejekan. "Ma, kita telah menenangkan hati Papa. Papa juga membiayaiku sehingga aku berhasil masuk universitas tinggi. Sedangkan dia hanya pekerja kecil," ujarnya dengan nada meremehkan sambil mengibaskan rambutnya dengan angkuh.
Wanita itu menghela napas pendek, matanya mengawasi Pinky yang masih sibuk bekerja. "Sudahlah! Nanti kita cukup akting dan membuat gadis itu cemburu. Papamu tidak pernah berkumpul dengan istri dan anaknya. Kali ini kita bisa membuatnya semakin kesal," ujarnya, suaranya dingin namun penuh perhitungan.
Jenny tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Mama masih cantik dan muda. Siapa istri Papa? Mana mungkin bisa mengalahkan Mama," katanya dengan bangga, wajahnya berseri-seri seolah dirinya adalah pusat dunia.
Sementara itu, Pinky yang tidak jauh dari meja tersebut tanpa sengaja mendengar percakapan mereka. Tangannya yang memegang nampan tiba-tiba gemetar. Matanya melirik ke arah pintu restoran, dan hatinya mencelos ketika melihat seorang pria paruh baya melangkah masuk. Itu adalah ayahnya—pria yang seharusnya menjadi pelindungnya, namun justru memilih keluarga lain.
"Dia juga muncul di sini?" gumam Pinky pelan, suaranya bergetar. Matanya mengikuti gerak ayahnya yang dengan santai berjalan menuju meja wanita itu. Senyuman hangat menyambutnya, seolah mereka adalah keluarga bahagia.
Pinky menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang mendidih di dadanya. "Ternyata selingkuhan dan anak murahan," pikirnya dengan getir, kepedihan yang telah lama dia pendam kini kembali menyeruak.