Ares dan Rara bersahabat baik dari kecil. Tidak mau kehilangan Ares membuat Rara mempertahankan hubungan mereka hanya sebatas sahabat dan memilih Arno menjadi pacarnya. Masalah muncul saat Papa Rara yang diktator menjodohkan Ares dan Rara jatuh sakit. Sikap buruk Arno muncul membuat Rara tidak mempertimbangkan dua kali untuk memutus hubungan seumur jagung mereka. Ares pun hampir menerima perempuan lain karena tidak tahan dengan sikap menyebalkan Rara. Namun demi melindungi Rara ,memenuhi keinginan papa dan membalas Arno. Akhirnya Rara dan Ares menikah. Hari - hari pernikahan mereka dimulai dan Rara menyadari kalau menjadi istri Ares tidak akan membuatnya kehilangan lelaki itu. Lantas bagaimana kelanjutan hubungan mereka yang sebelumnya sahabat menjadi suami istri serta bagaimana jika yang sakit hati menuntut balas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Calistatj, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 3
Aku terduduk di sebuah kafe favortitku dimana para karyawannya sudah mengenalku dengan sangat baik.
“Sore, Mbak Rara. Ini ya coklat panasnya” Kata salah seorang barista yang aku kenal sembari meletakan secangkir minuman coklat dengan uap yang masih mengepul.
“Makasih, Mas” Kataku sejenak mengangkat wajah dari hadapan laptop yang layarnya dipenuhi aplikasi pengolah data.
“Silakan dinikmati”
Aku melanjutkan menelaah data yang aku terima dan berusaha mengolahnya sambil menunggu kedatangan pacarku yang suka terlambat dari waktu janjian. Tak lama pacarku itu muncul di depanku dan menarik bangku kosong persis di sebelahku.
“Sudah nunggu lama, Ra?”
“Lumayan, No”
“Maaf ya aku telat. Waktu rapat sama klien agak molor”
“Nggak apa - apa. Kapan si aku nggak ngerti kamu?” candaku sambil tersenyum.
Arno balas tersenyum dan mengacak rambut panjangku yang dicepol asal. Ah menurutku kekasih kesayanganku ini sangat tampan. Arno memiliki kulit kecoklatan, hidung mancung, bibir tebal, dan rambut rapih. Sungguh bertolak belakang dengan Ares yang urakan.
“Aku pesan dulu” Arno beranjak dari kursi dan berjalan menuju kasir. Disini kita harus membayar terlebih dahulu sebelum mereka mengantarkan pesanan untuk dinikmati.
Aku menyesap coklat panasku sambil memandangi punggung Arno dari belakang. Dari dulu Arno memang terlalu menarik. Dia adalah murid terpintar di sekolahku dulu yang menerima beasiswa dan sekarang bekerja sebagai marketing produk investasi dengan banyak klien. Arno itu menjanjikan makanya banyak orang percaya terhadapnya termasuk aku. Memandangi punggung Arno dari belakang lumayan mengobati perasaan kesepian yang aku rasakan, tapi entah mengapa aku masih merasakan kekosongan yang tidak aku mengerti setelah Ares berhenti berbicara padaku. Hubungan kami belum membaik beberapa hari ini. Padahal aku dan Ares tidak pernah diam - diaman selama ini.
“Mikirin apa, Ra?” Tanya Arno lembut yang tiba - tiba sudah berdiri di sebelahku.
Aku terlonjak kaget “Nggak mikirin apa - apa” Dustaku. Mana mungkin mengaku memikirkan Ares.
“Gimana kerjaan kamu sejauh ini?”
“Baik kok” Ucapku.
“Bagus kalau gitu. Oh ya katamu ada yang mau kamu omongin sama aku?”
Mataku membulat aku refleks menggigit bibir bawahku. Beberapa saat lalu aku hilang akal dan terlau frustasi hingga ingin mengakui perjodohanku dan Ares di depan Arno. Namun ketika dihadapkan secara langsung dengan Arno nyaliku benar - benar ciut. Aku tidak berani mengakuinya. Reaksi Arno tidak bisa aku bayangkan.
“Oh, nggak ada apa - apa. Aku cuma lagi kesel aja sama Papa dan orang - orang kantor. Mereka taruh aku di bawah tekanan mereka. Emang mereka pikir aku robot ya” Kataku beralasan. Ini bukan suatu kebohongan mengingat bagaimana perlakuan orang - orang disekitar terhadapku. Aku tidak mau mengakui soal rencana perjodohan dengan Ares. Aku pikir untuk apa mengakui sesuatu yang bisa menghancurkan hubunganku. Apalagi hal itu sama sekali tidak pasti. Aku tidak akan menikah dengan Ares. Tekadku bulat dari dulu hingga sekarang.
