Arvian Ken Sagara, seorang CEO tampan yang mengidap Gynophobia. Dimana, orang pengidapnya memiliki ketakutan tak rasional terhadap wanita. Setiap kali wanita yang mendekat padanya, Arvian menunjukkan sikap yang sangat berlebihan hingga membuat wanita yang mendekat padanya merasa sakit hati. Jika ada yang menyentuhnya, tubuh Arvian akan mengalami gatal-gatal. Bahkan, mual.
Namun, bagaimana jika dirinya terpaksa harus menikahi seorang janda yang di cerai oleh suaminya? demi mendapatkan hak asuh keponakannya dari keluarga adik iparnya. Apakah Gynophobia Arvian akan bereaksi saat di dekat wanita bernama Aluna Sagita janda tanpa anak itu?
"Sudah baik aku mau membantumu, dasar Mr. Gynophobia!" -Aluna Sagita.
"Onty tantik! Calangeee!!" ~Arega Geofrey Sagara.
"Jangan mendekati ku! Aku Alergi berada di dekat kalian para wanita!" ~Arvian ken Sagara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpaksa harus menikah
Aluna menghentikan motornya di parkiran, dirinya bergegas membuka helmnya dan menaruhnya di spion motornya. Sejenak, wanita itu melihat ponsel nya dan menatap bangunan yang ada di hadapannya. Dia seakan tengah menunggu balasan chat dari seseorang.
"Kok Papa belum bales juga yah, apa lagi rapat sama kliennya." Gumam Aluna.
Aluna turun dari motornya sembari mengambil paper bag yang yang dia bawa. Perlahan, dirinya berjalan menuju tangga. Namun, Matanya tak lepas dari ponselnya. Dia tak sadar, jika ada dua orang yang baru saja keluar dari dalam gedung dan mengarah padanya.
"Aluna?"
Aluna menghentikan langkahnya, dia tertegun sejenak saat telinganya mendengar suara yang tak asing baginya. Waktu terasa berhenti berputar, mendadak suasana menjadi sunyi. Perlahan, Aluna mengangkat wajahnya. Matanya bertatapan dengan mata seseorang yang pernah menyakitinya. Kini, mata itu tak lagi menatap tajam padanya, justru menatapnya dengan tatapan terkejut.
"Mas Efendi." Lirih Aluna hampir tak mengeluarkan suaranya.
Aluna mengalihkan pandangannya, tatapannya terhenti pada seorang wanita yang menggandeng lengan mantan suaminya. Tatapan Aluna turun menatap perut besar wanita itu, jantungnya terasa berhenti berdetak. Seketika, dia sadar jika wanita itu sedang hamil.
"Aku tidak menyangka kita bertemu lagi," ujar Efendi yang mana membuat Aluna tersenyum hambar.
"Ya, dan apa kabar mu Mas? Tak di sangka kamu sudah menikah dan istrimu sudah hamil besar." Ujar Aluna dengan menunjukkan ekspresi bahwa dia baik-baik saja.
"Kabarku sangat baik, bagaimana denganmu?" Balas Efendi.
Alina mengangguk, sedari tadi dia mengerjapkan matanya yang terasa mengembun. "Baik, sangat baik. Kehidupanku jauh lebih bahagia setelah bercerai denganmu." Terang Aluna.
Tatapan ALuna beralih ke arah wanita yang kini menjadi istri Efendi. Dia tersenyum pada wanita yang menurutnya cantik itu. Sudah enam bulan, Aluna tetap merasakan luka yang Efendi torehkan. Lalu, sekarang pria itu terlihat bahagia bersama istrinya. Bukankah itu tidak adil baginya?
"Kandungan mu terlihat besar, sudah berapa bulan usianya?" Tanya Aluna dengan ramah.
Wanita itu menunduk, dia mengelus perutnya dengan gerakan lembut. "Masuk sembilan bulan." Jawab Wanita itu dengan suara lirih.
Aluna tertegun sejenak, dia beralih menatap Efendi yang sengaja mengalihkan pandangannya agar Aluna tak menatapnya. Usia kandungan wanita itu jelas lebih tua dari usia perceraian mereka. Aluna jadi tahu satu hal, suaminya menceraikannya karena ada seorang wanita yang harus dia berikan status yang jelas.
