Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.
Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan Di Halte Bus (End)
"Beauty, sexy, smart, strong and kind, it's you! Itu bukan halusinasi, aku berani bersumpah untuk itu." Ungkap laki-laki itu meyakinkan Anna.
Masih dengan ekspresi setengah percaya, Anna bertanya. "Benarkah? Bagaimana aku bisa mempercayai mu?"
Laki-laki yang sedang tersenyum itu mengangguk pasti. "Percayalah pada dirimu sendiri, nona. Kau memiliki semua yang aku sebutkan tadi."
Setelah melihat betapa dalamnya sorot mata laki-laki itu saat berucap, Anna kemudian tersenyum kecil. Rasanya begitu menggelitik hati, juga ada perasaan senang yang menggairahkan. Maklum saja, ini pertama kali nya bagi Anna—mendapatkan pujian yang menggugah jiwanya. Melalui pujian kecil itu, Anna seperti di bangkitkan kembali dari lumpur yang paling dalam, lalu hujan dari langit lah yang membersihkan dirinya.
Setelah melihat reaksi Anna yang sumringah, lelaki itupun berkata lagi. "Nona, aku sungguh telah terbawa ke dalam hidupmu, dan merasakan segenap lukamu. Entah mengapa semua luka ku sendiri menjadi tawar, seketika tak terasa. Di bandingkan dengan dirimu, aku merasa malu telah mengatakan hal-hal yang bodoh tentang betapa lemahnya diriku. Nona, aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, di usiaku yang sudah menginjak angka ke dua puluh tahun. Aku seperti melebur bersamamu, seperti dua sungai yang bertemu dalam satu muara. Ini sangat aneh, tapi aku sangat bersyukur telah di pertemukan denganmu."
Laki-laki itu berucap dengan hati yang menggebu dan suara sedikit terbata. Menampilkan sebuah kebenaran baru yang tumbuh di dalam jiwanya.
Entah dari mana gadis berparas ayu seperti peri ini datang, seorang anak manusia yang memiliki kepekaan sebaik ini dalam menilai kehidupan manusia. Jauh di hati terdalam lelaki itu mengakui bahwa masalahnya benar-benar telah meninggalkan nya dan yang tersisa hanyalah kebaikan berupa kelapangan jiwanya. Berkat Anna, gadis itu sungguh tidak berdusta, dia mampu memberikan apa yang telah dia janjikan di awal tadi.
Raut wajah kedua insan yang awalnya kacau itu berubah menjadi hangat. Tidak, bahkan satu titik hitam di hati mereka pun saat ini sudah musnah. Berbagi kisah seolah telah membuka tali simpul yang mengikat hidup mereka. Mereka hanyut dalam detik waktu yang membelai memori mereka dengan keindahan rasa, asing namun bermakna.
Tanpa Mereka sadari sebuah ikatan yang tak terlihat telah memasung jiwa-jiwa mereka dalam keabadian.
Mendengar ucapan laki-laki yang suaranya tiba-tiba terdengar syahdu itu membuat dada Anna berdetak tak beraturan, terasa asing baginya namun membuai indah. Anna kemudian menoleh ke samping dan melihat seulas senyuman manis yang menyambutnya dengan hangat, hangat sekali. "Hei, kau! laki-laki yang memamerkan bulan sabit lewat senyuman menguatkan di bibirmu, yang menjadi obat bagi memar luka-lukaku."
"Tuan, apa kau mau dengar satu rahasia?" tanya nya pada lelaki yang telah meleburkan seluruh beban hidupnya yang seolah menenggelamkan nya hingga ke dasar bumi, namun kini siap menumbuhkan benih baru pada permukaan nya yang akan tumbuh sebagai bunga yang indah. Anna janji.
Laki-laki itu mengangkat kedua alis matanya, "tentu saja." Sahutnya penuh antusias.
"Kau adalah manusia pertama yang pernah aku ajak bicara dalam hidupku. Selama ini aku hidup dengan tidak di izinkan mengenal siapapun, sehingga aku selalu menghindari segala bentuk interaksi dengan orang lain." Ungkap Anna sedikit malu-malu.
"Kau tidak sedang bercanda kan?" Mata laki-laki itu terbuka lebar, kedua alisnya terangkat seolah tak percaya. "Bagaimana bisa—" Ia sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya.
