Follow ig 👉 @sifa.syafii
Fb 👉 Sifa Syafii
Seorang gadis berusia 18 tahun bernama Intan, dipaksa Bapaknya menikah dengan Ricko, laki-laki berusia 28 tahun, anak sahabatnya.
Awalnya Intan menolak karena ia masih sekolah dan belum tahu siapa calon suaminya, tapi ia tidak bisa menolak keinginan Bapaknya yang tidak bisa dibantah.
Begitu juga dengan Ricko. Awalnya ia menolak pernikahan itu karena ia sudah memiliki kekasih, dan ia juga tidak tahu siapa calon istrinya. Namun, ia tidak bisa menolak permintaan Papanya yang sudah sakit sangat parah.
Hinggga akhirnya Ricko dan Intan pun menikah. Penasaran dengan kisah mereka? Yuk langsung simak ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Sebelum membaca cerita ini, sangat disarankan untuk membaca novel yang berjudul "Suamiku, Kamu Satu Selamanya" terlebih dahulu supaya tidak bingung di tengah jalan. 😁🤭
Di sebuah ruang kamar VIP Rumah Sakit Husada, berbaring seorang laki-laki berusia 56 tahun bernama Pak Bambang. Ia mulai sakit beberapa hari yang lalu. Entah apa penyebabnya. Karena selama ini ia baik-baik saja. Semakin hari sakitnya semakin parah dan tubuhnya melemah. Dokter pun sudah angkat tangan. Istrinya setiap hari menangis di sampingnya.
Pak Bambang memiliki dua orang anak. Satu orang laki-laki berusia 28 tahun bernama Ricko Argadinata, dan satu orang perempuan berusia 20 tahun bernama Sita Argadinata.
Pak Bambang juga memiliki sahabat dekat bernama Pak Ramli. Kedekatan mereka melebihi keluarga. Setiap ada masalah, mereka selalu saling membantu. Bahkan, jika Pak Bambang dinas di luar daerah yang jauh dari rumahnya, ia selalu menginap di rumah sahabatnya tersebut.
Pak Bambang adalah seorang polisi, sedangkan Pak Ramli adalah seorang pengusaha kecil. Mereka tidak sengaja bertemu di jalan dan akhirnya hubungan mereka semakin dekat.
Karena beberapa hari yang lalu sibuk dengan pekerjaannya, hari ini Pak Ramli baru bisa menjenguk Pak Bambang di rumah sakit. Perjalanan dari rumah Pak Ramli ke rumah sakit menempuh waktu tiga jam.
Saat Pak Ramli dan Pak Bambang berbincang-bincang di dalam kamar, istri Pak Ramli dan istri Pak Bambang berbincang-bincang di luar kamar.
"Maaf, Pak, saya baru bisa menjenguk hari ini," ucap Pak Ramli pada Pak Bambang dengan sangat menyesal.
"Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah datang menjenguk saya," balas Pak Bambang dengan tersenyum lemah.
"Bagaimana keadaan Pak Bambang?" tanya Pak Ramli dengan prihatin.
"Rasanya, umur saya sudah tidak lama lagi, Pak," jawab Pak Bambang dengan pesimis.
"Jangan bicara seperti itu, Pak. Pak Bambang harus kuat," kata Pak Ramli memberi semangat.
"Pak Ramli, hubungan kita sudah sangat dekat seperti saudara. Saya tidak pernah bertemu dengan orang, teman, ataupun sahabat sebaik Pak Ramli. Kalau saya pergi nanti, hubungan kita hanya akan tinggal kenangan, Pak," ujar Pak Bambang panjang lebar dengan lemah.
"Pak Bambang pasti sembuh. Jangan bicara yang tidak-tidak, Pak," kata Pak Ramli tidak mau mendengar sahabatnya itu berkata seperti itu.
"Saya berharap, kita bisa menjadi keluarga yang sesungguhnya. Sebelum saya pergi, saya ingin menikahkan anak laki-laki saya dengan putri Pak Ramli," kata Pak Bambang seraya menatap mata Pak Ramli.
"Tapi …, putri saya masih sekolah, Pak. Dia masih SMA dan tidak akan mau menikah di usia mudah," balas Pak Ramli.
"Saya mohon, Pak. Saya ingin menjalin hubungan keluarga dengan Pak Ramli sebelum saya meninggal. Saya sudah tidak kuat lagi. Saya mohon pernikahannya dilaksanakan di kamar ini. Di depan saya tiga hari lagi," ujar Pak Bambang memohon seraya memegang tangan Pak Ramli.
"Iya, Pak. Nanti akan saya bicarakan dengan istri dan anak saya dulu. Semoga mereka mau menyetujuinya," balas Pak Ramli mengiyakan permintaan Pak Bambang.
“Terima kasih, Pak. Semoga mereka semua setuju,” ucap Pak Bambang merasa sedikit lega karena Pak Ramli mau menjadi besan-nya.
Setelah itu Pak Ramli dan istrinya pamit untuk pulang.
***
Sesampainya Pak Ramli di rumah, hari sudah malam. Ia mendiskusikan perbincangannya dengan Pak Bambang pada istrinya. Tentu saja istrinya menolak. Anak gadisnya masih sekolah, masa depannya masih panjang. Tidak mungkin ia membiarkan anaknya menikah muda.
"Bu, Pak Bambang sudah banyak membantu kita. Ayolah kita penuhi permintaan terakhirnya," bujuk Pak Ramli pada istrinya.
"Tapi, Pak, Intan masih muda. Apa Bapak tega merenggut masa depan anak kita?" balas Bu Romlah, istri Pak Ramli.
"Pokoknya, tiga hari lagi Intan harus menikah dengan anak Pak Bambang. Titik!" seru Pak Ramli lalu berdiri meninggalkan istrinya di ruang tengah sendirian.
Setelah itu Bu Romlah menghampiri kamar Intan. Ia membuka pintu kamar itu dan melihat anak gadisnya yang tertidur lelap. Ia menitikkan air mata karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk anaknya. Ia sangat paham dengan sifat suaminya yang keras kepala dan tidak bisa dibantah.