selingkuhan suamiku merampok semua hartaku dan papaku, suamiku berubah saat bertemu wanita iblis bernama Syifa, aku tidak menyangka perubahan sikap yang ditunjukkan oleh suamiku karena pengaruh guna-guna wanita iblis bernama Syifa itu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika ananda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kemarahan orang tua Richard
Flash back saat Alice saat memergoki Richard dikamar hotel
Jantung Alice berdebar kencang, tangannya gemetar hebat. Matanya terbelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depan matanya, Richard, suaminya yang selama ini dicintainya, sedang bercumbu mesra dengan Syifa, karyawannya sendiri, di atas ranjang hotel.
Alice merasa tubuhnya seperti lumpuh, kakinya tak mampu melangkah. Pikirannya kosong, hanya tersisa bayangan Richard dan Syifa yang saling berpelukan, tawa mereka yang terdengar begitu mesra, dan sentuhan mereka yang begitu intim.
Sakit. Rasa sakit yang menusuk jantungnya, meremukkan hatinya, menghancurkan segenap harapannya. Bagaimana bisa? Bagaimana Richard, suami yang selalu dia cintai, bisa berselingkuh dengan wanita lain? Dan di tempat seperti ini, di sebuah kamar hotel, di atas ranjang yang seharusnya hanya untuk mereka berdua.
Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat pasi. Alice merasa dunia di sekitarnya berputar, seolah-olah semuanya menjadi kabur dan tak nyata. Dia ingin berteriak, ingin menghancurkan semua yang ada di depan matanya, ingin menghukum Richard atas pengkhianatan nya.
Namun, Alice menahan diri. Dia tahu dia harus bersikap tenang. Dia harus memiliki bukti. Bukti yang akan membuktikan kesalahan Richard dan memberikannya kekuatan untuk menghadapi situasi ini.
Dengan gemetar, Alice mengeluarkan ponselnya dari tas dan menyalakan kamera. Dia merekam adegan itu dengan tangan yang bergetar. Setiap detik yang tertangkap kamera merupakan bukti kesalahan Richard, bukti yang akan membantunya untuk mencari keadilan dan melepaskan dirinya dari pernikahan yang hancur ini.
Alice menutup kamera, menaruh ponselnya kembali ke tas. Dia berbalik dan meninggalkan kamar hotel itu dengan langkah yang gontai. Rasa sakit masih menyerang hatinya, tetapi setidaknya dia memiliki bukti, senjata yang akan membantunya untuk menghadapi masa depan yang tak pasti.
Alice tahu bahwa jalan yang akan dia tempuh tidak akan mudah. Dia akan berhadapan dengan Richard, dengan Syifa, dan dengan rasa sakit yang tak terkira. Namun, dia akan berjuang. Dia akan mencari kekuatan di dalam diri dan mencari keadilan atas pengkhianatan yang telah dia alami.
Richard terkesiap, tubuhnya menegang seperti tersambar petir. Mata yang tadinya penuh gairah menatap Syifa, kini membulat, tertuju pada Alice yang berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca.
Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas Richard yang terdengar tersengal-sengal. Syifa, yang tadinya berbaring di sampingnya, terkejut dan langsung menutupi tubuhnya dengan selimut.
Richard berusaha bangkit dari ranjang, tapi kakinya terasa lemas. "Alice... apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya terdengar gemetar, berusaha mencari alasan yang masuk akal.
"Kau pikir aku bodoh, Richard?" Alice mengucapkan kata-kata itu dengan suara yang gemetar namun tegas. "Aku sudah mencurigai kau selama ini. Dan akhirnya aku menemukan buktinya." Tatapan Alice menusuk Richard dengan kecewa dan sakit hati.
Richard menelan ludah, tak berani bertemu dengan tatapan Alice. "Alice, aku... aku bisa menjelaskan."
Namun, Alice tak mau mendengar penjelasan Richard. Dia sudah melihat semuanya dengan mata kepala sendiri. "Tidak perlu menjelaskan, Richard. Aku sudah melihat semuanya. Dan aku tak percaya lagi pada kata-katamu."
Richard mencoba mendekati Alice, tapi Alice langsung menghindar. "Jangan mendekat!" teriaknya. "Aku muak padamu. Aku muak dengan pengkhianatan mu."
Richard terdiam, terpuruk dalam kesalahan yang telah dilakukannya. Dia tahu bahwa dia telah melukai Alice dengan sangat dalam. Namun, dia tak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Alice meninggalkan kamar hotel itu dengan langkah gontai. Dia tak mau lagi melihat wajah Richard. Dia ingin menghilang, ingin lupakan semua yang telah terjadi. Namun, dia tahu bahwa rasa sakit ini akan terus menyerang hatinya dalam waktu yang lama.