"Benar. Entah bagaimana aku tiba-tiba seberani itu mendekat padamu. Memang pada awalnya aku merasa ragu, tapi sebuah energi kuat yang seolah mendorong ku untuk tidak mengabaikan kehadiranmu, melangkah lebih dekat ke arahmu, hingga saat aku mencoba mengeluarkan beberapa kata untuk mu, aku menjadi keterusan." Ungkap Anna yang pada akhirnya menjawab sendiri keheranan yang terpencar dari sorot mata laki-laki itu—di awal tadi.
"Aku yakin ini bukan sebuah kebetulan, bagaimana kalau ini adalah sebuah takdir. Wah, aku merasa tersanjung. Seperti mendapatkan sebuah medali terbesar dalam hidupku." Laki-laki itu tak henti-hentinya tersenyum lebar. Perasaan senang yang menggelitik ini sungguh membuatnya candu. Rasanya seperti segerombolan kupu-kupu terbang di dalam perutnya. "Bolehkah aku membawa medali ini pulang bersamaku?" Laki-laki itu menatap Anna—syahdu.
Anna mengangguk pelan, senyuman tipis itu masih melekat di wajahnya. Untuk sekejap, Anna terpaku oleh ketampanan yang baru saja di sadarinya. Mengapa Anna baru menyadari ukiran wajah yang luar biasa ini, kulit seputih salju, mata biru yang menyala tajam, garis wajah yang tegas nan indah. Mulai dari alis, hidung, gigi, bibir, hingga dagu, semuanya terpahat sempurna. Lagi-lagi jantung Anna mendendangkan sebuah getaran aneh, sebuah debaran yang belum pernah ia rasakan selama hidupnya.
"Ah, debaran ini. Bukankah ini adalah reaksi normal ketika melihat sesuatu yang indah? perasaan aneh ini mungkin karena aku mengagumi ketampanan nya, jadi aku tidak perlu bingung dan mengartikan ini secara berlebihan." Nasihat Anna pada hatinya, menegaskan pada diri sendiri.
Jgeeer... !!!
Suara petir kembali meledak seolah membelah langit, seperti akar pohon ia membentangkan dirinya di langit yang gelap hingga membuat bumi menyala terang dalam beberapa detik. Menyadarkan mereka akan waktu untuk mereka sudah hampir habis. Mimpi indah ini akan segera berakhir.
Anna terhenyak hampir berteriak, karena kaget. Dan segera memasang kesadaran sempurna yang sempat hilang akal, sesaat. Namun ia lebih kaget lagi ketika melihat tangan laki-laki di dekatnya ini secara refleks mendaratkan telapak tangannya di atas punggung tangan Anna, kemudian menggenggamnya erat— karna kaget juga tentunya. Rasa hangat langsung menjalar, menyelimuti seluruh jemari Anna yang membeku. Entah mengapa kehangatan ini terasa seperti aliran listrik yang membuat darahnya berdesir.
Suara petir tadi amat sangat besar seolah sebuah meteor menabrak bumi. Tapi beberapa detik kemudian, laki-laki itu langsung melepaskan genggaman tangannya sambil berucap maaf, bersamaan dengan suasana langit yang kembali tenang seperti semula.
Setelah itu, terdengar lelaki itu membuka suara. "Hei nona, lihat aku."
Anna langsung mengikuti perintahnya, segera mengubah arah tubuhnya menghadap ke arah lelaki itu, dan menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.
"Dan dengarkan ini. Aku tidak bisa memberikan mu sesuatu yang sepadan dengan yang telah kau berikan padaku, tapi aku mungkin akan berusaha semampuku." Bibir laki-laki itu nampak bergetar. "Bolehkah aku memegangi tanganmu?" Pintanya.
Anna hanya mengangguk di sertai senyuman yang tiada matinya.
Lalu laki-laki itu menggenggam jemari Anna erat-erat seolah sedang mentransfer energi baru ke dalam aliran darah Anna. Kehangatan ini terasa hingga menyentuh sampai ke relung hati terdalam milik Anna.
"Nona, kau ingatlah wajah ku ini, dan lihatlah ke dalam diriku saat ini. Ini adalah bentuk jiwaku yang sesungguhnya, yang kau lihat ini bukanlah kepalsuan, aku murni menjadi diriku sendiri di hadapanmu. Aku bersyukur di pertemukan denganmu, aku akan menganggap ini seperti mimpi indah di ujung malam yang dingin."
