Pandemi korona, tidak mengubah apapun dari hidup Niki Arsenio. Ia tetap tidak punya pacar. Boro-boro pacaran, punya teman saja tidak. Salahnya, karena lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain game alih-alih bergaul dengan anak-anak sebaya.
Sampai suatu ketika, Niki terperangkap oleh kecerobohannya sendiri. Akibat mengabaikan tugas sekolah, ia terpaksa menjadi pacar untuk tiga orang cewek sekaligus!
Bagaimana mungkin? Cewek? Mau jadi pacarnya? Udah gitu tiga orang pula!?
Dengan channel youtube yang harus diurus dan UAS yang sudah di depan mata, nggak ada waktu untuk Niki berpikir.
Demi membuktikan diri dan mempertahankan password WiFi, Niki pun harus berjibaku dengan plot klise seperti di anime-anime komedi romantis. Mampukah Niki melakukannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pisanksalto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gacha (Part 1)
Hampir pukul 22:00, sampai WiFi kembali stabil. Terpaksa jadwal upload video terlambat satu jam. Selama menunggu jaringan pulih, nggak ada hal produktif yang bisa kulakukan, selain bantu-bantu Mama memasak untuk makan malam.
Sembari menunggu ikan matang digoreng, aku iseng baca-baca-in chat lama di WA. Baru ngeh, ternyata grup yang kuikuti udah kebanyakan. Sampai chat di tiap grup menumpuk 3 ribu lebih. Bahkan ada yang sampai 10 ribu. Rata-rata adalah grup game, anime, workshop, dan seminar online. Sisanya grup-grup mata pelajaran, kelas, dan keluarga. Kurasa, aku nggak perlu menyinggung soal personal chat. Kenapa? Jawabannya simple. Karena chat-nya kosong. Nggak ada yang mau chatting-an denganku. Oh, ada satu. Ketua Kelas. Ingatkan aku untuk menyalin file yang dikirimnya ke GDrive nanti. Hemat memori.
Selepas makan malam dan sholat Isya, aku lanjut memeriksa WA. Dan dugaanku benar. Grup WA "Kelompok 7 Wawancara B.Indo" bukan hanya sekedar mitos di belantara chat room WA-ku yang amburadul. Sebuah grup kecil. Terkucilkan. Terkubur. Tenggelam di dasar lautan maya. Chat yang menumpuk, 500 lebih.
Ini dia! Kenapa selama ini aku tidak menyadarinya? Ke mana perginya notifikasi yang masuk? Oh, grup-nya ke mute. Membaca cepat dari awal sampai akhir, aku perlahan sadar kebodohanku.
Grup dibuat pada pertengahan bulan Juli. Awal semester. Isinya hanya diskusi biasa mengenari 5W1H dan pembagian jobdesk. Persis yang dikatakan Ferra, awalnya aku bertugas mengedit video. Namun, sampai keputusan itu dibuat aku nggak pernah muncul. Anggota kelompokku sudah menghubungiku beberapa kali. Nge-tag, nge-tag nggak jelas, berharap aku ter-summon ke grup saat itu juga. Anehnya nggak ada yang sampai menelepon atau chat pribadi. Sial. Semalesin itukah aku untuk dihubungi? Frustasi, mereka sepakat untuk nggak melibatkanku sama sekali. Namaku nggak perlu ditulis.
+62 831-xxxx-xxxx telah mengeluarkan Anda.
Pesan terakhirnya.
Sekelilingku hening. Entah karena dorongan aneh di perut atau karena memang sudah malam. Aku yakin karena yang kedua. Lebih masuk akal. Ferra, Sheina, dan Arini telah mengambil keputusan tanpa bertanya dulu padaku. Aku ingin menyalahkan mereka sebab tak berusaha lebih keras untuk menghubungiku, tapi di lain pihak, akulah yang lebih salah. Jahat. Egois. Harusnya aku sadar diri dan memberi perhatian lebih untuk keberhasilan tugas kelompok ini.
Duduk menghadap komputer, aku mengakses internet, videoku selesai diunggah 15 menit yang lalu. Seperti biasa, nol views. Namun, bukan itu masalahnya. Perasaan aneh menghinggapiku. Aku benci mengingat diriku sendiri yang lebih memilih main game daripada membantu kelompokku waktu itu. Pertengahan Juli. Tepatnya tanggal 16, Bentala Online (BentOl), rilis secara global. Bentala Online adalah game MMORPG yang diklaim paling mutakhir dalam dekade ini. Tentu saja aku menyambutnya dengan antusias. Game yang kemungkinan besar akan menjadi tren tentunya mampu meningkatkan traffic penonton. Sambil membuat video gameplay-ku sendiri, dan mengunggahnya ke youtube, aku terus bermain dan bermain. Mematikan notifikasi grup kelompok, karena dirasa mengganggu waktu merekam layar.
Padahal aku sudah janji pada Ayah dan yakin bisa membagi waktu. Namun, lihat yang kulakukan? Keasyikan main game sampai lupa tugas sekolah? Ayolah, Niki, kamu bisa lebih baik dari ini!
Aku merebahkan kepala di sandaran kursi. Aku kalah. Ayah benar. Harusnya aku fokus pada pendidikanku. Nggak perlu jadi youtuber gaming seperti impianku. Sia-sia. Nggak ada faedahnya. Aku menarik napas, mengembuskannya dengan kasar. Pandanganku perlahan mengarah pada lemari yang dipenuhi konsol gim beserta aksesoris dan kasetnya. Semua, Ayah yang belikan. Sontak, kukepalkan tangan. Ya. Aku memang kalah, tapi belum game over.
Entah apa artinya, tapi anggota kelompokku sudah melakukan yang terbaik. Mereka memberikan Totem of Undying di saat-saat terakhir. Menghindarkanku dari zenloss, kehilangan segalanya.
Selagi Bu Fatma menyangka aku mengerjakan tugas, semua aman. Pertarunganku dengan Ayah masih berlangsung. Semua berkat mereka. Walaupun aku nggak begitu paham apa motif di balik tindakan mereka yang pada akhirnya mencantumkan namaku, bahkan sampai mengubah fakta bahwa aku ikut mengerjakan videonya, tetap saja, itu merupakan pekerjaan yang memerlukan motivasi yang lebih kuat dari sekedar menjadi orang baik.
Aku nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku harus berterima kasih. Mereka bilang aku akan menerima hukuman. Oke. Jika itu mau mereka. Akan kuikuti alurnya. Kuraih smartphone yang baru selesai di-charge, dan begitu saja aku merasa baru keluar dari goa.