Syifa terlonjak kaget, tubuhnya menegang saat pintu kamar hotel terbuka dan Alice muncul di ambang pintu. Selimut yang semula digunakannya untuk menutupi tubuhnya, kini terjatuh ke lantai karena gerakannya yang terburu-buru. Wajahnya pucat pasi, mata membulat sempurna, menunjukkan kejutan dan rasa takut yang luar biasa.
Mulutnya terbuka sedikit, ingin mengucapkan sesuatu, tapi tak ada kata yang mampu keluar. Dia terpaku di tempat, memandang Alice dengan tatapan yang penuh rasa bersalah dan ketakutan.
Bayangan Richard yang setengah telanjang di sampingnya seolah-olah menghilang dari pandangannya, digantikan oleh kemarahan dan kesedihan yang terpancar dari wajah Alice. Syifa merasakan suasana ruangan semakin membeku, tekanan yang sangat kuat menyerang dirinya.
Dia ingin menjelaskan, ingin membela diri, tapi kata-kata tak mau keluar. Rasa bersalah mencengkeram hatinya dengan sangat kuat. Dia sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan yang besar, melukai Alice dengan sangat dalam.
Syifa hanya bisa memandang Alice dengan tatapan yang tak berdaya. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi konsekuensi dari perbuatannya. Dia hanya bisa berharap agar Alice bisa memaafkannya, meskipun dia sadar bahwa hal itu mustahil.
Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas Syifa yang terdengar tersengal-sengal. Dia merasakan rasa takut yang sangat kuat, takut akan kemarahan Alice, takut akan konsekuensi dari perbuatannya, dan takut akan masa depannya. Semua harapan dan mimpi Syifa berantakan dalam sekejap mata, hancur berkeping-keping oleh kehadiran Alice di kamar hotel itu.
Diam-diam, Syifa mengambil ponselnya dan merekam dirinya dan Richard yang sedang bercumbu di atas ranjang hotel. Bukan karena dia ingin menyimpan kenangan itu, atau karena dia merasa bangga dengan perselingkuhan tersebut. Justru sebaliknya. Ada rasa takut yang besar dalam dirinya.
Syifa melakukannya karena dia takut. Takut akan konsekuensi perbuatannya. Takut akan kemarahan Alice. Takut akan dampak perselingkuhan ini terhadap hidupnya dan karirnya. Rekaman itu bukan untuk dibanggakan, tapi sebagai bentuk perlindungan diri. Sebuah asuransi jika segalanya menjadi tidak terkendali.
Dia tak pernah membayangkan akan sampai sejauh ini. Dia tahu apa yang dilakukannya salah, tapi godaan Richard yang terlalu kuat, janji-janji manis yang dibisikkan ke telinganya, membutakan rasanya. Sekarang, penyesalan menyerang hatinya dengan sangat kuat.
Syifa tahu bahwa rekaman ini bukan solusi yang ideal. Justru bisa menjadi bumerang bagi dirinya. Tapi dalam keadaan panik dan ketakutan, langkah ini terasa sebagai satu-satunya cara yang bisa dilakukannya untuk menjaga dirinya.
Dia berharap, dengan adanya rekaman ini, dia bisa menegosiasikan sesuatu. Atau setidaknya, mempersiapkan diri untuk menghadapi konsekuensi yang akan datang. Rekaman itu adalah senjata rahasia Syifa, sebuah bukti yang bisa digunakan untuk melindungi dirinya, Dia hanya bisa berharap semoga segalanya akan berakhir baik-baik saja. Harapan yang tampaknya sangat tipis di tengah kesalahan yang telah dilakukannya.
Richard mencoba meraih tangan Alice, suaranya bergetar, "Alice, dengarkan aku! Ada penjelasan..."
Alice menepis tangannya dengan kasar. Matanya berkaca-kaca, tetapi suaranya tegas, dingin. "Tidak ada penjelasan yang bisa membenarkan perbuatanmu, Richard. Aku sudah melihat semuanya."
Richard semakin panik, "Tapi... itu bukan seperti yang kau lihat..." Dia mencoba menjelaskan, mencari kata-kata yang tepat untuk membenarkan perbuatannya, tapi lidahnya seperti terikat.
Alice menghindar, menjauhkan dirinya dari Richard. "Aku tidak mau mendengarnya." Suaranya keras, menunjukkan kecewa dan kemarahan yang mendalam. "Kau telah menghancurkan semua yang kita bangun bersama. Kau telah menghancurkan kepercayaanku padamu."
Richard terus berusaha menjelaskan, tapi Alice menutup telinganya. Dia menolak untuk mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Richard. Baginya, semua penjelasan itu hanya alasan yang lemah untuk membenarkan pengkhianatan yang telah dilakukan.
"Aku muak dengan alasanmu!" Alice berteriak, suaranya bergetar karena kemarahan dan kesedihan. "Aku tidak ingin mendengar lagi kata-katamu. Aku sudah selesai."