"....."
"Jadi sebelum kita terbangun dari mimpi ini, aku ingin mengatakan. Kau indah, kau kuat, kau gadis yang hebat, aku bahkan belum pernah menemukan seseorang seperti dirimu. Ingatlah kata-kata ku sampai kapanpun. Aku mengakui segala bentuk kebaikan dan kelebihan dalam dirimu."
"....."
"Nona, berkatmu aku seperti terlahir kembali dan menemukan duniaku yang baru. Jadi, kau yang aku kagumi ini, saat kau kembali nanti, jika kau tidak menyukai perjodohan itu, maka buatlah perjodohan itu gagal dan tidak akan pernah terjadi padamu. Aku beritahukan satu rahasia di balik orang-orang kaya yang suka membeli gadis belia, adalah karena menginginkan kesucian mereka. Kepolosan dan keluguan adalah apa yang ingin mereka bayar dengan harga yang mahal sekalipun."
"....."
"Hanya ada satu cara saat berhadapan dengan mereka, ber-akting lah seolah kau adalah gadis yang sudah rusak dengan nilai beli yang tidak menguntungkan hasrat mereka. Bertingkah konyol juga tidak apa-apa, ucapan-ucapan yang buruk juga lebih baik. Jika mau, kau bisa mengatakan bahwa kau memiliki penyakit menular akibat pergaulan bebas. Katakan apapun untuk merusak citra suci mu di depan mereka. Aku yakin mereka akan meninggalkan mu. Tapi dengan syarat, lakukanlah sebelum terjadinya transaksi, dan tolak lah untuk bertemu di tempat pribadi. Nona, aku percaya pada kemampuanmu."
"....."
"Setelahnya, tidak banyak yang bisa aku ucapakan antara kau dan Ibu mu. Hanya saja, meskipun sulit, utamakan membangun komunikasi yang baik dengan Ibu mu. Meskipun mustahil, lakukan saja. Ucapkanlah apa yang kau rasakan, ungkapkan bagaimana pendapatmu, perdengarkan padanya bagaimana isi hatimu yang sesungguhnya. Meskipun nampak enggan di dengar, tapi Ibumu tentu mendengarnya meskipun tidak meresponnya. Aku hanya tidak ingin hal-hal yang buruk terjadi lagi pada mu, aku akan membuat kepercayaan penuh bahwa Tuhan akan selalu bersamamu."
"....."
"Aku berdoa untukmu agar suatu hari nanti kau memiliki hubungan yang lebih baik dengan Ibu mu. Tidak ada salahnya untuk mencoba kan? Mari kita sama-sama berjuang, berperang melawan kehidupan yang kejam ini, dan jadilah pemenangnya."
Seperti seorang kakak yang berbicara pada adik perempuannya, kalimat itu keluar begitu saja dari hati yang terdalam.
"Siap laksanakan!" Tegas Anna kali ini dengan nada lebih semangat. Semua yang di ucapkan laki-laki di depannya ini memacu rasa ingin hidup Anna mencapai puncaknya. Seolah tantangan hidup ke depannya menjadi sasaran empuk yang akan di hancurkannya tanpa rasa takut. Entah mengapa begitu sulit menguatkan diri sendiri ketika rapuh, tapi begitu mudahnya untuk bangkit ketika orang lain yang memberikan semangat itu.
Lalu dengan rasa enggan lelaki itu melepaskan genggamannya setelah merasa yakin bahwa Anna dalam perasaan yang merdeka, begitu juga dengan dirinya.
"Namaku Devan Artyom. Dan siapa nama mu?" Laki-laki yang menyebutkan namanya- Devan itu menjulurkan tangan kekarnya kedepan Anna.
Anna menepis pelan tangan itu dan meletakkannya di atas lutut Devan dengan lembut. "Kata orang, pertemuan pertama itu hanya kebetulan, sedangkan pertemuan yang ke dua adalah takdir. Jadi jika kita memiliki takdir untuk bertemu kembali, maka aku akan memperkenalkan diri secara resmi kepadamu, okey?" Ucap Anna lembut dengan tatapan penuh arti.
