Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 17
"Kamu mau mengeluarkan aku dari sini? Gimana caranya? Asal kamu tahu, bukti-bukti yang ada semuanya mengarah ke aku"
Arya terdengar pesimis.
"Betul, bahkan...", ucap Zaki tertahan kemudian melihat ke sekeliling karena khawatir apa yang akan disampaikannya terdengar oleh petugas polisi yang ada di situ.
Dia kemudian menceritakan tentang rekaman CCTV yang didapatnya dari Rizal.
Arya menghela nafas berat.
"Kan? Terima kasih atas maksud baik kamu, tapi sepertinya itu akan sulit dan akan semakin sulit"
"Sulit, tapi bukan berarti gak mungkin kan? Apalagi kalau aku tahu bukan kamu pelakunya"
Arya dan Zaki saling pandang.
"Darimana kamu tahu?", Arya penasaran walau merasa tak yakin.
"Tentu saja aku tahu, karena aku punya bukti siapa pelaku sebenarnya", sahut Mita yang kini tersenyum yakin.
Arya dan Zaki kembali saling pandang. Zaki tersenyum lebar seraya menepuk-nepuk pundak Arya.
"Baiklah, aku pergi dulu. Kita tunggu saja prosesnya, dan kuharap tak lama. Oh ya, aku akan menginap di rumah ayah. Aku tak bisa ke rumah atau ke apartemen karena papaku pasti akan menginterogasi ku, karena sebenarnya aku pulang dari Singapura diam-diam. Kalau aku di rumah ayah, papaku pasti sungkan untuk menjemput"
"Kita bertemu lagi secepatnya"
Mita mengulurkan tangan bermaksud menyalami Arya. Tapi Arya seperti ragu-ragu menyambutnya, dan Mita akhirnya hanya tersenyum.
"Baiklah, mungkin lain kali saja saat kamu sudah yakin kalau kita adalah saudara kembar. Dan saat itu, aku tidak akan cuma minta salaman. Tapi aku akan peluk kamu dan juga menjitak kepalamu. Asal kamu tahu, aku lahir sepuluh menit lebih dulu", ucapnya sombong, kemudian mengucap salam seraya meninggalkan ruangan itu.
Kini tinggal Arya dan Zaki di meja itu.
"Gila! Bener-bener gak nyangka gue" Zaki menggelengkan kepalanya dengan wajah takjub.
"Gue apalagi. Lo bayangin aja, tiba-tiba hari ini ada cewek yang ngaku-ngaku saudara kembar gue"
"Bukan masalah kembarnya itu Ar.. Gue gak nyangka aja kalo lo jadi cewek ternyata cantiknya minta ampun"
Sontak Arya melotot.
"Eh, tu mulut mau diborgol? Jangan sampai gue beneran bersalah karena ngilangin nyawa orang ya?! Dan orang itu adalah lo!"
Zaki hanya terkekeh.
"Sori Ar. Tapi jujur nih, kalo misalnya lo cewek, bisa-bisa lo yang gue ajakin nikah, bukan mamanya Chika. Secara gue kenal lo lebih dulu terus kita sohiban kental. Ya gak?"
Arya merasa kepalanya mendidih mendengar ejekan Zaki.
"Gue mutilasi juga tu mulut. Kalo gue cewek, gue gak bakalan sudi deket sama lo. Udah jarang mandi, mulutnya gak ada rem lagi. Cuma nasibnya mama Chika aja yang jelek, dapat suami macam lo"
"Eh... jaga mulut lo bro. Lo mana tahu urusan dalam negeri rumah gue. Nyatanya mama Chika happy terus selama nikah sama gua. Nih gue kasih tahu resep bahagia. Happy wife, happy life. Ingat tuh.."
Arya hanya mencebik.
"Apa ortu gue belum boleh nengok gue Zack? Sampai kapan? Apa lo gak bisa minta tolong sama Bang Rizal?", tanya Arya dengan raut kesal.
"Belum bisa Ar, sabar dulu ya. Katanya sih perintah dari atasannya begitu. Moga-moga besok sudah bisa", sahut Zaki.
"Tapi si Armita kok boleh ya?"
"Ya jelas lah bro, asal lo keluarga elite dan ayah lo punya hubungan baik sama pejabat di sini, lo bebas lah.. mau ngapain"
"Terus masalah yang gue minta kemarin gimana? Ada perkembangan gak?"
"Gue sudah tahu salah satunya. Tapi yang dari kanal berita, susah banget mau ketemunya. Lagi sibuk, katanya", sahut Zaki lesu.
Sesaat kemudian seorang petugas mendatangi meja mereka dan mengatakan waktu kunjungan sudah habis. Ia lalu membawa Arya kembali ke sel tahanan. Di sana, Arya kembali memikirkan apa yang tadi disampaikan oleh Mita. Bahwa mereka berdua adalah saudara kembar. Benarkah?