"Oh waw! Sembilan bulan, bukankah kita bercerai baru enam bulan lamanya? Oh aku tahu, kamu menceraikanku karena ingin memperjelas status wanita ini dan anak yang dia kandung di status pengadilan kan? Kenapa tidak bilang sejak awal Mas jika kamu selingkuh? Kenapa kamu harus menyalahkan ku yang tidak becus menjaga bayi kita, agar kamu bisa bercerai denganku kan? Hebat kalian!" Aluna bertepuk tangan, dia merasa kagum dengan Efendi yang berhasil rahasianya.
Aluna beralih menatap wanita yang kini tertunduk, tampaknya wanita itu tahu permasalahan Efendi dan Aluna. Tak mungkin wanita itu tidak tahu jika saat itu Aluna dan Efendi masihlah suami istri yang sah.
"Kamu dengan sadar telah merebut suami orang Nona. Hukum alam berlaku, kalian pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal!" Desis Aluna.
"Jangan salahkan istriku Aluna! Dia lebih baik darimu! Lihat sekarang, apa kamu sudah menikah? Ck, aku yakin tak ada pria yang mau menikah dengan wanita seperti mu. Menjadi seorang janda bukankah tidak mudah?" Ujar Efendi dengan mudahnya yang mana membuat Aluna membulatkan matanya.
"Dengar yah bapak Efendi yang terhormat! Anda pikir gak ada yang mau sama saya hah?! Kabari jika anak kalian lahir, saya akan membawa suami saya yang lebih segalanya dari anda! Dasar pria ot4k ikan!" Setelah mengatakan itu, Aluna beranjak pergi masuk ke dalam gedung. Meninggalkan Efendi yang terkejut karena perkataan Aluna padanya.
"Apa benar mantan istrimu sudah menikah?" Tanya Istri Efendi dengan raut wajah bingungnya.
"Tidak mungkin, siapa yang mau menikah dengan janda sepertinya?" Balas Fendi dengan lirih.
Sedangkan Aluna, dia menghapus air matanya yang sempat mengalir dengan punggung tangannya. Wanita itu juga tak ingin menangis, tapi rasanya air matanya sulit di hentikan. Karena tak berhenti juga, dia menghentikan langkahnya dan mengipas wajahnya agar air matanya tak lagi turun.
"Ngapain kamu nangisin dia siiihh! Udah, berhenti oke. Datangkan segera suamiku yang sebenarnya, gak papa ganteng yang penting kaya." Gumam Aluna menghibur dirinya sendiri.
Aluna melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda, hingga dirinya kembali berhenti tepat di depan sebuah pintu coklat yang sedikit terbuka. Niatnya Aluna ingin langsung masuk saja, tetapi dirinya justru mendengar beberapa orang sedang berbincang. Perlahan, Aluna mengintip untuk melihat siapa saja yang ada di dalam.
"Oh, Papa lagi kedatangan tamu. Pantas saja dia tidak membalas chat ku." Gumam Aluna.
Terlihat, seorang pria setengah baya tampak menatap berkas di tangannya. Di hadapannya sudah terdapat dua orang pria yang sedang menunggu jawabannya. Perlahan, pria setengah baya itu mengangkat wajahnya dan menatap pria tampan berwajah tegas itu.
"Tuan Arvian, kasus anda ini sangat sulit. Rumor yang beredar membuat anda akan kesulitan menang di pengadilan. Uang memang segalanya, tapi jejak media juga sangat kuat. Keluarga mendiang adik ipar anda akan menang di Pengadilan jika kasus anda seperti ini." Ujar pria setengah baya itu pada pria yang tak lain adalah Arvian.
"Tuan Rafli, anda sudah menjadi pengacara saya selama hampir sepuluh tahun. Selama ini kasus yang anda tangani tidak pernah kalah. Namun kali ini, apa tidak ada solusi untuk masalah ini? Adik saya masih terbaring koma, sedangkan keluarga mendiang istrinya menuntut hak asuh putranya. Saya sebagai om nya dari pihak ayah bukankah sangat berhak mendapatkan hak asuh keponakan saya dari keluarga ibunya? Saya tidak mau keponakan saya menjadi rusak jika di rawat oleh keluarga mereka yang begitu licik!" Sentak Arvian dengan amarah yang terpendam.
"Tuan, sabar." Reza berusaha menahan emosi bosnya itu, dia khawatir suasana yang mencekam ini akan semakin memanas.
Rafli Aditya, dia merupakan pengacara yang paling baik di kota itu. Bahkan, Arvian menjadikan Rafli sebagai pengacara pribadinya di segala kasus yang ada. Termasuk saat ini, Arvian meminta Rafli untuk memenangkan hak asuh keponakannya di pengadilan. Namun, rumor tentang Arvian yang beredar mampu membuat Rafli merasa kesulitan.