Lelaki tampan bernama Devan itu terdiam. Ia hanya bisa menerima alasan Anna tanpa mampu berucap apa-apa. Entah mengapa, gaya bicara gadis didepannya ini membuat hati nya selalu luluh, setiap kata yang keluar dari bibir merah meronanya membuat hati Devan seperti di jatuhi setetes salju, menyejukkan. "Baiklah, mari kita percayakan pada garis takdir yang akan memberikan waktunya yang panjang untuk cerita kita."
Drrrtt...!
Suara ban mobil bus yang mengerem di jalan yang licin membuyarkan kebekuan yang tercipta sesaat.
"Bus terakhir sudah datang, aku harus pulang." Anna segera bangkit begitu bus yang di tunggu-tunggu sejak tadi sudah hadir di seberang sana.
"Hei, tinggallah disini satu malam lagi," Devan menjadi tidak rela begitu di hadapkan oleh waktu yang akan membawa Anna pergi darinya. Devan langsung berdiri menahan tangan Anna yang hendak pergi. Entah dari mana datangnya keserakahan ini.
"Maaf tapi aku tidak bisa." Jawab Anna yakin.
"Lalu, berjanjilah padaku, kita akan bertemu kembali di masa depan yang lebih indah," Devan menelan ludahnya kasar, menahan gejolak hati yang ia sendiri tak tau maknanya, namun tiba-tiba sedikit menghilangkan akal sehatnya.
"Semoga."
"Harus! Kau tidak tau bagaimana hasrat ku yang ingin menahan mu disini sekarang." Putih mata laki-laki itu terlihat memerah dan kelopaknya yang di tumbuhi bulu yang lentik itu mengerjap-erjap.
Anna pun tersenyum lagi. "Devan! Devan Artyom! Mari bertemu lagi di masa depan!" Ucap Anna dengan sepenuh hati.
Mendengar itu, Devan pun tersenyum puas. "Oh ya, tunggu sebentar," Devan melepas coat panjang yang dipakainya. "Pakai lah ini, bagian bawah dress mu sedikit terbuka, nanti akan menjadi pusat perhatian orang-orang di dalam bus," ujar Devan sambil memakaikan coat kesayangannya pada tubuh Anna yang tingginya hanya sepantaran bahunya saja.
Anna pasrah menerima perlakuan Devan, membiarkan laki-laki itu mengikat tali coat pada pinggang rampingnya. Anna menengadahkan kepala melihat wajah Devan dari jarak yang sangat dekat.
Devan pun dibuat terpaku oleh sinar mata Anna yang memancarkan warna kehijauan, sangat indah di terpa lampu jalanan yang menyorot dari atas sana. Ah hati lelaki itu melebur bersama rasa sakit akan kenyataan tentang perpisahan yang terpampang di depan mata. Rasa hati tidak ingin melepaskan waktu ini, dan terjebak disini selamanya. Tapi mimpi selalu memiliki batas.
Tin tin.... !!!
Bunyi klakson bus malam memberi sinyal pada Anna untuk segera naik.
"Anu, terima kasih!" Suara Anna gugup, kemudian terburu-buru berbalik badan dan mengambil langkah panjang untuk meninggalkan tempatnya berdiri.
"Nona!" Lengan Devan yang panjang segera menyambar pergelangan tangan Anna, kemudian menarik tubuh gadis itu dengan gerakan cepat menuju ke dalam pelukannya yang erat. "Tolong, seperti ini sebentar saja." Nafas Devan yang bergetar begitu halus membelai daun telinga Anna yang memerah.
Kegelapan bisa menyembunyikan pepohonan dan bunga-bunga dari penglihatan mata, tapi tidak bisa menyembunyikan cinta dari jiwa. Meskipun pemilik jiwa itu belum menyadarinya ataupun tidak mau mengakuinya, yang pasti dekapan yang di berikan Devan kepada Anna telah menggambarkan segalanya secara nyata.
Tubuh Anna yang awalnya menegang berangsur tenang, lalu membiarkan dirinya tenggelam ke dalam dada bidang milik laki-laki asing itu. Aroma yang begitu khas alami, semacam wangi kayu dan bunga— terhirup dari tubuh Devan yang mampu menyesatkan pikiran Anna sesaat. Hampir saja ia tergoda untuk berlama-lama membiarkan wajahnya menyelindap lebih dalam tanpa tahu malu.
