Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curhat
***
"Sus! Mbak! Suster!"
Seketika lamunanku langsung buyar. Aku langsung berdiri dan menatap bingung ke arah ibu-ibu berjilbab di hadapanku.
"Ya, Bu, ada yang bisa dibantu?" tanyaku sopan.
Namun, respon itu itu malah menatapku sinis. "Dipanggil dari tadi kok malah bengong, niat kerja nggak sih? Saya dari tadi laporan kalau infus anak saya udah mau habis."
"Oh, mohon maaf, ibu, sebelumnya. Kalau boleh tahu kamar nomor berapa ya, yang perlu diganti? Biar langsung saya ganti."
Cepat-cepat aku berdiri, namun ditahan oleh Mbak Lusi, salah satu perawat yang jaga denganku.
"Biar aku, aja," ucapnya menyuruhku kembali duduk.
Aku yang belum bisa terlalu fokus hanya mengangguk pasrah sambil menunjukkan wajah bersalahku.
"Sorry, ya, Mbak," sesalku merasa tidak enak.
Mbak Lusi mengangguk paham lalu mengambil kantong infus dan dibawanya mengikuti ibu tadi. Sementara aku memilih melipir ke kamar mandi sejenak demi menyegarkan diri.
Saat aku kembali, Mbak Lusi sudah berada di kursinya.
"Loh, Mbak, kok udah balik?" tanyaku heran.
Apa aku tadi yang terlalu kelamaan di kamar mandi?
"Nggak jadi soalnya," balasnya membuatku mengerutkan dahi.
"Enggak jadi gimana?"
Aku kemudian duduk di kursiku.
"Iya, nggak jadi diganti, soalnya infusnya ternyata masih, belum habis, paling habisnya sejam an lagi." Ekspresi Mbak Lusi terlihat kesal, "kesel banget aku, udah marah-marah seolah kita yang nggak bener kerjanya. Padahal dia aja yang nggak sabaran, terlalu cemas berlebih. Kalau nggak inget beliau lebih tua, udah aku marahin balik deh, sumpah."
"Oh." Aku tersenyum tipis, sedikit lega karena setidaknya kelalaikanku tidak menyebabkan masalah.
Mbak Lusi menatapku sebentar lalu menghela napas berat. "Berat banget ya, Ge, sampai kamu nggak fokus begini?"
Aku tersenyum samar lalu mengangguk untuk mengiyakan. Memang benar semua terasa seberat itu, tapi untuk sekarang bukan hanya kehilangan Kak Runa yang membuat semuanya berat. Melainkan karena pesan terakhirnya. Amanah yang ditinggalkan untukku terasa seberat itu. Aku tidak sampai hati untuk menolak, tapi tidak lah mudah bagiku untuk menerima semua ini.
"Geya! Istighfar!"
Lamunanku langsung buyar.
"Astagfirullah, iya, kenapa, Mbak?"
"Jangan ngelamun ah, nanti kesambet baru tahu rasa. Coba ikhlasin pelan-pelan, ya, dibantu doa biar kakak kamu dapet tempat terbaik di sisi-Nya."
Aku menghela napas. "Sebenarnya bukan hanya itu yang bikin semuanya berat, Mbak."
"Kamu ada masalah lain?"
Ragu-ragu aku mengangguk untuk mengiyakan. Saat aku hendak bercerita, tiba-tiba suara dering telfon berbunyi. Mbak Lusi yang lebih dekat dengan telfon, langsung mengangkat ganggang telfon dan menempelkannya pada telinga.
"Halo."
"...."
Mbak Lusi sedikit menjauhkan ganggang telfon tersebut dan berbisik ke arahku. "Kamar kelas 3 udah ada yang kosong kan?"
Aku kemudian langsung mengangguk dan mengiyakan. "Udah pulang tadi pagi, Mbak, udah dibersihin dan diberesin juga kok."
Mbak Lusi mengangguk paham lalu kembali berbicara dengan orang di seberang.
"Ada yang kosong, nih."
"..."
"Ada. Kelas dua juga ada, dua kamar malah." Mbak Lusi kemudian berdecak, "ini jadinya mau ambil kamar kelas berapa? Kelas 3, ada, 2 ada, kelas satu banyak. Apalagi VIP atau VVIP kosong semua ini," sambungnya sedikit jengkel.
Tanpa sadar aku tertawa saat mendengar gerutuannya.
"..."
"Ya elah, mau ambil kelas tiga aja banyak nanya."
"..."
"Ya udah, iya, iya."
"..."
"Yoi."
Mbak Lusi kembali meletakkan ganggang telfonnya ke tempat semula setelah mengakhiri panggilannya.
***
"Jadinya mau cerita atau enggak?" tawar Mbak Lusi saat kami sama-sama sudah menyelesaikan shift kami.