“Sabar ya, tapi kamu nggak apa - apa kan?”
“Aku nggak apa - apa, No”
“Syukurlah, Sayang. Aku tau kamu kuat”
Aku merasa bersalah karena tidak bisa memberi tahu Arno yang sebenarnya, tapi aku rasa tidak apa - apa. Selama aku tidak menyakiti perasaannya dan bisa menjamin kebahagiaanya.
***
Naik motor bersama Arno dari kafe menuju rumah selalu membuatku merasa senang. Aku melingkari tanganku di pinggang Arno yang sedang mengendarai motor vespa warna abu. Demi naik motor bersama Arno aku sampai rela meninggalkan mobilku di parkiran kantor.
Aku menyandarkan wajahku di punggung Arno. Rasanya terlalu nyaman seperti menemukan sesuatu hal menyenangkan yang selama ini aku cari. Perjalanan ini terlalu singkat. Tak lama Arno sudah menurunkan aku di depan rumah.
“Cepet banget sih”
“Apanya?”
”Naik motornya. Kenapa kamu nggak muter lebih jauh?”
Arno tersenyum.”Mau sejauh apa?”
“Sejauh apapun asal sama kamu”
“Bisa aja” Kata Arno sambil mencubit gemas pipiku. “Masuk, Ra. Sebelum papamu liat dan marah”
Aku merasa bersalah pada Arno. Kedatangannya pertama kali sebagai lelaki yang aku pilih disambut tidak baik oleh papa. Papaku sama sekali tidak menaruh respek pada Arno. “Maaf ya, No”
“Untuk apa?”
“Karena papaku nggak baik sama kamu”
“Masuk, Ra. Aku pulang dulu”
Aku memandangi punggung Arno sampai menghilang. Rasanya enggan untuk masuk ke dalam rumah setelah kejadian beberapa hari lalu dimana papa secara sepihak meminta Ares menjadi suamiku. Aku menghela nafas berat. “Aku akan perjuangin kamu, No” Kataku yakin. Aku tidak pernah seberani ini sebelumnya untuk memperjuangkan hal yang aku inginkan. Tapi, kali ini usaha dan hasilnya sebanding.
Mobil sedan hitam berhenti di rumah Ares. Aku kenal betul siapa pemilik mobil itu.
Ares turun dari mobil dengan santainya. Lelaki itu menggunakan kemeja hitam dan celana hitam dengan sepatu kets. Rambutnya yang agak panjang diikat ke atas ala man bun. Dia terlihat sangat maskulin. Ares memandangku sesaat. Kami jadi bertatapan. Tidak ada sepatah kata yang kami tukar. Ares memasuki rumahnya dan aku berbalik memasuki rumah. Dalam hati aku merutuk kenapa semua jadi terasa canggung untuk kami?
Di dalam rumah aku mendapati papa duduk di ruang tamu sambil membaca koran.
“Malam, Pa” Sapaku sekalipun enggan.
Papa mengangkat kepala dan memandangku. “Kamu habis ketemu sama Arno?”
“Iya” Jawabku tanpa berpikir untuk berbohong. Ini adalah tindakan nyata dari apa yang baru saja aku suarakan. Kalau aku akan memperjuangkan hubungan seumur jagungku dengan Arno.
“Mau sampai kapan kamu melawan Papa?”
“Aku nggak pernah melawan Papa. Baru kali ini aku memperjuangkan apa yang aku mau, Pa”
“Jangan merasa hebat, Ra. Hanya karena kamu melawan Papa”
”Pa, kenapa sih memangnya kalau Arno yang aku cinta?”
”Arno hanya manfaatin kamu, Ra”
“Tau dari mana, Pa? Papa cenayang?”
Papaku mendengus kesal. “Arno itu bukan siapa - siapa. Sementara kamu akan mewarisi perusahaan Papa. Apa kamu nggak pernah mikir kalau Arno hanya manfaatin kamu?”
”Arno nggak kayak gitu. Dia tipe orang yang memperjuangkan segalanya sendiri” Aku masih bersikeras membela Arno.
“Kamu itu jalan keluar untuk hidup dia yang nggak pasti. Sementara Ares punya segalanya. Dia nggak perlu manfaatin kamu sama sekali”
“Nggak ada buktinya kalau Ares nggak akan manfaatin aku, Pa”
“Untuk apa dia manfaatin kamu? Dia lebih kaya dua kali lipat dari kita!”
“Pa, Rara capek. Rara ke kamar dulu” Kataku menyerah. Mengakhiri perdebatan yang tidak pernah aku menangi. Papa hanya mengukur segalanya dengan uang. Kalau dari segi finansial Arno memang kalah telak dari Ares.