“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
“Katakanlah! Kalau sanggup, pasti aku bantu,” ujar Wahyuni.
Amala melirik Siron yang sudah tertidur pulas, lalu dia kembali menatap teman sedari masa kecilnya ini.
“Mamak sedang menjual dua ekor Kambing, nanti uangnya hendak dibelikan emas untuk kado Nirma. Aku ingin minta tolong belikan gelang rantai dan kalung polos, bisa tidak Yun?”
“Ya Allah, aku kira apa. Gampang itu, nanti ku minta Bang Hasan ... untuk mengambil barangnya di toko emas kami, mau yang berat berapa?”
Sesuaikan saja sama uang hasil jual Kambing, Yun.”
“Berarti semuanya untuk beli emas?”
Amala mengangguk. “Iya. Terima kasih ya Yun.”
“Baik, nanti aku kasih dompet yang bagus. Jam berapa kau dan Mak Syam mau berangkat kondangan?”
“Belum tahu, Yun. Mamak mengajak pergi bareng sama warga desa sini, katanya pada mau pergi pagi dan sebelum dzuhur sudah pulang,” ujar Amala, tatapannya terlihat sendu.
Wahyuni menggenggam tangan temannya. Hatinya ikut perih menyaksikan kisah menyedihkan Amala, tetapi dia tidak ingin ikut campur terlalu dalam. Hanya bisa menghibur dan menguatkan saja.
“Kita pergi bersama saja, nanti naik mobil pickup-nya Bang Agam. Kemarin sudah ada yang membahas ini, kamu bersedia ‘kan?”
“Ya, aku mau. Terima kasih ya,” Amala tersenyum lembut.
“Oh ya … aku hampir lupa.” Amala meraih plastik yang tadi dia letakkan pada gantungan paku dinding. “Tolong berikan kepada Bang Agam, ini sandal dan juga kain sarung yang kemarin aku pinjam.”
“Gak mau, ah. Kau kasihkan aja sendiri! Lagian orangnya juga sedang bercakap-cakap dengan Mamak mu, sana cepat berikan!” Wahyuni sengaja ingin menggoda Amala, dia tahu betul wanita berbaju kurung warna hitam ini sangat takut pada sosok abangnya.
Wajah Amala seketika memerah, dia memelas menatap manik hitam Wahyuni, “Janganlah begitu, Yun. Kau tahu betul kalau aku tidak berani!”
Tawa Wahyuni lepas begitu saja, dia sampai membekap mulutnya agar sang anak tidak terbangun.
“Ya ampun, Mala. Kalau tidak salah ingat, kejadian itu sudah berlalu 7 tahun lalu. Tapi, kau masih saja terlihat trauma.”
Amala mencebik, “Aku rasa sampai akhir hayat pun, tetap masih trauma!”
Ingatan menyeramkan itu langsung terbayang, suara menggelegar bang Agam terasa berdenging di telinganya.
“KALAU KAU SAMPAI BERANI BELAJAR NAIK MOTOR LAGI!! AKAN KU PATAHKAN KEDUA KAKIMU NUR AMALA!!”
Amala bergidik ngeri, rasanya baru kemarin kejadian mengenaskan sekaligus memalukan itu terjadi.
Melihat raut menyedihkan Amala, Wahyuni menjadi tidak tega. Abangnya memang keterlaluan membuat anak orang trauma sampai dewasa.
Kejadian itu bermula dari kenakalan remaja dirinya, Amala, dan Dhien. Mereka bertiga pada waktu itu masih berumur 16 tahun. Jiwa muda masih begitu menggebu-gebu, ia diam-diam meminjam tanpa permisi salah motor abangnya, menuntun kendaraan roda dua sampai tanah lapang berumput, disana sudah ada Dhien dan Amala yang menunggu.
Bergantian mereka bertiga mencoba belajar naik motor, awalnya semua berjalan lancar. Sampai tiba waktunya giliran Amala, gadis remaja berhijab lebar itu tidak bisa mengendalikan laju motor. Bukannya menekan rem tangan, Mala malah memutar gas tangan. Jadilah laju kendaraannya seperti pembalap motor. Amala seketika panik, dia berteriak kencang. Begitu juga dengan Dhien dan juga Wahyuni.
Motor yang di kendarai Amala berakhir masuk parit, begitupun dengan sosoknya yang berkubang lumpur. Baju putih yang dikenakan Amala berubah menjadi abu-abu.
Baru saja Dhien dan juga Wahyuni hendak menolong Amala, di belakang mereka sudah terdengar suara bang Agam yang bagaikan guntur. Begitu Amala berdiri berkat ditopang dua sahabatnya, dia menangis sesenggukan. Malu, takut, bercampur jadi satu. Rupanya sudah mirip orang-orangan sawah.