Richard terdiam, memandang Alice dengan tatapan yang penuh penyesalan. Dia tahu bahwa dia telah melakukan kesalahan yang besar, dan bahwa dia telah kehilangan Alice untuk selamanya. Upaya pembelaan dirinya sia-sia. Alice tidak mau mendengarkannya, hati Alice sudah tertutup rapat-rapat.
Flashback of
Richard menunjukan mobilnya ke rumah orang tuanya.
Richard melangkah masuk ke rumah orang tuanya, wajahnya muram. Ayahnya, yang biasanya menyambutnya dengan senyum hangat, kini menatapnya dengan mata tajam dan penuh amarah. Ibunya, yang biasanya memeluknya dengan penuh kasih sayang, kini hanya bisa menggelengkan kepala dengan tatapan kecewa. Video perselingkuhan Richard telah tersebar luas, dan orang tuanya, yang selama ini hidup dalam kebahagiaan dan keharmonisan, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Mereka tak dapat menyembunyikan kekecewaan dan amarah mereka. Richard, yang selama ini berusaha menyembunyikan aibnya, kini terjebak dalam kenyataan pahit yang tak dapat dihindari.
Andre menggebrak meja, matanya melotot tajam ke arah Richard. "Kau tahu apa yang kau lakukan, Richard? Kau menghancurkan segalanya! Semua yang sudah ku bangun selama ini, semua reputasiku sebagai pengusaha hebat, kau hancurkan dengan video mesum itu!"
Richard menunduk, tak berani menatap mata ayahnya. "Maaf, Pak. Aku khilaf. Aku... aku tak bermaksud..."
"Tak bermaksud? Kau pikir ini hanya permainan? Kau pikir kau bisa berselingkuh seenaknya lalu menghilang begitu saja? Kau tahu berapa banyak orang yang mengidolakan aku? Berapa banyak investor yang percaya padaku? Kau tahu apa yang akan mereka pikirkan sekarang?"
"Aku... aku minta maaf, Pa. Aku akan... aku akan..."
Andre memotong ucapan Richard. "Tak ada yang bisa kau perbaiki sekarang, Richard! Kau sudah menghancurkan segalanya! Kau sudah mencoreng nama baik keluarga kita! Kau sudah membuat ibu dan adikmu malu!"
Richard terdiam, air mata mulai menetes dari matanya. "Aku... aku benar-benar menyesal, Pa. Aku... aku akan berusaha memperbaiki semuanya."
Andre menghela napas panjang, raut wajahnya masih penuh amarah. "Semoga saja kau bisa, Richard. Semoga saja kau bisa memperbaiki semua kesalahanmu."
"Syifa... dia... dia yang merekam video itu, Pa. Dia mengancam akan menyebarkannya jika aku..."
"Sudahlah, Richard! Aku tak ingin mendengar alasanmu! Kau bertanggung jawab atas perbuatanmu! Sekarang, pergilah dari sini! Aku tak ingin melihat wajahmu lagi!"
Richard tertunduk, perlahan meninggalkan ruangan. Dia tahu bahwa dia telah membuat kesalahan besar, dan dia harus menanggung akibatnya.
Andre menunjuk pintu dengan jari yang gemetar. "Pergilah! Keluar dari rumahku! Kau sudah mencoreng nama baik keluarga ini! Aku tak mau melihat wajahmu lagi!" Amarahnya membuncah, suaranya bergetar karena emosi yang meluap.
Richard tertunduk, tubuhnya gemetar. Ia ingin membela diri, namun kata-kata seakan tercekat di tenggorokannya.
Namun, tiba-tiba, tangan ibunya memeluk Richard dari belakang. Wanita itu, dengan wajah yang pucat dan mata yang berkaca-kaca, menatap Andre dengan tatapan memohon. "Andre... jangan, Sayang. Dia anak kita. Dia masih butuh kita."
Andre membentak, "Dia telah mengecewakan kita! Dia tak pantas tinggal di rumah ini!"
Ibunya Richard menggenggam tangan anaknya erat-erat, suaranya terdengar lemah namun penuh keyakinan. "Dia mungkin salah, Andre, tapi dia tetap anak kita. Dia butuh dukungan kita sekarang, bukan pengusiran." Ia menatap Richard, matanya memancarkan kasih sayang yang tak tergoyahkan. "Tetaplah di sini, Nak. Ibu ada di sini untukmu."
Andre menatap istrinya dan anaknya, perlahan-lahan amarahnya mereda, digantikan oleh kesedihan dan kebingungan. Ia mengusap wajahnya dengan tangan gemetar. Pertempuran batin terjadi di dalam dirinya. Pengusiran itu terhenti sejenak, digantung di antara amarah yang masih membara dan kasih sayang seorang ibu.