Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ke-14
Hari ke -14
Suasana kantor cukup kondusif, tanganku sibuk mengetik di atas keyboard, sebentar lagi pekerjaanku selesai. minum kopi yang sedari tadi menemani pekerjaanku, asapnya mengepul menciptakan aroma tersendiri bagi para pecintanya.
Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB, tak sabar rasanya ingin segera pulang, lalu menjemputnya ke rumah. Kami akan tinggal bersama kembali seperti sebelumnya.
Ku pandangi layar komputer, aih ternyata jumlah digit di kolom debit dan kredit tak seimbang, aku harus mengerjakan ulang jika ingin mendapatkan hasil yang akurat.
Padahal sengaja aku cepat-cepat mengerjakan laporan agar bisa bertemu dengan, Limah.
"Sikap pelan-pelan itu dari Allah, dan sikap tergesa-gesa itu dari setan." (Hadist Riwayat Al-baihaqi dari Anas bin Malik) memang benar, harusnya aku tidak tergesa-gesa.
Setelah berkutat lama dengan angka-angka, akhirnya pekerjaanku selesai. Ada beberapa angka yang salah kumasukkan. Pantas saja hasilnya tak seimbang.
Waktunya pulang! Tak ada yang bisa menahan ku sekarang. Bergegas pulang, lalu memacu mobil dengan kecepatan 60 Km/Jam. Rumah cat abu-abu seolah menjadi candu bagiku. Sayangnya tidak semua rumah yang bercat warna abu, hanya rumah yang ditempati istri dan anakku saja.
"Assalamu'alaikum!" Setelah turun dari mobil, aku segera berlari ke depan pintu rumah.
Kondisi pintu terbuka lebar, tumben sekali.
"Waalaikumsalam." Rasyid muncul dari dalam. Kenapa dia di sini? Ngapain?
"Ngapain di sini?" tanyaku ketus. Aku memindainya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Bantu Limah beresin barang. Kan kamu sendiri yang memintanya untuk pindah ke rumahmu," ketusnya tak bersahabat. Aku menatapnya tajam, awas saja jika dia mencari kesempatan dalam kesempitan.
"Gak percaya? Lihat nih pintu kebuka lebar gini, di dalem juga ada Bu Leha. Orang yang disewa buat bantu beresin," ucapnya galak. Mungkin Limah dan Rasyid satu keturunan galak, jadi watak mereka seperti sama.
Aku mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
"Hay, Dik." Kutemukan Limah di kamar sedang sendirian, dia sibuk menata baju di koper.
"Apaan, si?" ketusnya. Ia tidak akan memalingkan wajah jika merasa sedang fokus dan sibuk dengan aktivitasnya.
"Masih aja galak si, Dik?"
"Apa?" Dia menatapku nyalang. Kilatan tak suka tergambar jelas dari matanya.
"Eh enggak. Maksudnya ada badak di kebun binatang," ujarku mengalihkan. Aku memasukkan bantal guling di kamar ke keresek untuk membantunya.
“Eh, ngapain itu, Mas?” sergahnya.
“Aku hanya membantumu saja, Dik. Kenapa kamu senang sekali suudzon kepadaku?” Tanganku memasukkan bantal ke keresek.
“Itu bukan milik kita, Mas! Mas mau mencuri supaya cepat kaya?” hardiknya. Aku bergidik ngeri.
“Oh, ini bukan punya kita. Aku enggak tahu,” ucapku sambil kembali mengeluarkan bantal dan guling yang sudah masuk keresek besar.
“Masa barang sendiri enggak tahu ada apa saja? Masa gak bisa bedakan dengan barang orang lain si, Mas? cerca nya panjang lebar.
“Iya … iya, maaf,” potongku. Jika tidak segera minta maaf, urusan akan semakin panjang. Berhadapan dengan perempuan, kita harus peka untuk banyak mengalah.
"Mas kenapa si?" tanyanya lagi. Aku kembali berfikir tentang diriku sendiri yang kenapa, tapi jawabannya tak kunjung kutemui.
"Hehe enggak." Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Mungkin begini cara mengalah kepada perempuan.
"Gak jelas banget si, Mas. Mending, Mas bantuin aku deh," ucapnya kesal. Lah, dari tadi kan aku bantuin? Ia sendiri yang banyak mengomel, kenapa ia yang kesal juga? Perempuan memang ribet untuk dipahami.