Agam yang pada saat itu masih berumur 20 tahun lepas kendali. Dia belum lihai mengolah emosi. Apalagi melihat darah segar merembes di lutut Amala yang tertutup celana panjang. Meledak lah amarahnya, dia mengancam menggunakan kata-kata tajam yang sampai kini masih menghantui Amala.
Dari sanalah Amala begitu takut pada sosok Agam. Seumur-umur baru pertama kali dia dibentak, mulai saat itu Amala menghindari abangnya Wahyuni. Dirinya juga tidak berani belajar naik motor lagi.
***
Di kamar bernuansa abu-abu campur putih, seseorang tengah membuka simpul ikatan plastik. Mengeluarkan sepasang sandal dan kain sarung hitam. Ternyata dibalik lipatan sarung ada secarik kertas yang bertuliskan.
Bang Agam. Nur ucapkan banyak terima kasih. Lagi dan lagi Abang bersedia menolong diri ini.
Hanya melalui tulisan, Amala berani menyebutkan dirinya sendiri dengan nama seperti biasa Agam sebut, ‘Nur’. Jika berhadapan langsung pasti menyertakan kata 'saya'.
Bibir tebal berwarna alami tanpa pernah tersentuh nikotin itu tersenyum tipis. Agam berjalan dan membuka lemarinya, dia mengambil sebuah kotak persegi membawanya ke atas kasur ber sprei putih bersih.
Ada lebih dari 10 kertas yang berisi tulisan tangan Amala. Kebanyakan kalimat-kalimat pendek mengucapkan terima kasih.
Dua kertas berisi satu lembar penuh kalimat permintaan maaf. Surat pertama yang diberikan 7 tahun lalu lewat Wahyuni.
Ketika untuk pertama kalinya, seseorang berhasil membuat jantung Agam nyaris berhenti berdetak kala melihat motor kencang yang dikendarai oleh gadis pemalu itu masuk parit.
Selepas kejadian dimana dia kelepasan membentak Amala, putri sulung Mak Syam mulai menjauh. Dia jarang datang ke rumahnya demi mencari Wahyuni. Terlebih setelah Amala bertunangan, gadis yang selalu berpakaian tertutup itu lebih menutup diri lagi dari dunia luar.
Agam menghela napas panjang, dia tutup lagi kotak tadi dan mengembalikan ke tempat semula. Lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang berukuran besar tak lama kemudian pun dia terlelap.
.
.
Pagi hari.
Amala mengayuh sepedanya, di bangku belakang sudah duduk Mak Syam. Mereka melewati rumah-rumah warga lalu memasuki jalanan yang kanan-kirinya terdapat hamparan sawah. Setelah hampir 15 menit mengayuh sepeda, kini Amala sudah sampai di gerbang tak berpintu pemakaman umum yang letaknya tidak begitu jauh dari pemukiman penduduk.
Amala dan juga Mak Syam membuka alas kaki mereka, mengucap salam lalu berjalan pelan melewati beberapa gundukan tanah. Sampai mereka menemukan batu nisan bertuliskan nama Abidin.
Air mata Mak Syam langsung berderai kala tidak mendapati adanya taburan bunga segar maupun layu. Tebakannya benar, Nirma dan juga Yasir tidak ada pergi berziarah, seharusnya mereka meminta izin sebelum melaksanakan hari resepsi.
“Sudah, Mak. Ayo kita bersihkan rumput-rumput liar ini!” Amala langsung berjongkok, diletakkannya sebotol air dan satu plastik berisi bunga segar. Dia langsung mencabut tumbuhan yang tidak semestinya ada di sana, memetik daun-daun busuk. Di samping makam bapaknya rimbun oleh tanaman daun pacar air yang sedang berbunga.
Amala dan Mak Syam khusyuk larut dalam doa, air mata mereka sama-sama berderai.
‘Bapak, Amala rindu, sangat rindu. Sudah lama Bapak tidak mengunjungi Mala lewat mimpi. Kalau boleh, tolong datang ya Pak, sebentar pun tak apa.’
‘Pak, besok salah satu putri kita mengadakan resepsi pernikahan. Ibuk bingung harus bagaimana, di satu sisi ikut senang bila dia benar-benar bahagia. Tapi, Ibuk membenci caranya! Maaf ya Pak, istrimu ini gagal menjaga keharmonisan keluarga kita.’
.
.
“Mamak, nanti apapun yang terjadi di sana, tolong jangan diambil hati. Bisa 'kan, Mak …?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu