Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
pertemuan ke 3
Waktu menunjukkan pukul 10.00, suasana istirahat di SMA Pelita Bangsa dipenuhi siswa-siswi yang bersantai dan berbincang-bincang. Di bawah pohon cemara di halaman sekolah, Bagas duduk dengan santai, menikmati angin sepoi-sepoi yang membawa kesejukan.
“Nyantai banget lo,” sapa seseorang dari belakang, mengejutkan Bagas yang sedang melamun.
Bagas menoleh cepat dan mendapati April berdiri di sana dengan wajah penuh semangat. “Eh, lo, Pril. Tumben turun ke lantai bawah. Biasanya lo kalau jam istirahat nongkrong di lantai dua,” ujar Bagas dengan heran.
April mengangkat alisnya sambil tersenyum tipis. “Lo lagi sibuk, gak?” tanyanya, nada bicaranya serius.
“Enggak, sih. Cuma lagi ngisi energi buat pelajaran selanjutnya. Sebentar lagi gue pingsan kalau harus dengerin materi ekonomi,” gurau Bagas sambil tertawa kecil.
April langsung menarik tangan Bagas tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. “Udah, izin bentar sama guru. Ikut gue sekarang,” ujarnya tegas.
Bagas terkejut dan bingung, tetapi mengikuti April yang sudah setengah berlari menariknya ke arah parkiran sekolah. Sepanjang perjalanan, Bagas berusaha mengajukan pertanyaan, tetapi April tidak menanggapi, hanya fokus pada langkahnya.
Sesampainya di parkiran, Bagas menatap April dengan bingung. “Kita mau ke mana, Pril?”
April tidak menjawab, hanya menunjuk ke arah mobil Pajero Sport yang terparkir di dekat gerbang. “Masuk dulu. Ntar gue jelasin di dalam mobil.”
Tanpa banyak bicara lagi, Bagas masuk ke dalam mobil, duduk di kursi penumpang. April mengikuti, memasang sabuk pengaman, lalu menyalakan mesin mobil. Suara mesin menderu, dan dalam hitungan detik, mereka sudah meluncur keluar dari area sekolah.
“Pril, kita mau ke mana sebenarnya?” tanya Bagas sambil memandangi April yang serius mengemudi.
April mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Bagas. “Nih, baca.”
Bagas menerima amplop itu dengan alis terangkat, lalu membaca tulisan di bagian luar amplop tersebut. Matanya membelalak saat membaca isinya. “Serius?” Bagas mengangkat kepala, menatap April dengan wajah kaget.
“Iya. Besok kita ada latih tanding melawan SMA Setia Bangsa,” jawab April sambil fokus pada jalan. “Pelatih pengen lihat sejauh mana perkembangan tim kita, apalagi sebagian besar pemain kelas tiga udah mulai vakum karena fokus persiapan ujian.”
Bagas mengangguk perlahan, mencerna informasi tersebut. “Wah, tantangan nih. SMA Setia Bangsa terkenal kuat,” ujarnya dengan nada antusias namun khawatir.
“Makanya gue buru-buru nyari lo. Gua butuh diskusi strategi,” kata April sambil tersenyum penuh semangat. “Tenang aja, gue ada SIM dan ini mobil aman, gak bakal ketangkap kok.”
Bagas tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Hah, terus ini mobil siapa, Pril? Mobil lo?”
April tertawa ringan. “Ini mobil cewek gue. Mobil gue sendiri lagi dipakai Cila.”
Bagas melongo. “Gila, lo sekaya itu masih harus pinjem mobil juga?”
April mengedikkan bahu santai. “Gue emang gak suka ribet bawa kendaraan sendiri. Lagian, gue tipe orang pelupa. Bisa-bisa gue malah lupa parkir di mana.”
Bagas tersenyum, mengakui keunikan sahabatnya itu. Atmosfer di antara mereka mulai terasa lebih ringan, meski tantangan besar sudah menanti di depan mata.
Perjalanan 40 menit yang melelahkan akhirnya membawa Bagas dan April ke gerbang SMA Setia Bangsa, sekolah yang terkenal dengan bangunan megah dan fasilitas modernnya. April memarkir mobilnya di tempat parkir tamu, lalu mereka berdua keluar dan berjalan menuju pintu masuk sekolah.
“Capek banget, macetnya Jakarta memang gak ada lawan,” keluh April sambil merenggangkan bahunya. Bagas mengangguk kecil sambil melihat sekeliling, kagum pada kemewahan sekolah yang mereka kunjungi.
Mereka disambut oleh satpam yang dengan ramah menunjukkan arah ruang OSIS. “Silakan langsung ke koridor kiri, ruang OSIS di ujung,” ujar satpam itu.
April melangkah cepat, diikuti oleh Bagas yang masih menyesuaikan langkahnya. Sambil berjalan, April mencoba bertanya kepada beberapa siswa untuk memastikan arah. Namun, belum sempat mereka sampai, suara yang familiar memanggil nama Bagas dari belakang.
“Gas!” panggilan itu membuat Bagas menoleh. Dia terkejut melihat sosok Tio, temannya sewaktu SMP, berdiri dengan senyum lebar.
“Tio? Wah, lo di sini?” Bagas terkejut dan senang sekaligus.
“Iya, gua lanjut sekolah di sini. Lo gimana kabarnya, Gas? Udah lama banget kita gak ketemu,” ujar Tio, matanya berbinar mengingat kenangan lama mereka.
