Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Masih Waspada
Airin menggigit bibir bawahnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Itu... ini waktunya meneteskan obat matamu," ujarnya pelan, mencoba terdengar biasa saja.
Kaivan tersenyum tipis, hampir tak kentara. "Baik. Aku serahkan padamu," katanya, suaranya tetap tenang namun terasa lebih hangat dari biasanya.
Airin tertegun sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dalam nada suara Kaivan yang membuat perasaannya jadi tak menentu.
"Maaf, sebaiknya kamu tengadahkan wajahmu, agar aku bisa lebih mudah meneteskan obatnya," ujar Airin lembut, suaranya sedikit bergetar namun penuh perhatian.
Kaivan hanya mengangguk kecil dan menurut. Ia mendongakkan kepala perlahan, membiarkan Airin mengambil posisi lebih dekat. Dalam jarak sedekat ini, Kaivan bisa mendengar napas Airin yang sedikit tersengal, mungkin karena gugup.
Dengan hati-hati, Airin menyibak poni Kaivan yang menutupi sebagian matanya. Jari-jarinya menyentuh dahi pria itu dengan sentuhan yang ringan, hampir seperti bisikan. Airin menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Ia belum pernah melakukan sesuatu yang terasa seintim ini dengan seorang pria sebelumnya.
Dari gerakan tangan Airin yang gemetar halus, Kaivan bisa merasakan kegugupan itu. "Kau gugup?" tanyanya tiba-tiba, suaranya rendah namun tajam, seperti mencoba membaca isi hati Airin.
Airin terdiam sesaat, merasa pipinya memanas. "Ah, tidak. Aku hanya... takut salah," jawabnya cepat, mencoba terdengar santai meski suaranya tetap bergetar.
Kaivan tersenyum tipis, meski matanya tak bisa menatap Airin. "Tenang saja. Aku percaya kamu tidak akan menyakitiku," ujarnya singkat, dengan nada yang entah kenapa terdengar menenangkan bagi Airin.
Kata-kata itu membuat Airin lebih tenang, meski jantungnya tetap berdegup cepat. Ia pun dengan perlahan meneteskan obat ke mata Kaivan, berusaha sebaik mungkin agar tidak membuat pria itu merasa tidak nyaman.
Tak lama kemudian, Airin sudah selesai memberikan obat tetes mata pada Kaivan. "Emm.. Kak Ivan," Airin kembali memanggilnya dengan nada lembut. "Jangan terlalu khawatir dulu, ya. Aku akan membantumu pergi ke dokter mata. Siapa tahu ini cuma sementara, seperti yang Bu Warti bilang."
Kaivan menoleh ke arah suara Airin, meski pandangannya tetap kosong. "Dokter mata, ya?" gumamnya, nada suaranya rendah tapi masih tenang. "Biayanya pasti mahal. Aku tidak punya uang untuk biaya pengobatan. Dompetku hilang saat terhanyut di sungai."
Airin tertegun, tidak menyangka Kaivan langsung memikirkan hal itu. Ia segera menjawab, "Kamu jangan pikirkan soal itu dulu. Yang penting sekarang, aku akan bantu semampuku. Di kota ada rumah sakit besar, mereka pasti bisa memeriksa kondisimu."
Kaivan menghela napas panjang. "Airin, aku berterima kasih kau sudah mau menolong. Tapi aku juga harus realistis. Aku... aku buta. Aku tidak ingin jadi beban untukmu atau keluargamu."
Airin tersenyum kecil, meski hatinya ikut berat mendengar keraguan pria itu. "Aku tidak menganggapmu beban. Kalau aku ada di posisi kamu, aku yakin kamu pasti akan melakukan hal yang sama untukku."
Kaivan terdiam, kedua tangannya mengepal di atas pahanya. "Aku tidak tahu, Airin. Jika aku berada di posisimu, belum tentu aku bisa melakukan apa yang kamu lakukan padaku. Aku tidak tahu apa aku pantas menerima semua bantuan ini."
Airin menunduk, lalu mendekati Kaivan, meletakkan tangannya di lengan pria itu dengan hati-hati. "Aku tidak tahu bagaimana orang lain akan memperlakukan aku. Tapi, selama aku ada di sini, aku akan bantu semampuku. Jadi, jangan pikirkan hal-hal yang sulit dulu. Yang penting sekarang, kita fokus agar kamu cepat sembuh."
Kaivan merasakan sentuhan lembut di lengannya saat Airin meletakkan tangannya di lengannya. Sentuhan itu hati-hati, seolah Airin khawatir akan membuatnya merasa tidak nyaman.
