Mars Reviano, seorang duda yang akan kembali menikah dengan wanita yang di jodohkan oleh orang tuanya. Sayangnya, di hari pernikahannya calon mempelai wanita tak datang. Situasi sungguh kacau, pernikahan tak bisa di batalkan begitu saja.
Hingga tiba-tiba, kedatangan seorang gadis memakai gaun pengantin mencuri perhatiannya. Aurora Naomi, sosok gadis cantik pemilik senyuman indah. Ia tak sengaja masuk ke dalam gedung acara pernikahan Mars karena menghindari kejaran polisi yang ingin menilangnya.
Entah kebetulan atau tidak, Aurora merupakan keponakan dari asisten pribadi kakek Mars. Mengetahui nama Aurora dan calon mempelai wanita sama, kakek Mars langsung meminta asistennya untuk menikahkan keponakannya dengan cucunya.
"Kenapa Tuan Planet mau menikah denganku?"
"Jangan panggil saya planet! Itu sangat mengesalkan!"
Si gadis pecicilan yang bertemu dengan duda dingin? Bagaimana akhirnya? Di tambah, seorang bocah menggemaskan.
"Ibu tili? Woaah! tantiknaa ibu tili Alkaaan!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa kecewa seorang putri
"Aurora, kenapa bicara seperti itu! Duduklah dulu, tenangkan dirimu." Tegur Helen dan segera memegang bahu ponakannya. dia berniat akan membawa Aurora duduk. Namun, Aurora tampak enggan. Dia menyingkirkan tangan Helen dan menatap Ansel yang hanya menatapnya tanpa ekspresi.
"Masih ingat punya anak? Aku bahkan lupa memiliki seorang ayah! Seorang ayah yang enggan melihat putri semata wayangnya!" Seru Aurora, air mata luruh membasahi pipinya.
Ansel beranjak berdiri, ia menatap Aurora yang masih menatap tajam padanya. "Ayah pergi untuk bekerja, untuk masa depanmu. Hidup mu disini sangat baik, apa yang masih kamu tuntut?" Ujar Ansel.
Helen menjadi khawatir, begitu pun juga dengan Herman yang baru saja selesai mandi dan melihat perdebatan mereka. Keduanya saling tatap, tak berani untuk turut ikut campur antar perdebatan ayah dan anak itu.
"Kau pergi karena tidak menginginkanku! Karena apa? Karena aku penyebab kematian bunda kan? Kalau boleh memilih aku tidak mau di lahirkan! Aku tidak mau bunda meninggal karena melahirkanku!" Sentak Aurora.
"Aurora, jaga bicaramu. Tenanglah, jangan seperti ini." Tegur Helen, ia mengusap punggung Aurora berharap keponakannya itu sedikit tenang.
Ansel tak mengatakan apapun, ia hanya diam dan menerima kemarahan putrinya. Dulu, putri kecilnya itu selalu meneleponnya dan memintanya untuk pulang. Hanya saja, Ansel abai. Ia seolah tak ingin tahu apapun tentang putrinya. Biaya kehidupan Aurora, tetap Ansel berikan walaupun kasih sayang tak ia curahkan. Kini, ia hanya bisa menerima kemarahan putrinya. Karena dirinya juga sadar, apa yang ia perbuat pada putrinya adalah hal yang salah.
Aurora mengusap kasar wajahnya, ia menunjuk sang ayah dengan tatapan yang sangat kecewa. Bibirnya bergetar, d4d4nya terasa sangat sesak. Seolah, oksigen sulit ia dapat kan.
"Kau meninggalkanku, ketika aku sangat membutuhkanmu! Kau meninggalkanku di titik terendahku!" Ucap Aurora dengan penuh penekanan. Selepas itu, ia berlari pergi, meninggalkan ketiga orang yang masih terkejut atas perkataannya tadi.