"Siap Komandan! Perintah segera saya laksanakan." Aku merebut pekerjaan yang tengah dikerjakan Limah. Sebelum ia kembali meneruskan semua unek-uneknya dalam bentuk amukkan.
"Mas, kemarin ada kebentur, nggak?" tanyanya sambil terus memperhatikanku. Pertanyaannya lagi-lagi sulit ku jawab.
"Maksudnya?" tanyaku bingung. Lebih baik bertanya sepertinya daripada salah lagi.
"Kebentur kepalanya, ya?" tanyanya memastikan. Aku sudah tak tahan ingin tertawa ia perhatikan seperti itu.
"Ish, enggak lah." Aku mengambil pakaian Jingga dari lemari.
" Tapi, Mas dari kemarin aneh." Limah seperti tak puas dengan jawaban yang sudah ku lontarkan.
"Aku gak aneh Sayang! Cuma kemarin sama sekarang lagi seneng aja." Ku tatap matanya, ia segera memalingkan wajah.
"Dah sini aku aja! Mas cuma menghambat kerjaan aku doang." Ia kembali marah dan langsung mengambil baju Jingga yang sedang kupegang, lalu memasukkannya ke koper dengan cepat.
"Loh ko gitu?"
"Lagian dari tadi ngomong terus, tangannya diem aja enggak ngapa-ngapain. Kapan beresnya kalau gitu?" cerca nya sambil cemberut. Ingin sekali ku cubit pipinya gemas.
"Iya, maaf." Padahal dia yang sedari tadi mengajakku bicara, dia juga yang nyalahin. Dasar perempuan.
Kami segera membereskan barang, lalu beranjak ke rumahku.
"Alhamdulillah selesai juga. Selamat datang kembali di rumah Ayah, putri kecilku." Aku menyambut tangan Jingga, dia celingukan.
"Makasih ya, Bang udah bantuin kami." Limah mengobrol dengan Rasyid, aku segera membawa Jingga turut serta ke dalam pembicaraan. Jangan sampai Rasyid merasa menang dibiarkan berduaan dengan istriku.
"Iya sama-sama De. Sudah seharusnya Abang membantu kalian, kan?" Rasyid menatap istriku.
"Haram… haram! Natap istri orang kek gitu. Pamali tahu nggak?" sindir ku pedas.
"Apaan si?" jawabnya ketus.
"Bang, tinggal saja di tempatku tadi! Supaya dekat. Nanti kalau ada apa-apa aku mudah minta bantuan Abang," ujar Limah lalu disusul dengan anggukan dari Jingga.
"Kan ada, Mas, Dik! Ngapain harus minta bantuan sama orang ini?" Tunjuk ku kesal.
"Dia sudah seperti abangku sendiri, Mas. Sedari kecil ia sudah menjagaku. Bahkan sampai sekarang juga, ia senang meringankan bebanku."
"Tapi, Mas suamimu!"
"Stop! Gak inget di sini ada Jingga? Dah sana kalian masuk!" Ada benarnya juga perkataan Rasyid. Kami segera menghentikan perdebatan. Tak lama kemudian Rasyid pamit, Limah memberi kunci, dan Rasyid menerimanya. Lalu dia bergegas pergi. Akhirnya aku bisa berkumpul tanpa ada pengganggu.
"Ayo masuk!" Aku menuntun tangan Jingga, dan ...
"Apa? Gak boleh pegang-pegang!" Ia berjalan mendahuluiku.
"Hey, tunggu! Aku pemilik rumahnya." Dia tidak mendengarkan ucapanku.
"Mas, aku tidur sama Jingga, ya!" pintanya sambil memasukkan koper kecil ke kamar Jingga.
"Kok gitu? Kamu di kamar utama saja," ujarku tak terima.
"Gak. Nanti Mas khilaf," sergahnya. Ia segera menutup pintu kamar Jingga. Ya ampun, aku kan suaminya. Aku membukanya kembali lalu ikut masuk. Rasanya aku ingin terus bersama mereka.
Limah mulai menata baju mereka, sementara Jingga sedang loncat-loncat di atas kasur. Sepertinya senang sekali dia kembali ke kamarnya.
"Aku bantu, ya!" Aku berdiri di samping Limah siap membantu pemindahan bajunya ke lemari.
"Astaghfirullah, Mas! Bisa nggak datang itu salam dulu? Jangan ngagetin terus!" bisiknya penuh ancaman.