"Saya tidak mau menggunakan cara kotor. Jika anda ingin jalan keluarnya, hanya ada satu jalan yang membuat keluarga mendiang ipar anda tak bisa berkutik." Ujar Rafli yang mana membuat Arvian menegakkan tubuhnya.
"Apa? Beritahukan padaku, aku akan melakukan apapun demi keponakanku." Seru Arvian dengan semangat.
"Anda harus menikah Tuan."
"Apa?! Itu tidak mungkin!" Sentak Arvian dengan kesal.
Rafli menghela nafas pelan, dia membenarkan letak duduknya dan menatap Arvian yang menatap tajam padanya. Dia tahu apa yang terjadi pada Arvian. Apa yang Arvian alami memang tersembunyi dari media. Rafli tidak tahu, siapa yang pertama kali menyebar rumor jika Arvian tak menyukai wanita dan justru menyukai pria.
"Saya tahu tentang Gynophobia yang anda derita, tetapi orang lain hanya akan menerima rumor jelek tentang anda. Apabila anda menikah, rumor itu akan terbantahkan dengan kehadiran istri anda. Masalah anda terpecahkan bukan?"
Arvian terdiam, menurutnya menikah adalah sesuatu yang menakutkan. Dia akan selalu dekat dengan seorang wanita. Padahal, apa yang dia alami mengharuskannya menjauhi wanita. Bagaimana bisa Arvian menikah jika dirinya mengidap Gynophobia?
Karena tak menemukan solusi, akhirnya Arvian dan Reza memutuskan untuk kembali saja. Kepala Arvian rasanya ingin pecah, masalahnya tak kunjung selesai. Sesaat, setelah mereka keluar dari ruangan Rafli. Reza berpapasan dengan Aluna yang sejak tadi menguping. Ia seakan tak asing dengan wajah Aluna yang menurutnya sangat familiar.
"Aluna yah?" Tanya Reza.
"Eh? Reza!" Aluna tersadar, dia menatap tak percaya ke arah Reza yang tersenyum padanya.
"Kamu ngapain disini? Mega mana?" Tanya Reza dengan akrab. Sementara Arvian, dia menatap bingung ke arah wanita cantik yang mengenal asistennya
"Mega di rumah, aku kesini ingin mengantar makan siang untuk Papa. Kalau gitu, aku masuk dulu." Reza mengangguk, dia melambaikan tangannya ramah pada Aluna yang beranjak memasuki ruangan Rafli.
Karena penasaran, Arvian menepuk bahu asistennya untuk bertanya tentang Aluna. "Dia temanmu?" Tanya Arvian.
Reza mengangguk semangat, dia dan Arvian kembali melanjutkan langkah mereka sembari menjawab pertamanya Arvian. "Ya, dia temanku. Cantik, primadona kampus. Tapi sayang, sekarang jadi janda karena dapat suami yang salah."
Langkah Arvian terhenti, dia terpikirkan sesuatu. Melihat bosnya yang berhenti, Reza pun turut berhenti. Dia pastinya heran dengan raut wajah bosnya yang seakan tengah memikirkan sesuatu. Sejenak, Arvian menoleh menatap ke arah Reza sembari memegangi dagunya.
"Kamu bilang dia seorang janda?" Tanya Arvian.
"Iya Tuan." Jawab Reza dengan tatapan polosnya.
Mendengar itu, Arvian berbalik dan kembali menuju ruangan Rafli. Hal itu, tentu saja membuat Reza langsung mengejar Arvian. Dia tak mengerti dengan apa yang bosnya pikirkan, dia hanya sekedar bawahan dan mengikuti kemana bosnya itu pergi.
Sementara di dalam ruangan Rafli, tampak pria itu tengah membuka kotak makan siangnya. Dia tersenyum melihat makanan yang putri angkatnya bawakan. Tatapannya beralih menatap ke arah Aluna yang duduk di hadapannya.
"Tumben sekali kamu memasak dan membawakannya ke kantor Papa. Kemana Mega?" Tanya Rafli dan menyuapkan sesendok nasi dan lauk ke dalam mulutnya.
"Mama Maya cantik yang masak, aku dan Mega papa tahu sendiri kami tidak suka memasak." Ujar Aluna dengan terkekeh pelan. Rafli menggeleng kan kepalanya, masakan istrinya bernama Maya itu selalu menjadi juara di lidahnya.
Brak!