Aurora berlari keluar rumah, d4d4nya terada sangat sesak. Air matanya luruh tanpa bisa ia cegah. Bahkan, ia melewati Mars yang sedang menghubungi seseorang. Melihat Aurora yang berlari pergi, Mars tentu bingung. Ia sampai tak menjawab seruan orang yang menghubunginya.
Berselang beberapa saat, Helen keluar mencari keberadaan Aurora. "AURORA!"
"Nanti saya hubungi lagi." Ucap Mars sebelum mematikan sambungan telepon nya.
"Ada apa ini? Tadi saya melihat Aurora pergi," ujar Mars di tengah kebingungannya. Dia tak sempat mencegah lantaran masih mencerna apa yang terjadi.
"Tolong, cari Aurora!" Seru Helen.
Mars bingung dan ikut khawatir, ia dan Helen sama-sama berlari keluar pagar untuk mencari keberadaan Aurora. Mars tak tahu apa yang terjadi, ia hanya melihat Aurora yang berlari kencang keluar rumah.
"Astaga, Auroraa. ... kamu kemana sih." Gumam Helen yang panik.
"Sudah ketemu?" Tanya Herman yang datang menghampiri, di susul oleh Ansel. Melihat keberadaan Ansel, Mars mengerutkan keningnya heran. Ia tak mengenali Ansel siapa, tapi memang wajahnya terbilang mirip dengan Herman.
"Aurora pasti masih di sekitar sini, kita cari dulu." Ucap Herman dan memutuskan untuk mengambil motornya.
"Saya juga akan ikut mencari," ujar Mars dan berniat masuk ke dalam mobilnya. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat siapa yang tengah meneleponnya. Terlihat, nama sang mama yang ada di kontaknya.
"Mama." Gumam Mars, ia lalu menggeser tombol hijau di layar ponselnya dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.
"MARS! ARKAN KABUR DARI RUMAH!" Pekik Julia.
MArs membulatkan matanya, jantungnya langsung berdegup kencang. Sebenarnya apa yang terjadi hari ini? Kenapa kebetulan sekali istri dan putranya kabur. Jadi, dia harus mencari siapa dulu?
"Kenapa bisa kabur?! Dimana semua penjaga?!" Sentak Mars dengan wajah merah menahan amarah.
Mars mematikan sambungan telepon nya, ia berpikir sejenak untuk mengambil langkah apa yang akan dia ambil. Tatapannya beralih menatap Helen yang sedang menghubungi seseorang. Tak mungkin ia lepas tanggung jawab sebagai suami, tapi bagaimana dengan putranya?
"Lebih baik aku mencari Arkan dulu, Aurora masih bisa pulang sendiri. Tapi Arkan, anak itu tidak hafal jalan pulang." Gumam Mars.
Mars menghubungi seseorang, sebelum ia mendekat pada Helen. "Saya sudah meminta bantuan orang-orang saya untuk mencari keberadaan Aurora. Tapi saya juga harus pulang, karena putra saya juga sedang kabur." Ucap Mars dengan bahasa formalnya.
Helen terkejut, "Kabur juga? Kenapa bisa bertepatan sekali."
Mars mengangguk, "Saya pergi dulu." Pamit Mars, ia segera berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Setelah mobil Mars melaju pergi jauh, tak lama ada beberapa orang berpakaian hitam yang akan membantu mencari keberadaan Aurora.
.
.
.
Aurora turun dari angkot yang baru saja membawanya, ia tak kabur dengan berjalan kaki. Tapi juga menaiki angkot untuk sekedar berkeliling melupakan rasa sedihnya. Untungnya, ia masih menyimpan uang walau sedikit. Gadis itu memutuskan turun dari angkot dan berdiam diri sejenak di taman kota.
Cuaca yang sangat terik membuat orang-orang malas untuk keluar. Sehingga, di taman kota ini Aurora hanya seorang diri. Ia duduk di bangku taman sembari menatap lurus kedepan. Di pikiran dan hatinya penuh rasa kecewa.