Untuk Mbak Lusi sedang menunggu jemputan suaminya, yang katanya mungkin akan sedikit terlambat karena ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditinggal begitu saja. Sedangkan aku, aku memang belum mau pulang karena sejak kematian Kak Runa, aku tinggal di rumah Mas Yaksa, bantu-bantu mengurus Alin dan Javas. Lagi pula aku tidak membawa motor karena tadi berangkat bareng Mas Yaksa.
"Emang suami Mbak Lusi masih lama?" tanyaku memastikan sekali lagi.
Mbak Lusi mengangguk dan mengiyakan. Sebelah tangannya kemudian menggandeng lenganku.
"Yuk, ceritanya sambil minum es dawet biar seger. Panas banget nih, butuh yang seger-seger. Tapi kamu yang traktir ya?"
Aku terkekeh samar lalu manggut-manggut. "Iya, asal jangan minta nambah ya? Soalnya masih akhir bulan."
"Ya elah, yang belum nikah mikir kebutuhan apaan deh?" ledek Mbak Lusi dengan nada bercanda.
Aku langsung mendengus sambil pura-pura menatapnya galak. "Yee, emang dipikir beli ini-itu yang bayar cuma yang udah nikah. Yang belum nikah juga bayar kali, mana kalau yang belum nikah tuh apa-apa bayar sendiri, beda sama yang udah nikah, enak apa-apa bisa dibayar berdua atau tinggal minta suami. Lah, sini mau minta siapa coba?"
Kali ini Mbak Lusi terbahak. "Wkwk, makanya buruan nikah. Nungguin dudanya siapa deh?"
Mendengar candaan Mbak Lusi seolah menamparku. Jujur, aku tersinggung sedikit. Meski aku tidak menunggu dudanya Mas Yaksa, tapi entah kenapa semua terkesan demikian.
"Eh, maaf, Ge, sumpah aku bercanda doang. Maaf kalau udah keterlaluan," sesal Mbak Lusi yang kubalas senyum tipis sambil berusaha meyakinkannya kalau aku baik-baik saja.
Agar Mbak Lusi tidak merasa bersalah, aku pun cepat-cepat mengajaknya menuju tukang es dawet langganan kami, yang jualannya memang dekat rumah sakit.
Setelah memesan es dawet, aku mendadak ragu-ragu harus menceritakan hal ini pada Mbak Lusi atau tidak. Aku bingung dan bimbang, tapi di satu sisi aku merasa butuh masukan darinya yang lebih berpengalaman soal hidup.
"Cerita aja, Ge. Nggak usah ragu-ragu," ucap Mbak Lusi saat melirikku dan menemukan wajah ragu-raguku, "daripada dipendem sendiri nanti jadi penyakit loh. Meski kalau periksa di sini ntar dapet diskon karyawan sih."
Aku menghela napas panjang lalu mengangguk cepat. Mbak Lusi benar.
"Aku dijodohin, Mbak."
Mbak Lusi manggut-manggut paham. "Ya, wajar, umur kamu udah masuk kategori 'warning' sih kalau di Indo."
"Sama kakak ipar-ku."
"Oh, turun ranjang." Mbak Lusi kembali manggut-manggut. Namun, beberapa detik kemudian ia tersadar, "kamu beneran mau nikah sama duda?" sambungnya dengan wajah shocknya.
Sambil meringis, aku kemudian mengangguk dan mengiyakan.
"Terus kamu mau?"
Kali ini aku diam. Tanpa bisa aku kontrol tiba-tiba kedua mataku terasa perih. Dengan cepat dan tanggap Mbak Lusi meletakkan gelasnya dan mengelus pundakku. Elusannya bukannya membuatku tenang justru malah membuatku semakin terisak.
"Kamu sebenernya nggak mau ya?" tebak Mbak Lusi.
"Demi Allah, Mbak, dia kakak ipar aku, masa iya aku harus nikah sama kakak iparku sendiri?"
"Ya namanya turun ranjang emang nikah sama ipar sendiri, Ge. Kamu kalau nggak mau kan bisa bilang sama orang tua mu, atau sama iparmu."
Menyadari kalau sedang di tempat umum, aku cepat-cepat menghapus sisa air mataku. "Enggak bisa, Mbak, soalnya ini pesan terakhir almarhumah. Aku jadinya kayak nggak punya pilihan lain. Selain ibu aku maksa, aku juga nggak mungkin mengabaikan pesan terakhir kakak aku."
Mbak Lusi tidak berkomentar apapun dan hanya memelukku setelahnya. Tak lama setelahnya ia menyadari sesuatu lagi, tapi entah apa itu. Ia merenggangkan pelukannya.
"Bentar deh, Ge. Kakakmu bukannya dinikahi sana Pak Yaksa?"
Aku mengangguk cepat. "Iya. Kenapa emang, Mbak?"
"Itu artinya yang bakalan nikah sama kamu Pak Yaksa? Pak Akash Danandyaksa? Petinggi kita?" tanya Mbak Lusi dengan wajah shocknya.
Sementara aku hanya mampu meringis canggung sambil mengangguk ragu-ragu. Jujur, aku sedikit tidak dapat berekspektasi akan mendapat reaksi demikian.
To be continue