Di dalam bus, di tepian kaca yang lebar, beberapa orang memperhatikan dua pasang manusia yang terlihat masih enggan melepas pelukannya. Lebih tepatnya gadis berselimut coat milik pria itulah yang tenggelam dalam-dalam, hingga sehelai angin pun tak sanggup lagi melerai jarak antara tubuh mereka.
"Devan, aku bisa ketinggalan Bus," kata gadis itu yang sebenarnya— perasaannya pun ingin disini lebih lama, tapi apa daya, saat ini bukanlah waktunya.
Lidah yang menyebutkan namanya, memberikan keyakinan tersendiri yang membujuk Devan untuk menghilangkan keegoisan sesaat ini. Mungkin saat ini memang bukan waktunya. Mau tidak mau, Devan harus melepaskan gadis ini, dan membiarkan nya pergi dengan jarak yang entah seberapa jauh.
"Nona, ingatlah namaku, dan aku akan mengingatmu. Setiap detail wajahmu, senyummu, suaramu, juga sentuhan tangan mu yang dingin. Lalu memimpikan mu pada malam-malam selanjutnya." Kata Devan sambil melonggarkan lingkaran tangannya, membiarkan gadis cantik itu beringsut pelan membuka jarak di antara mereka. Tak nampak tanggapan apapun darinya, atau memang dia sedang mencoba menahan diri agar tidak goyah.
Setelah beberapa jenak, Devan harus rela melepaskan pelukannya walau masih berat. "Berhati-hatilah selama di perjalanan, semoga selamat sampai tujuan." Ucapnya pada tubuh Anna yang mundur ke belakang.
Anna mengangguk pasti sambil tersenyum yang maknanya—entah antara bahagia atau sedih. Anna kemudian membalikkan badan seraya berlari pergi meninggalkan Devan tanpa menoleh kebelakang. Ia takut jika menoleh sekali lagi, hatinya akan goyah.
Sedangkan lelaki yang jiwanya tiba-tiba telah terisi oleh ruh milik gadis asing itu masih berdiri di tempatnya memperhatikan Anna sampai gadis itu masuk ke dalam bus yang sudah menantinya dengan sabar sejak tadi. Dalam hitungan detik, tubuh Anna melindap hilang di telan malam bersama bus yang membawa gadis itu lenyap dari pandangannya.
"Ah, perpisahan!" Rutuk Devan dalam hati. Di langit, dari sudut malam yang kian dingin, Devan menatap ke atas langit yang terisak. Warnanya hitam legam, menampakkan kesedihan berbeda yang sedang berkabung. Begitu murung.
Devan meletakkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, dan membiarkan setiap tetes hujan yang tersisa membasahi kepala dan punggungnya. "Ssshhh dingin..." Devan pun beranjak meninggalkan tempat dimana sebuah kenangan telah tercipta.
"Di masa depan ketika aku menemukan sosokmu kembali, aku tidak akan melepaskan mu." Gumamnya pada bayangan sosok gadis yang kini melekat sempurna dalam ingatannya. Jarak yang terbentang dalam pandangan saat ini, bukanlah yang sebenarnya. Sebab, dalam ingatan tiada jarak yang terentang.
Tiba-tiba hujan langsung mereda, ketika Devan sudah meninggalkan halte bus itu. Membawa mimpi indah mereka ke dalam nirwana, lalu mencatat nya sebagai takdir pada pertemuan ke dua. Mungkinkah?
"Jika takdir mempertemukan kita kembali, aku ingin melihat takdir seperti apa yang telah digariskan antara kau dan aku." (Devan Artyom).
...• • •...
Yuhuu...
Season of this part udah selesai. Pengen tau banget gimana kesan kalian sampai disini. Apakah pertemuan mereka yang secara kebetulan ini cukup membaperkan.
Jangan lupa like, komen-komen juga ya. Bagi yang belum subscribe, silahkan di subscribe. Dukungan dari kalian akan sangat membantu keberlangsungan cerita ini. I love you!
Part selanjutnya lanjut ke masa lima tahun kedepan, yang mana ketika takdir mempertemukan mereka kembali.
mampir di novelku ya/Smile//Pray/