Biasanya, sentuhan seperti ini membuat Kaivan langsung bereaksi, entah dengan menepisnya atau menjauh. Ia paling tak suka disentuh oleh wanita yang bukan keluarganya, apalagi dalam situasi seperti ini. Tapi entah kenapa, kali ini ia tak bereaksi seperti biasanya.
Ada sesuatu dalam sentuhan itu yang berbeda. Bukan sekadar lembut, tapi tulus. Kaivan bahkan bisa merasakan ketegangan di tangan Airin, seolah gadis itu juga berusaha menjaga jarak emosional di tengah kedekatan fisik ini.
“Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman,” ucap Airin pelan, mungkin menyadari kebiasaan pria itu yang cenderung dingin.
Kaivan menggelengkan kepala perlahan. "Tidak apa-apa," balasnya singkat, suaranya rendah namun terdengar jujur.
Hatinya berbisik pelan, mempertanyakan mengapa ia merasa tenang kali ini. Mungkinkah karena Airin? Ia tak tahu, tapi untuk pertama kalinya, Kaivan membiarkan dirinya menerima kehangatan itu tanpa perlawanan.
Kaivan menarik napas panjang, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah, Airin. Tapi janjikan satu hal padaku."
"Apa itu?" tanya Airin, nada suaranya penuh perhatian.
"Jika aku... jika ternyata aku tidak bisa melihat lagi selamanya, tolong jangan biarkan aku tinggal di sini terlalu lama. Aku tidak ingin menyusahkan hidupmu," katanya pelan, namun penuh keyakinan.
Airin menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang tiba-tiba menggelegak di dadanya. "Kamu, jangan bicara seperti itu. Kamu pasti sembuh. Aku yakin, kita akan temukan cara untuk membuat kamu bisa melihat lagi."
Kaivan mengangguk kecil, meski raut wajahnya tetap dingin. "Kalau begitu, aku serahkan semuanya padamu, Airin. Maaf jika aku terlihat dingin... mungkin ini caraku menjaga diri dari ketidakpastian."
Airin tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu minta maaf. Aku akan ada di sini sampai semuanya membaik."
Kaivan menoleh ke arah suara Airin, meski pandangannya tetap gelap. Ada sesuatu dalam nada suara gadis itu yang entah mengapa membuatnya merasa... aman.
"Aku akan lihat nenek sudah selesai membuat bubur atau belum. Kamu harus makan dan minum obat agar cepat pulih.
Setelah Airin keluar dari kamar, Kaivan duduk diam di dipan sederhana itu. Ia bisa mendengar suara gemericik air sungai dari kejauhan dan desahan angin yang menggerakkan dedaunan. Tangannya meraba perlahan, menyentuh kain sederhana yang menutupi tubuhnya, bukan pakaian mewah yang biasa ia kenakan. Di balik matanya yang kini hanya memandang kegelapan, pikirannya berputar tanpa henti.
"Aku tidak boleh gegabah. Orang-orang seperti mereka... mungkin tulus, tapi aku tak bisa terlalu percaya. Kalau mereka tahu siapa aku, apa yang akan terjadi? Akankah mereka tetap menolong atau malah mengincar hartaku? Tidak, aku harus diam dulu. Ini bukan saatnya mempercayai siapa pun,"gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Kaivan mengepalkan tangan, menahan frustrasi. Sebagai seorang pewaris keluarga konglomerat, ia terbiasa dengan kehidupan yang penuh kepalsuan. Kekayaan sering kali menarik kepura-puraan, bahkan dalam momen-momen terburuk.
"Tapi mereka berbeda... atau setidaknya terlihat berbeda. Gadis itu, Airin, dia begitu peduli meski aku tak bisa memberikan apa-apa. Dan neneknya... suara lembut itu tak terdengar palsu. Tapi tetap saja, aku harus yakin mereka membantu karena kemanusiaan, bukan karena siapa aku. Jika aku membuka segalanya sekarang, aku takkan pernah tahu apakah ketulusan mereka benar adanya."
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terusik.
"Untuk saat ini, aku adalah Ivan. Pria biasa tanpa nama besar, tanpa kekayaan, tanpa apapun. Jika mereka tulus, aku akan tahu. Jika tidak... setidaknya aku masih punya kendali."
Kaivan berdiam diri lagi, mendengarkan langkah ringan Airin yang mendekat. Ia menghela napas, mempersiapkan diri untuk menjawab setiap pertanyaan dengan hati-hati, tetap menjaga rahasianya.
***
Bidan Warti baru saja melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumahnya ketika seorang pria kurus muncul entah dari mana dan berdiri di hadapannya. Napasnya sedikit tersengal, seperti habis berlari.
"Bu Warti," ucap pria itu dengan nada mendesak, "katakan pada saya, siapa pria di rumah Airin itu?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso