Gubee, Pangeran Lebah yang ingin merubah takdirnya. Namun semua tidaklah mudah, kepolosannya tentang alam membuatnya sering terjebak, dan sampai akhirnya menghancurkan koloninya sendiri dalam pertualangan ini.
Sang pangeran kembali bangkit, mencoba membangun kembali koloninya, dengan menculik telur calon Ratu lebah koloni lain. Namun, Ratu itu terlahir cacat. Apa yang terjadi pada Gubee dan Ratu selanjutnya?
Terus ikuti ceritanya hingga Gubee terlahir kembali di dunia peri, dan peperangan besar yang akan terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terungkapnya Sebuah Fakta
“Apa maksudmu Pak tua?” Gubee belum mengerti dengan apa yang dikatakan Laba-laba tua.
“Kaulah yang membunuh Ratumu sendiri.” Laba-laba tua menghela napas panjang.
“Sepertinya banyak yang tidak kau ketahui tentang alam ini Gubee. Ketidaktahuanmu itulah yang membuat Ratumu mati hari ini.” Laba-laba tua memandangi alam di sekitarnya yang mulai berangsur gelap.
“Aku pikir, kau telah belajar banyak di kolonimu sebelum kau pergi mencari nektar bunga Edelweis. Aku tidak menyangka kau pergi mengarungi hutan gunung Alpen yang luas ini dengan pengetahuan yang kosong.
“Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan Pak tua.” Gubee semakin terlihat bingung.
“Harusnya kau tidak ikut mengawini Ratumu Gubee. Setelah kau meminum nektar bunga keabadian, tubuhmu tidak lagi seperti lebah jantan dari golongan pangeran. Nektar bunga Edelweis yang kau minum tidak hanya membuatmu berumur panjang, tapi juga merubah cairan pembuahan dalam tubuhmu menjadi racun. Secara tidak langsung, kau telah sama dengan lebah pekerja dan lebah penjaga yang memiliki racun dalam tubuhnya. Itulah alasan mengapa lebah pekerja dan lebah penjaga tidak bisa mengawini Ratu lebah, dan hanya lebah jantan dari golongan pangeran yang bisa membuahinya.
Tubuh Gubee berubah lemah mendengar pernyataan itu. Matanya yang besar tampak cemas, penuh dengan rasa bersalah yang tampak jelas. Antenanya sedikit menunduk menggambarkan penyesalan yang mendalam. Kakinya gemetar, tak sanggup menahan beban yang terasa berat di kepalanya. Hingga akhirnya ia terduduk di tepi lubang sarang Laba-laba tua.
“Akulah yang membunuh Ratuku sendiri?” bisiknya dalam renungannya yang penuh dengan rasa bersalah. "akulah yang telah menghancurkan koloniku? Alam ini semakin terasa tidak adil! Bukan Lebah pekerja yang bersalah, tapi takdir!
“Mengapa kau meminum nektar itu Gubee!?” tanya Laba-laba tua seakan kembali menyudutkannya.
“Aku berpikir, koloniku tidak adil. Aku mengira para lebah pekerja tidak peduli dengan kehidupan para Pangeran lebah. Mereka tidak pernah memberi kami nektar bunga Edelweis, sehingga umur kami berbeda dengan lebah lainnya. Aku berpikir..,” Gubee tak sanggup meneruskan kata-katanya. Bibirnya mengatup kuat menahan tangisan yang ingin meluap.
Laba-laba tua menyentuh bahu Gubee, wajahnya kembali datar, rasa prihatin mulai tumbuh di hatinya ketika melihat air mata yang mengembun di sudut mata lebah kecil yang penuh penyesalan itu.
“Tidak semua ketidakadilan yang terlihat itu sebuah kecurangan Gubee,” ucap Laba-laba tua mencoba menenangkan dengan nasehatnya.
“Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh! Maafkan aku Ratu,” rintih Gubee di sela-sela kesedihannya.
“Sudahlah. Tidak ada yang perlu disesali lagi. Kau tak sepenuhnya bersalah! Ini hanya ketidaksengajaan yang tidak kau ketahui. Kau tidak pernah berniat membunuh Ratumukan?
“Aku tidak pernah memikirkan hal buruk apapun pada Ratuku! Aku hanya…” Isak tangis tak lagi tertahankan. Rasa bersalah dan penyesalan teramat sangat mengacaukan perasaan Gubee. Bongkahan air mata mulai meleleh di pipinya.
“Aku hanya ingin terus hidup! Tetapi bukan harus menukarnya dengan nyawa Ratu! Kenapa Ratu bisa mati Pak tua? Bukankah bunga Edelweis memberikan keabadian?” sambung Gubee.
“Keabadian yang di berikan bunga Edelweis hanya akan membuat hidup menjadi lebih lama, bukan membuat hidup kebal dari kematian. Tidak ada satupun serangga di hutan ini yang tidak bisa mati, meskipun dia meminum nektar bunga keabadian sepanjang hari,” jelas Laba-laba tua.