“Iya, gua di Pelita Bangsa sekarang,” jawab Bagas sambil tersenyum.
April melirik sekilas dan berkata, “Gas, gua ke ruang OSIS dulu ya. Lo nyusul aja.”
“Ok, Pril,” jawab Bagas, melihat April berjalan ke arah ruangan di ujung koridor.
Tio mengamati April yang berlalu sebelum kembali menatap Bagas. “Itu siapa, Gas?”
“Kapten tim basket di sekolah gue,” jawab Bagas, lalu menambahkan, “Dia juga teman satu tim.”
“Wah, lo serius banget ya di basket sekarang,” ujar Tio, mengingat hobi lama Bagas yang memang selalu terkait bola basket.
Bagas mengangguk. “Iya, sibuknya kebanyakan di lapangan basket sih.”
“Kayaknya teman-teman kita yang dulu juga udah pada sibuk dengan jalan masing-masing,” Tio menghela napas. Ada nada rindu di suaranya, seolah berharap bisa mengulang masa-masa kebersamaan mereka dulu.
“Ya, begitulah. Hidup terus berjalan, Yo,” Bagas menepuk pundak temannya.
Tio tersenyum samar. “Ya udah, Gas, gua balik ke kelas. Masih ada pelajaran, nih.”
“Ok, Yo. Ntar kita ngobrol lagi kalau sempat.”
Mereka pun berpisah, Tio melangkah ke arah kelasnya sementara Bagas menatap ke arah ruang OSIS, mencari sosok April yang mungkin sudah selesai dengan urusannya. Sekilas, rasa nostalgia menyelimuti Bagas sebelum ia kembali fokus pada tujuan mereka di SMA Setia Bangsa.
Setelah percakapan singkat dengan Tio, Bagas berjalan perlahan di koridor SMA Setia Bangsa, menelusuri lorong-lorong sekolah yang asing baginya. Matanya mencari-cari tanda ruang OSIS, tetapi ia merasa bingung karena April, yang sebelumnya berjalan di depannya, kini menghilang entah ke mana.
"Gimana sih, kok nggak ketemu?" gumam Bagas, sambil terus melihat layar ponselnya dan mencoba menghubungi April. Namun, panggilannya tidak tersambung, dan pesan yang ia kirim hanya centang satu. Keningnya berkerut.
Di saat ia asyik menatap layar ponselnya, terdengar teriakan dari belakang, “Awas!” Sebelum Bagas sempat menoleh, punggungnya terasa dihantam sesuatu yang keras. Ia meringis menahan sakit dan berbalik, hanya untuk mendapati seorang siswi bertabrakan dengannya hingga ia terjatuh ke lantai. Siswi itu ikut terjatuh dan tanpa sengaja menindih tubuh Bagas.
Tatapan mereka bertemu untuk sesaat, seolah waktu berhenti. Kedua mata mereka saling mengunci.
“Lo?” seru Bagas serempak dengan siswi itu. Bagas mengenali wajah itu—Cila, siswi yang sering kali membuat harinya tak tenang.
“Lo nggak apa-apa, Cil?” tanya seorang siswi lain dengan baju putih yang dibiarkan terurai dan rok pendek. Topinya melingkar ke belakang kepala, memberikan kesan santai.
“Iya, Ca, santai aja,” jawab Cila, berusaha bangun sambil menyeka debu di rok seragamnya.
Bagas ikut bangkit dan membersihkan seragamnya yang terkena debu. Napasnya masih terengah.
“Lagi-lagi lo, kenapa tiap ketemu lo, gue selalu sial?” gerutu Bagas sambil menatap Cila kesal.
“Maksud lo apa?” tantang Cila, menunjuk wajah Bagas dengan alis terangkat. Perdebatan kecil di antara mereka pun tak terhindarkan, memancing perhatian siswa lain di koridor.
“Lo kenal dia, Cil?” tanya Caca, siswi yang tadi menolong Cila.
“Enggak, yuk pergi aja. Cowok aneh,” Cila menjawab lantang sambil mendorong Bagas pelan dengan bahunya sebelum pergi bersama Caca.
“Bakal gue balas ini,” desis Bagas sambil melihat punggung Cila yang pergi menjauh. Cila sempat melirik sekilas sebelum membuang muka, meninggalkan Bagas yang masih berusaha merapikan seragamnya.
Dari kejauhan, suara memanggilnya, “Sini, Gas!”
Bagas mencari sumber suara itu dan melihat April berdiri di ujung koridor, melambaikan tangan. Bagas berjalan menghampiri, sesekali meringis menahan sakit punggung akibat tabrakan tadi.
“Lo dari mana aja, Gas?” tanya April ketika Bagas sampai di hadapannya.
“Abis ketemu nenek lampir,” jawab Bagas dengan nada kesal.
April terkekeh mendengarnya. “Aneh-aneh aja lo. Kemarin bilang ketemu nenek gayung, semalam basah kena kakek Zeus, sekarang seragam kucel gara-gara Mak Lampir. Lucu ah! Ya udah, yuk pulang. Urusan udah kelar,” ujar April sambil menepuk pundaknya.
Bagas hanya menghela napas panjang, merasa lega urusan di SMA Setia Bangsa sudah selesai. Mereka berdua pun berjalan ke parkiran, masuk ke dalam mobil, dan meninggalkan sekolah itu, menuju perjalanan pulang yang penuh obrolan dan tawa ringan.