Tak dia dapat kan peran seorang ayah dalam hidupnya, ia hanya tumbuh di bawah asuhan paman dan bibinya. Walau keduanya sudah memberikan kasih sayang pada Aurora, tetap saja berbeda.
Aurora menghela nafas pelan, ia menaikkan kedua kakinya dan menyembunyikan wajahnya di lututnya. Ia kembali menangis, tak peduli cahaya matahari sungguh terasa panas saat ini.
Tak lama, terlihat seorang bocah yang berjalan mendekatinya. Sejenak, bocah menggemaskan itu menatap sekitar. Ia mengusap kening dan lehernya yang berkeringat. Tenggorokannya terasa kering, karena sudah lama ia berjalan. Perutnya juga sudah mulai berbunyi pertanda ingin di isi.
"Nda bawa aeeel, nda bawa uaaaang, nda bawa kacuuul, telnyata kabul itu nda enaaaak hiks ... Alkan juga nda tahu jalan pulang hiks ... taunya lumah becaaal, tapi dicini lumahnya becal-becaaaal hiks ...."
"Hiks ... hiks ... uhuk! Hiks ...." Arkan menghentikan tangisnya, ia beralih menatap Aurora yang menangis sembari menyembunyikan wajahnya di lututnya. Tentu saja, Arkan bingung menatapnya.
Perlahan, Arkan melangkah mendekat. Ia melepaskan tasnya dan meletakkannya di sebelah Aurora. Sebelum akhirnya ia naik ke atas kursi taman itu dan duduk tepat di sebelah seorang perempuan yang sedang menangis itu.
Aurora tak menyadari kehadiran Arkan, ia sibuk menumpahkan tangisannya. Arkan pun menjadi bingung, ia melirik kesekitar taman yang masih sangat sepi. Hanya mereka berdua saja yang ke taman di siang hari terik seperti ini.
Perlahan, Arkan menoleh ke arah Aurora. Ia sedikit memiringkan wajahnya dan mendekatkannya. Berharap, ia bisa mengintip wajah Aurora yang sedang menangis.
"Lagi kabul juga yah?"
Aurora reflek menghentikan tangisnya, ia terdiam sejenak sembari berpikir keras. Perlahan, Aurora mengangkat wajahnya. Sontak, tatapan nya dengan Arkan bertemu. Sebab, bocah menggemaskan itu memasang wajah tepat di hadapannya.
"Kau!!" Aurora terkejut, ia hampir mau jatuh dari kursi karena melihat Arkan.
Arkan tersenyum lebar, "Cama, Alkan juga kabul! Kita cama-cama kabul yah,"
Aurora melongo tak percaya, ia beralih menatap tas Arkan. Bocah itu sepertinya lebih pintar darinya. Kabur membawa tas, sedangkan dirinya? Kabur tanpa membawa apapun.
"Kakak tantiknaaaa! Kenapa kabul? Punya ibu tili juga yah?"
"Ibu tiri?" Bingung Aurora.
Arkan mengangguk lucu, "Alkan kabul, nda mau punya ibu tili. Nanti ibu tili culuh Alkan belecin lumah, culuh Alkan tidul di kamal kocong, nda di kacih makan, di cikca. Ibu tili olang jahaaaat." Ucap Arkan, ia seolah yakin dengan perkataannya. Ekspresinya yang terlihat sangat meyakinkannya, mulutnya terbuka lebar saat mengucap kata jahat.
"Jahat yah?" Tanya Aurora dengan tatapan meringis.
"Mana aku jadi ibu tiri lagi, apa anak tiriku juga ngerasa gini yah." Batin Aurora.
"Iyaaaa, kayak nenek lampiiiil! Cuka malah malaaaah! Nanti kalau punya ibu tili ...,"
"ARKAN!"
Nah si denzel tuh