Sinopsis:
Melia Aluna Anderson, seorang manajer desain yang tangguh dan mandiri, kecewa berat ketika pacarnya, Arvin Avano, mulai mengabaikannya demi sekretaris barunya, Keyla.
Hubungan yang telah dibina selama lima tahun hancur di ulang tahun Melia, saat Arvin justru merayakan ulang tahun Keyla dan memberinya hadiah yang pernah Melia impikan.
Sakit hati, Melia memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan menerima perjodohan dengan Gabriel Azkana Smith, CEO sukses sekaligus teman masa kecilnya yang mencintainya sejak dulu.
Tanpa pamit, Melia pergi ke kota kelahirannya dan menikahi Gabriel, yang berjanji membahagiakannya.
Sementara itu, Arvin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya telah terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beban Hilang
Arvin berdiri di depan pintu rumah Melia di kota B. Tangannya gemetar, berkali-kali ia mencoba mengetuk pintu, tetapi selalu ragu. Dalam benaknya, ia tahu tidak ada lagi alasan yang dapat membenarkan perbuatannya. Namun, penyesalan yang terus menghantuinya memaksa langkah kakinya untuk tetap berdiri di sana.
Setelah beberapa saat, pintu terbuka. Bukan Melia yang muncul, tetapi Gabriel. Tatapan Gabriel tajam, penuh kewaspadaan.
"Arvin," sapa Gabriel datar. "Ada urusan apa kau di sini?"
Arvin menelan ludah. "Aku ingin berbicara dengan Melia. Tolong izinkan aku bertemu dengannya."
Gabriel tetap berdiri di ambang pintu, tidak memberi jalan. "Melia sudah melupakanmu, Arvin. Tidak ada gunanya mengungkit masa lalu yang sudah dia tinggalkan."
"Tolong, Gabriel. Aku hanya ingin meminta maaf," pinta Arvin dengan nada memelas.
Sebelum Gabriel sempat menjawab, Melia muncul dari dalam rumah. Ia mengenakan pakaian santai, tetapi auranya memancarkan kedewasaan dan ketenangan yang berbeda dari dulu. Tatapan Melia jatuh pada Arvin, dan ia terdiam sejenak sebelum akhirnya melangkah maju.
"Biarkan aku bicara dengannya," kata Melia pada Gabriel.
Gabriel menatap Melia dengan ragu, tetapi akhirnya mengangguk dan melangkah mundur. "Aku ada di dalam kalau kau butuh sesuatu," katanya lembut sebelum meninggalkan mereka.
Arvin merasa tenggorokannya kering. Melihat Melia yang tampak begitu berbeda dan percaya diri, ia merasa kecil. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat, tetapi yang keluar hanya desahan berat.
"Melia," kata Arvin akhirnya, suaranya parau. "Aku tahu aku tidak pantas berdiri di hadapanmu sekarang. Tapi aku ingin meminta maaf. Aku telah menghancurkan segalanya, dan aku menyesal."
Melia menatapnya tanpa ekspresi. "Apa yang membuatmu berpikir permintaan maafmu sekarang akan mengubah apa pun, Arvin?"
"Aku tahu itu tidak akan mengubah apa pun," jawab Arvin buru-buru. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku sadar betapa buruknya aku memperlakukanmu. Aku seharusnya menghargai apa yang kita miliki. Aku seharusnya..."
Melia mengangkat tangan, menyuruhnya berhenti. "Cukup, Arvin. Aku sudah mendengar cukup banyak 'seharusnya' darimu."
Arvin terdiam, merasa kata-katanya tidak ada artinya. Melia melanjutkan dengan suara yang tegas, tetapi tetap tenang.
"Arvin, aku sudah melalui banyak hal setelah meninggalkanmu. Aku pernah hancur, merasa direndahkan, dan kehilangan arah. Tapi aku belajar untuk bangkit. Aku belajar bahwa aku tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang masa lalu, terutama bayang-bayang hubungan yang penuh luka."
Arvin menundukkan kepalanya, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tahu aku sudah terlambat. Aku hanya berharap aku bisa memperbaiki semuanya."
Melia menggeleng pelan. "Tidak ada yang bisa diperbaiki, Arvin. Hubungan kita sudah berakhir. Dan aku tidak ingin kembali ke masa lalu itu. Aku telah menemukan kebahagiaan baru, kehidupan baru, dan seseorang yang benar-benar mencintaiku dengan tulus."
Arvin mencoba untuk menatap mata Melia. "Aku tidak meminta kita untuk kembali bersama. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyesal."
Melia menarik napas panjang. "Aku menerima permintaan maafmu, Arvin. Tapi itu hanya karena aku tidak ingin membawa beban dendam dalam hidupku. Bukan berarti aku ingin kau kembali menjadi bagian dari hidupku."
Arvin mengangguk pelan, menahan air mata yang hampir jatuh. "Terima kasih, Melia. Terima kasih telah mendengarkan."
Melia tersenyum tipis, tetapi senyum itu penuh dengan ketegasan. "Kembalilah ke hidupmu, Arvin. Dan aku akan melanjutkan hidupku."
Setelah Arvin pergi, Melia berdiri di depan pintu untuk beberapa saat, memandangi jalan yang kini sepi. Ia merasa lega, seolah beban yang pernah menghantui hidupnya kini benar-benar hilang.
Gabriel mendekat dari ruang tamu. "Kau baik-baik saja?" tanyanya lembut.
Melia menoleh dan tersenyum. "Aku baik-baik saja. Aku hanya merasa... lega. Semua ini akhirnya selesai."
Gabriel meraih tangan Melia dan menggenggamnya erat. "Kau sudah sangat kuat, Melia. Aku bangga padamu."
Melia memandang Gabriel dengan rasa syukur yang mendalam. "Terima kasih, Gabriel. Untuk segalanya."
Gabriel tersenyum hangat. "Aku selalu di sini untukmu, apa pun yang terjadi."
Malam itu, Melia merasa hatinya benar-benar bebas. Ia telah melupakan masa lalu dan membuka lembaran baru bersama Gabriel, seseorang yang memberinya cinta dan kebahagiaan yang tulus.
To Be Continued...