“Ambillah pelajaran dari kejadian ini Gubee. Tidak ada koloni yang tidak akan adil pada anggota koloninya sendiri. Lebah pekerja tidak memberimu nektar bunga keabadian, karena memang kau tidak membutuhkan nektar itu. Meskipun umurmu sebagai pangeran lebah pendek, tapi kau lebih berjasa daripada lebah lainnya. Kau harus bangga dengan takdirmu sebagai lebah pejantan yang siap mengorbankan nyawa demi kelangsungan koloninya,” imbuh Laba-laba tua.
“Sekarang sudah tidak ada yang bisa ku banggakan lagi Pak tua. Aku telah merubah takdirku sendiri. Aku telah menghancurkan koloniku demi mengubah takdirku. Aku sangat egois!” gerutu Gubee kembali mengutuk dirinya sendiri.
Gubee bangkit, berjalan menuju ke dalam lubang papan.
“Akan kemana kau Gubee?” Laba-laba tua menghadang langkahnya.
“Aku ingin kembali tersangkut di jaringmu dan mati sebagai santapanmu!” ujar gubee.
“Apa yang kau bicarakan?
“Inilah yang terbaik Pak tua. Daripada aku kembali ke sarangku dan melihat satu persatu kematian koloniku!” Gubee mencoba melewati tubuh Laba-laba tua di hadapannya.
“Tenangkan dirimu gubee!” Laba-laba tua memegangi tubuh Gubee. Kakinya yang besar dan berotot membuat tubuh Gubee kesulitan untuk bergerak.
“Cobahlah berpikir jernih! Kau harusnya memperbaiki kesalahan ini, bukan membunuh dirimu sendiri!” bentak Laba-laba tua.
“Apa yang bisa kulakukan Pak tua? Apa yang harus ku perbaiki? Semua telah berakhir,” rintih Gubee. Tubuhnya kembali melemah. Bulir-bulir air mata kembali terlihat di wajahnya.
“Ada satu cara yang bisa kau lakukan. Kau harus mencobanya, meskipun belum ada lebah manapun yang pernah melakukan itu.
“Benarkah!? Apa itu Pak tua? Katakan padaku!” Gubee menyeka air matanya. Ada rona baru yang terlihat memancar di wajahnya. Ucapan Laba-laba tua terdengar manis di telinganya, semanis nektar bunga Edelweis yang memberi harapan baru bagi kehidupannya.
Laba-laba tua melepaskan rangkulannya di tubuh Gubee, dan melangkah keluar. Gubee yang telah mulai tenang, mengikuti langkah itu. Laba-laba tua kemudian memandangi hutan gunung Alpen, seperti mencari-cari sesuatu di tengah hutan yang hampir gelap. Dan pandangannya, akhirnya singgah pada sebuah pohon yang terlihat lebih tinggi dari pohon-pohon lainnya di hutan itu.
“Apa yang kau lihat disana Pak tua?” tanya Gubee ikut memandangi pohon tinggi yang tidak jauh dari tempatnya itu.
“Aku melihat beberapa hari yang lalu ada lebah hutan yang membuat sarang di pohon itu.
“Lebah hutan?
“Ya, Lebah hutan. Mereka sama sepertimu. Hanya saja, tubuh mereka sedikit agak besar darimu. Dan mereka selalu hidup berpindah-pindah dari musim ke musim.
Gubee terus memperhatikan pohon itu. Namun, suasana hutan yang telah mulai gelap membuatnya tak dapat melihat jelas apa yang ada di atas pohon itu.
“Apa yang bisa kuharapkan dari lebah itu?” tanyanya kemudian.
“Tiga puluh hari lagi akan kembali terjadi purnama, Ratu mereka akan bertelur di saat itu. Ketika waktu itu telah tiba, cobalah kau pergi ke sana, dan ceritakan semua masalahmu pada mereka. Memohon lah, semoga saja mereka mau memberimu telur calon Ratu yang bisa kau rawat untuk menjadi Ratu baru di kolonimu.
“Apa menurutmu mereka akan memberiku telur itu?” Gubee tak yakin dengan rencana itu.
“Tidak ada salahnya untuk mencoba. Hanya itu jalan satu-satunya. Jika kolonimu masih di takdirkan untuk terus berkembang, maka mereka akan memberimu telur itu.
Gubee berpikir sejenak. Ia merasa kata-kata Laba-laba tua ada benarnya juga. Mungkin itulah cara satu-satunya agar sarangnya kembali hidup. Namun, pemikiran lain juga timbul di benaknya saat itu. Pemikiran yang membuat rencana Laba-laba tua menjadi terasa hambar.
“Jikapun aku mendapatkan telur itu, dan berhasil merawat telur itu menjadi ratu, lalu siapa yang akan mengawini ratu itu? semua lebah penjantan di koloniku telah mati,” ungkap Gubee mengutarakan isi pikirannya yang kembali ragu dengan rencana itu.
“Kaulah penjantannya.” ucap Laba-laba tua memandangi Gubee.
Lanjut Bab 15