"Iya, maaf." Aku tak mau membuat mereka pergi lagi dari sini.
"Yaudah, Mas aja yang beresin!" Nah kan, jadi aku yang kena sekarang.
Aku memasukan lipatan ke lemari, satu persatu. Karena Limah sekarang sudah berubah menjadi galak. Salah sedikit bisa berdampak membahayakan bagi kesehatan jantung.
"Satu-satu kapan beresnya?" Dia selonjoran sambil sibuk mengomentari pekerjaanku.
"Sudah, Nyonya istirahat aja yang santai! Biar saya yang bereskan barang-barang, Nyonya," Jawabku menunduk hormat, dia tertawa.
"Mas, kamu gak pernah bersihin rumah, ya?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Bersihin, ko," kilahku. ‘Jarang si, tapi sesekali pasti beresin juga kalau lagi enggak cape banget’
"Ko berantakan banget? Kumuh gitu tadi di luar," tanyanya tanpa basa-basi. Jingga masih sibuk lompat-lompat sambil memeluk boneka boba nya yang besar.
"Oh, aku sibuk," ucapku berbohong, padahal aku lebih banyak bermalas-malasan setelah pulang kerja.
"Sibuk tidur?" Sial, dia selalu tahu kebiasaan ku.
"Iya, iya, maaf."
"Ayah jorok, ya, Bunda." Jingga menimpali. Sekarang mereka kompak meledekku. Baiklah, aku mengaku salah.
"Nggak, Sayang. Ayah cuma capek doang." Mereka menggeleng tak percaya, lagi, mereka memang sangat kompak. Pantas mendapatkan nominasi ibu dan anak terkompak meledek ayahnya.
Tanganku mulai pegal, namun naas baju Limah tak kunjung habis. Belum lagi masukin baju, Jingga ke lemari. Duh ...
"Enggak ada niatan buat bantuin, Dik?" Aku memasang ekspresi memelas.
"Enggak!" Ia merebahkan diri di kasur, lalu asyik bercanda dengan Jingga.
"Sedikit aja, boleh?" tanyaku melas, sebab tanganku mulai kebas.
"Enggak. Aku tamu di sini, kamu juga yang maksa kami kesini kan, Mas? Jadi turuti saja kemauan kami.
"Baiklah," jawabku lesu. Limah benar-benar membiarkanku sendiri membereskan baju ke lemari. Padahal ia tahu, hasil pekerjaanku sering tidak sesuai dengannya.
Satu jam aku memasukkan baju ke lemari, ku pastikan tanganku masih nempel sempurna. Alhamdulillah nih tangan gak lepas.
"Wih, satu jam lebih 20 menit ya. Masukin baju doang ke lemari."Ia menatap jam mungil yang melingkar di tangannya. Kenapa Limah jadi menyebalkan sekarang?
"Iya, Nyonya. Mohon maaf, saya masih magang soalnya, belum jadi senior," ucapku mengalah. sudahlah, daripada dia ngambek lagi, dan pergi, susah nyuruh pulangnya.
"Yang rajin ya kerjanya!"
"Iya, Nyonya. Ada lagi?"
"Mas, tolong ambilin minum sama cemilan boleh?" pintanya halus.
"Baik, Nyonya. Tunggu dulu, ya!" Aku segera menuju warung, membeli cemilan yang banyak. Sebenarnya yang kemarin masih ada, tapi khawatir kurang jadi ku belikan lagi.
Tetangga terdengar sedang desas-desus tak jelas, namaku dan nama Limah seperti tersebut, tapi aku tak mau ambil pusing, segera aku pulang untuk menyuguhkan cemilan ini.
"Apalagi?" Setelah sampai segera ku suguhkan air dan cemilan.
"Hore..." Jingga segera bergabung bersama kami. Ah, lama rasanya tidak berkumpul bersama untuk sekadar makan. Aku merindukan moment ini.
Kulihat mereka lahap makan, remahan cemilan tertinggal di bibir Limah. Rakus sekali ternyata dia. Aku mengusap bibirnya untuk membersihkan sisa makanan, dia langsung melotot. Alamak, seram sekali perempuan kalau ngambek.
Adzan Maghrib berkumandang. Kami bergegas wudhu, lalu bersiap shalat.
"Mas ke Masjid dulu ya, Dik," pamit ku kepada mereka.
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya!"