************
Armita kembali menghampiri meja Rizal dengan raut kesal.
"Pak, sebenarnya kapan sih Pak Deni nya datang. Ini sudah hampir dua jam lho, saya nunggunya"
Rizal menghentikan gerakan tangannya di keyboard komputer kemudian mendelik kesal ke arah wanita di hadapannya seraya menarik nafas.
"Dengar ya Mbak, sekali lagi saya gak bisa memastikan kapan beliau datang. Dan saya juga gak bisa nyuruh beliau cepat-cepat ke sini. Saya ini bawahan Mbak.. paham?", Rizal mencoba sabar berbicara dengan wanita yang sedari tadi sudah membuatnya kesal dengan ucapan, apalagi sikapnya.
"Eh Pak, saya paham, saya ngerti anda cuma bawahan. Tapi anda kan bisa inisiatif apa kek gitu, sekedar telpon buat konfirmasi kapan beliau ke sini misalnya. Saya capek Pak dan waktu saya jadi terbuang percuma", keluh Mita yang kini juga kesal dengan Rizal yang dia anggap kurang berusaha.
Rizal yang sudah tak tahan dengan sikap wanita di hadapannya kemudian berdiri. Tubuh menjulangnya membuat Mita sedikit kaget dan sontak mundur selangkah.
"Mbak, ini kantor polisi, bukan rumah atau perusahaan milik Mbak yang bisa Mbak atur semaunya. Kalau Mbak capek, silahkan pulang. Kalau masih mau menunggu, silahkan duduk dengan tenang dan jangan ganggu pekerjaan saya", bentak Rizal dengan tatapan tajam yang membuat Mita jadi sedikit ciut.
Mita berdehem untuk menetralkan rasa takutnya.
"Baik, saya akan pergi sekarang. Hubungi saya di nomor ini kapan saja kalau Pak Deni ada di kantor"
Mita masih dengan wajah angkuhnya meletakkan kartu nama di meja Rizal.
Rizal tersenyum sinis, jengah dengan sikap Mita yang sepertinya terbiasa mendapatkan semua keinginannya.
"Saya bukan pegawai anda, jadi jangan coba-coba memberi perintah semaunya", sahut Rizal masih sengit.
Zaki yang melihat kakak iparnya beradu mulut dengan Mita segera menghampiri mereka.
"Ada apa bang?"
"Gak ada apa-apa, cuma orang tak tahu aturan yang sok ingin mengatur-atur orang lain", jawab Rizal lalu kembali duduk.
"Siapa bilang saya tidak tahu aturan, masalahnya anda yang tidak profesional",
Mita protes dengan suara tinggi, tak terima dengan ucapan Rizal yang menyudutkan dirinya.
Mendengar itu, Rizal sontak berdiri lagi. Dan kini matanya melotot ke arah Mita yang telah membuat kekesalannya sudah sampai di ubun-ubun.
"Anda ingin pergi sekarang, atau saya seret keluar hah?!", bentak Rizal.
Suara beratnya kini memenuhi ruangan dan mengagetkan orang lain di situ terutama Mita yang kini kembali takut. Sedapat mungkin dia menyembunyikannya dan balas melotot pada Rizal. Kemudian tanpa kata-kata meninggalkan meja Rizal lalu mengajak Alin keluar dari situ.
"Rizal, namanya Rizal bagian Bareskrim. Tolong kamu catat agar aku bisa mengurusnya nanti. Dia kira dia siapa, bisa membentak dan melotot padaku semaunya", ucap Mita dengan wajah kesal pada Alin saat sudah di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah ayah kandungnya.
Alin hanya mengangguk.
***********
Intan terlihat sedikit gelisah sambil berulang-ulang mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Setelah gagal berkali-kali akhirnya dia keluar ruangannya menuju ruang kerja Irwan.
"Wan, beneran kan ponselnya sudah dikasih?", Intan setengah berbisik dengan wajah khawatir pada Irwan.
"Iya, tadi malam sudah kuantar. Paling lambat tadi pagi sudah dikasihkan Pak Umar. Masih gak diangkat?"
"Iya nih. Kalau ponselnya sudah di Tiara, pasti dia langsung telpon aku. Ini kenapa malah gak ada panggilan sama sekali. Ditelpon juga gak ngangkat"
Intan kemudian duduk di depan Irwan.
Zaki yang ada di ruangan itu terlihat sedang serius dengan pekerjaannya. Nyatanya telinganya tengah fokus menguping pembicaraan Irwan dan Intan. Tapi tentu saja dia tak berani bertanya apapun.
