Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Realistis
Aliando memakan papeda itu dengan lahap. Rasanya sangat enak, dia pikir Kapolda itu cuma lebay saja.
“Beli di mana, Mas?” Istri kecilnya Ali menyendokkan sagu nikmat itu ke dalam mangkuknya. Meski sudah dingin karena cuaca, Laras tetap membuka mulutnya lebar.
“Di dekat rumah bosku.”
“Oh.”
Polisi Intel tersebut berpikir dua kali lebih cepat, lebih nakal, dan lebih sinting. Aliando melihat makanan Laras sebentar lagi akan ludes. Ia segera berdiri. “Nanti aku yang cuci piring. Bawa aja ke belakang, Mas tunggu.”
Laras mengangguk, di dagunya menetes kuah kental dari papeda lezat. Aliando menelan ludahnya, hatinya terasa cekat-cekit.
“Aku sudah benar-benar gila,” gumamnya.
Di belakang rumah, tempat cuci piring dengan tema alam terbuka. Aliando mengusap lengannya, tubuhnya meringkuk sesekali memeluk diri. Udara malam ini sangat dingin.
Istrinya datang membawa mangkuk dan gelas kotornya. “Nih.” Sodor Laras kemudian melangkahkan kakinya ingin kembali ke dalam rumah.
“Loh, jadi, Mas ditinggal, nih?”
“Lah, katanya mau cuci piring. Laras capek, mau bobo.” Matanya melihat ke atas, awan sudah sangat gelap. “Dingin tahu, bentar lagi mau hujan.”
Tanpa perduli dengan Ali, Laras segera berlari kecil kembali masuk ke dalam. Menarik selimut dan menghangatkan tubuh mungilnya.
“Ck, tidak sayang suami.” Ali memutar kran air, karena sebelumnya tidak pernah mencuci piring dan sok-sokan mau mengesankan istrinya, ia malah menumpahkan semua sabun ke dalam wadah cucian.
“Uwaduh!”
Guntur mulai terdengar, rintik gerimis turun tanpa perduli dengan pria dewasa yang baru saja terserang ‘puber’ itu.
Cepat-cepat si Intel membereskan semua kekacauan yang ia buat dan pada akhirnya cucian piring itu beres.
Tepat ketika ia masuk ke dalam rumah, seketika senyum nakalnya menghilang. Laras malah membuat satu ranjang di bawah.
“Loh, Ras …, ‘kok kasurnya ada di sini?”
Tubuh mungil itu berbalik mager. “Jaga-jaga aja, yaaa. Jangan sampai tengah malam aku digerayangi sama Mas Al. Lagian, ini ranjang baru loh, tadi Om TNI udah bantu ganti, soalnya yang kemarin kakinya hampir patah karena ulah Mas Al.” Laras membuang bantal kepala ke atas kasurnya Ali. Ia kembali membungkus badannya dengan selimut tebal.
Katanya habis makan papeda bakalan di service melebihi LC. Ini malah disuruh tidur di bawah. Mana abis dikatain gitu, kaki ranjang patah karena aku? Padahal emang kayunya aja yang udah reot. Mana cuaca dingin banget lagi!
Muka Intel itu nampak kusut. Tubuhnya di hempaskan ke atas kasur tipis, dia lalu mengeluh merasakan sakit pada punggungnya. “Ugh, Ras …, ini sama sekali bukan kasur.”
“Kasur ‘kok itu, cuma kapuknya mati aja.”
Mulut Ali melebar, hendak protes tapi itu hanya akan menjadi hal yang sia-sia saja. Sepertinya tidak akan ada percobaan yang perlu ia lakukan lagi. Syukur karena Laras mau berbaikan dengannya. Jika tidak, wanita itu bisa minta pulang paksa.
“Laras …,” ujar polisi intel itu memanggil dengan pasrah.
“Hm?”
“Kamu pernah bilang kalau kamu percaya sama aku. Lantas, kenapa saat ini kamu mau pisah ranjang dariku?”
“Hiii, lebay deh. Pisah ranjang? Ini mah cuma pisah kasur aja.”
“Yaiyaaa, pokoknya pisah …, kenapa?”
“Karena Mas Al cuma nafsu doang. Mas gak jatuh cinta sama Laras. Asal Mas tahu aja, saat ini Laras merasa malu sekaligus sedih. Aku memang istrinya Mas Al secara sah, tapi …, tetap saja Mas Al gak bisa menyentuh tubuhku secara paksa.”
Aliando terperanjat dengan kalimat istrinya. Ia bangun duduk bersila. “Paksa? Mas Al tidak bermaksud memaksa kamu!”
“Laras ‘kan sudah nyuruh Mas buat hentikan malam itu. Tapi, tetap dilanjutkan.” Masih tanpa berbalik. Laras terus menyembunyikan wajahnya di dalam sana. Namun, napasnya menjadi sesak.
“Tapi kamu juga suka dengan percintaan kita di malam itu ….”
Laras mengigit bibirnya. Tidak dapat ia pungkiri, setelah suaminya melakukan hal itu padanya, tubuhnya seolah merespon setiap sentuhan dan gerakan dari pria tampan tersebut. Namun, tetap saja, itu bukanlah suatu hal yang bisa dijadikan alasan, bukan?
“Sebelumnya, Laras mau minta maaf sama Mas Ali. Sebenarnya, Laras juga ngerasa kalau kita itu tidak cocok. Laras membutuhkan pria yang bisa mendukung cita-cita Laras. Dimana-mana suami akan merasa rendah diri jika istrinya lebih di atas. Baik dari segi pendidikan mau pun pekerjaan.
Laras mengambil napas, ia harus mengatakan hal itu. Perlahan selimut itu diturunkan. Laras duduk melipat kedua lututnya. “Sepulang dari Papua, kita cerai aja, Mas. Maaf.” Laras menunduk, meski ada rasa bersalah, dia tidak boleh merelakan masa depannya begitu saja.
Wajah tampan tidak berarti sama sekali. Memiliki tubuh ideal pun tidak menjadi jaminan. Sebagai wanita yang masih muda, dia harus realistis.
Aliando juga tidak menyalahkan jika istri mungilnya itu mengatakan pendapat dan perasaannya dengan selugas itu. Laras adalah sarjana muda, baru ingin membangun karir. Sementara dirinya hanya berstatus sebagai ojol. Bagaimana bisa ia bersanding dengannya?
“Laras …, Mas Al mau jujur.”
Hening …, nyamuk pun tidak berani mengeluarkan suara.
“Sebenarnya, Mas ….”