"Iya, jangan lupa pintunya di kunci. Kalau Mas belum pulang jangan sembarangan buka pintu! Assalamu'alaikum!" tutur ku panjang lebar. Aku khawatir mereka bernasib sama dengan korban-korban yang ada di televisi.
"Waalaikumsalam." Ia mengikuti ku, lalu mengunci pintu. Syukurlah, aku lega meninggalkan mereka.
Selepas shalat Maghrib, aku memilih membaca quran sambil menunggu adzan isya.
Rabb, begitu baiknya Engkau, mengembalikan anak dan istriku ke rumah.
Perasaanku sangat bahagia sekarang. Bibirku rasanya ingin tersenyum terus. Untunglah orang-orang tak memperhatikan.
Adzan isya berkumandang, kami kembali bersiap shalat berjamaah, lalu setelah salam, kupanjatkan doa' dalam-dalam. Meminta keberkahan untuk keluarga kecilku.
"Assalamu'alaikum, Dik, Mas pulang." Baru saja sampai pintu, aku dibuat melongo dengan pemandangan yang ada di hadapan. Rumah ini sudah rapih dan bersih, seperti dulu.
"Waalaikumsalam." Terdengar derap kaki mendekat ke arah pintu, ia membukanya. Sosok bidadariku kembali menyambut ku di depan pintu.
"Jingga mana, Dik?" Aku hendak mencium keningnya, tapi ia mundur beberapa langkah. Baiklah, aku faham arti penolakannya. Memang tak mudah menerima aku kembali seperti dulu. Aku harus lebih memahami kondisi hatinya.
"Sudah tidur. Sepertinya sangat kelelahan," ujarnya.
"Kamu udah makan belum?" tanyaku lembut.
"Belum, Mas. Tadi aku beres-beres rumah dulu, belum keburu masak."
"Beli makanan aja, yuk!" ajak ku.
"Enggak, Mas. Kasian, Jingga takut bangun terus engga ada siapa-siapa. Dia pasti nangis."
"Sebentar saja. Baso di depan gang itu loh," bujuk ku sambil memberi penawaran makanan kesukaannya.
"Baiklah, tapi sebentar saja, ya!"
“Iya, Sayang.” Kami berjalan beriringan menuju tempat penjual bakso, asap yang mengepul membuat aromanya menyebar kuat menggugah selera kami untuk segera menyantapnya.
Kami memilih tempat lesehan. Dengan susah payah Limah duduk. Ku tatap ia sembari tersenyum. Duh, sebentar lagi anakku lahir.
"Dik," ucapku lembut.
"Apa?"
"Makasih ya."
"Untuk apa?" pandangannya tidak beralih dari tukang bakso yang sedang menyiapkan pesanan.
"Untuk—“
"Ini baso nya, Pak, Bu." Ini pelayan benar-benar ganggu. Baru saja aku mau ngomong serius.
"Eu, untuk..." Aku berusaha melanjutkan.
"Shut, Mas! Aku mau menikmati makan bakso dulu, jangan ganggu!" Dia mengambil garpu dan sendok, lalu menuangkan kecap ke mangkuknya.
"Saos sama sambalnya nggak, dik?"
"Shut." Ia menatapku nyalang. Baiklah.
Dia makan dengan lahap, bakso adalah makanan kesukaannya, jadi wajar dia tidak mau diganggu. Aku memperhatikannya makan, seperti enak sekali,
"Makan! Gak usah lihat-lihat gitu! Buruan makan keburu dingin." Ish kenapa tahu aja si aku menatapnya?
"Iya, iya. Selamat makan." Dia mengangguk lalu kembali memakan bakso dengan lahap.
'Dik, Mas rindu.' batinku. Terima kasih untuk kesempatan yang kau beri, aku senang kau pulang.
"Mang, satu mangkok lagi!" Limah memanggil pelayan, kulihat mangkoknya sudah tandas.
"Lapar?" tanyaku lembut. Ingin mengejeknya takut membuat moodnya buruk.
"Iya, pengen makan orang."
"Kamu mau jadi sumanto?" Aku bergidik ngeri.
"Haha, enak enggak ya daging manusia?" Dia menatap ke arah tanganku. Aku mulai curiga dengan tatapannya.
"Gak usah aneh-aneh!" Tanpa kusadari dia menggigit lenganku, "Aww," jeritku kaget.
"Daging buaya manis ternyata, ya." jawabnya cengengesan. Dia masih bisa senyum di saat aku kesakitan. Ah, wanita memang suka begitu.