Irwan kemudian mengambil ponselnya lalu menghubungi telpon rumah di vila. Beberapa saat berlalu, tapi tak ada yang mengangkat panggilannya. Kemudian dia beralih ke nomor ponsel Bik Tinah, namun tetap sama.
Kini wajah Irwan pun sudah terlihat khawatir. Karena biasanya kedua pekerja di vila tersebut selalu tanggap dengan panggilan telpon, apalagi kalau mereka tahu panggilan itu dari keluarga Irwan.
"Lebih baik aku ke vila sekarang", putus Irwan.
"Aku ikut"
"Jangan, aku khawatir kalau-kalau mereka mengawasi kamu lalu mengikuti kita"
Irwan kemudian buru-buru pergi keluar kantor menuju mobilnya.
Intan hanya menarik nafas panjang lalu menatap Zaki.
"Zaki, bagaimana keadaan Arya?", tanya Intan saat sudah berada di dekat Zaki.
"Ehm, ya.. begitu deh Mbak. Kalau dilihat dari luar sih sepertinya dia baik-baik saja. Tapi saya tahu persis, dia sebenarnya takut dan khawatir. Dia juga rindu dengan keluarganya Mbak"
Intan kembali menghela nafas. Tangan kanannya memijat kepalanya yang terasa pusing.
"Mbak, baik-baik aja?"
"Ah, iya. Aku gak papa kok. Maaf sudah mengganggu pekerjaan kamu"
Intan memaksakan tersenyum seraya menjauh.
Zaki memperhatikan sampai Intan keluar dari ruangan itu. Kini Zaki yang menghela nafas. Entahlah, sejak wanita itu datang di kantor ini, masalah demi masalah datang beriringan.
Sementara di rumah Arya, di ruang tengah sedang berkumpul anggota keluarga Atmadja. Semuanya hadir kecuali Arya yang kini tengah mendekam di tahanan. Bahkan Aris kakaknya dan Ariana adiknya juga hadir bersama keluarganya masing-masing. Niat jauh-jauh datang dari Sidney ingin menghadiri pernikahan Arya, kini malah dihadapkan pada situasi buruk yang tengah menimpanya.
Di situ juga tengah duduk dengan manis Mita yang terus menempel pada Aisyah. Tangannya bergelayut manja pada lengan Aisyah. Aisyah hanya tersenyum tipis melihat kelakuannya. Demikian juga dengan ayahnya dan juga Aris yang hanya menggelengkan kepala. Hanya Ariana yang memasang wajah tidak suka. Dia bingung, siapa perempuan itu sampai begitu manjanya kepada ibunya. Apakah calon isteri Arya? Tapi seharusnya kan tidak sedekat itu dengan ibunya.
"Kamu itu sudah besar, masa masih gini sih. Gak malu apa sama ponakanmu yang masih kecil", omel Aisyah pada Mita seraya memberi isyarat yang menunjuk pada putera Ariana yang duduk di pangkuan ibunya.
"Biarin aja Bun, ketemunya juga kan jarang banget. Mumpung dia ada di sini. Oh ya, jadi gimana tentang masalah Arya?", tanya Aris pada Mita.
"Tunggu, tunggu. Ni gak ada yang mau ngasih tahu aku apa? Siapa mbak itu yang sudah berani-beraninya nempelin bundaku?"
Ariana sengit.
Mereka hanya terkekeh mendengar omelan Ariana. Mita melepaskan tangannya dari Aisyah kemudian berpindah tempat duduk di samping Ariana. Ariana menggeser duduknya dan masih menatap tak suka pada Mita.
"Ana sayang... Aku Armita, kakakmu yang paling cantik"
Ariana terbelalak tak percaya. Kemudian menatap kakak serta orang tuanya untuk meminta konfirmasi. Mereka hanya mengangguk.
"Kamu memang gak pernah tahu tentang aku, tapi aku selalu tahu setiap hal penting tentangmu"
Ariana tambah bingung. Kakak? Perempuan?
"T..tapi.. kenapa kamu tidak tinggal di sini, bersama kami?", Ariana tak mengerti.
"Itu...", Mita kemudian menatap ayahnya.
"Ariana, Armita tidak tinggal dengan kita karena dia tinggal bersama ibunya di kota lain", akhirnya Wira angkat bicara.
"Ibunya? Maksudnya gimana yah? Apa.. ayah punya isteri selain bunda? Apa ayah menikah lagi dengan perempuan lain?", suara Ariana terdengar emosi.
Kembali dia menatap tak suka pada Mita yang kini hanya bisa tertunduk diam.
"Bukan Ariana, bukan ayahmu yang menikah lagi", kini Aisyah yang bicara.
Ariana menatap ibunya bingung.
"Tapi ayahnya yang menikah lagi"
Bagus...