"Eh Tuan!" Aluna dan Rafli sontak terkejut mendengar teriakan dan juga suara pintu yang terpukul kencang. Keduanya segera berdiri dan menatap ke arah Arvian yang berjalan mendekati mereka dengan tatapan datarnya. Sementara Reza, dia sudah panik saat Arvian melebarkan pintu yang sudah terbuka dengan kekuatan penuh. Hingga menabrak lemari yang ada di belakangnya.
"Tuan Arvian, apa ada barang anda yang tertinggal?" Tanya Rafli dengan tatapan herannya.
"Apa dia putrimu?" Tanya Arvian sembari melirik ke arah Aluna.
Rafli mengangguk kaku, "Ya, tapi dia putri angkat saya. Ada apa? Apa putri saya membuat masalah?" Tanya Rafli dengan panik.
Aluna yang di tuduh seperti itu segera menggeleng sembari melambaikan tangannya. Kenal dengan Arvian saja tidak, kenapa dirinya yang di salahkan. Ya, dia memang salah. Menguping pembicaraan mereka. Tapi, tak sepenuhnya dia mendengarnya.
"Tadi anda bilang, saya harus menikah agar mudah memenangkan kasus ini bukan?" Tanya Arvian dan di balas anggukan oleh Rafli.
Tatapan Arvian beralih pada Aluna. Melihat tatapan pria itu, jelas saja Aluna merasa merinding. Pria itu sangat tinggi, membuat Aluna harus mendongak untuk menatap wajah pria tersebut.
"Ke-kenapa yah?" Tanya Aluna dengan gugup.
"Menikahlah denganku."
"APA?!" Pekik ketiga orang itu dengan mata membulat sempurna.
"Aku butuh buku pernikahan untuk menguatkan hak asuh keponakanku di pengadilan. Berapapun uang yang kamu minta, aku akan memberikannya."
Aluna meneguk kasar ludahnya, dia melirik ke arah Rafli yang melongo tak percaya. Rafli pun menutup mulutnya yang sempat terbuka, dia beralih menatap Aluna yang masih melirik ke arahnya. Perlahan, Aluna mendekati Rafli. Dia berbisik para pria paruh baya itu dengan lirih.
"Pa, gajinya apa sangat besar?" Bisik Aluna.
"Ya, dia punya banyak perusahaan." Balas Rafli.
"Tolak saja, jangan sampai kamu mengulang kesalahan yang sama." Bisik Rafli.
"Baiklah." Gumam Aluna dan kembali menatap Arvian yang sedang menunggu jawaban darinya.
"Tuan, saya ... Mau menikah dengan anda!"
"EH?!"
.
.
.
"Saya terima Nikah dan kawinnya Aluna Sagita dengan mas kawin uang seratus juta rupiah di bayar tu-nai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?!"
"Sah."
Aluna dan Arvian benar-benar menikah, keduanya hanya menikah di KUA tanpa mengadakan pesta. Arvian hanya butuh buku pernikahan untuk membantah apa yang nantinya akan keluarga mendiang adik iparnya lakukan sebagai senjata melawannya. Sementara Aluna, dia menerima Arvian untuk membuktikan pada mantan suaminya jika dia bisa mendapatkan pria yang lebih segalanya dari mantan suaminya itu. Kerja sama yang baik bukan?
"Kalian sudah sah menjadi pasangan suami istri dan ini buku nikah kalian. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan." Ujar seorang pria sembari menyerahkan dua buku berbeda warna di hadapan pasangan yang baru saja menikah itu.
Perlahan, Aluna mengambil buku nikah miliknya. Dengan tangan bergetar, dia membuka buku tersebut dan melihat fotonya. Tak menyangka, jika dia akan kembali mendapatkan buku nikah setelah enam bulan menjanda. Tatapan Aluna beralih pada Mega, sahabat nya itu duduk di apit oleh kedua orang tuanya. Wajah ketiga orang itu sama-sama menatap Aluna dengan tatapan tak percaya.
"Mega, aku sudah gak janda lagi!" Seru Aluna dan segera beranjak memeluk Mega dengan erat.
Arvian mengerjapkan matanya, dia menoleh menatap Reza yang sedang memijat keningnya. Bosnya terlalu cepat mengambil keputusan untuk hal yang sakral. Entahlah, setelah ini apa ada masalah baru lagi? Tatapan Arvian beralih menatap Aluna yang sudah melepas pelukannya bersama Mega.
"Aluna." Panggilan Arvian membuat Aluna menoleh.
"Pulanglah bersamaku."
"Ha?"