Hilya Nadhira, ia tidak pernah menyangka bahwa kebaikannya menolong seorang pria berakhir menjadi sebuah hubungan pernikahan.
Pria yang jelas tidak diketahui asal usulnya bahkan kehilangan ingatannya itu, kini hidup satu atap dengannya dengan status suami.
" Gimana kalau dia udah inget dan pergi meninggalkanmu, bukannya kamu akan jadi janda nduk?"
" Ndak apa Bu'e, bukankah itu hanya sekedar status. Hilya ndak pernah berpikir jauh. Jika memang Mas udah inget dan mau pergi itu hak dia."
Siapa sebenarnya pria yang jadi suami Hilya ini?
Mengapa dia bisa hilang ingatan? Dan apakah benar dia akan meninggalkan Hilya jika ingatannya sudah kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
STOK 25: Takut Joni Menciut
" Mas."
" Aah, aku brisik ya. Kamu jadi kebangun."
Hilya mengusap wajahnya, ia melihat jam di dinding dan ini masih jam sebelas malam. Pandangan matanya beralih kepada suaminya yang terlihat masih segar. Ia bisa menilai kalau sang suami sama sekali belum juga memejamkan matanya.
" Mas belum tidur?"
Tara tersenyum, ada banyak hal yang saat ini sedang ia susun jadi matanya enggan terpejam. Beberapa hal yang harus ia selesaikan membutuhkannya untuk pulang, dan yang jelas ia tidak ingin meninggalkan istrinya di sini saja. Tapi Tara merasa harus berhati-hati untuk bicara kepada sang istri. Meskipun Hilya sudah terbiasa hidup di kota orang dalam hal ini selama kuliah, tentu sangat berbeda dengan pergi meninggalkan rumah karena harus ikut sang suami.
" Mas, lagi mikirin apa?"
" Ehm, aku harus ke Jakarta tapi aku nggak mau ninggalin kamu. Jadi, apa kamu berkenan ikut?"
Degh!
Wajah Hilya terlihat sangat terkejut dan Tara bisa melihat itu. Ia tahu permintaannya ini sangat dadakan, tapi mau bagaimana lagi, Tara harus menangkap dalang dibalik kemalangan yang menimpa dirinya.
" Ternyata saat ini tiba juga," gumam Hilya lirih. Tapi malam yang sangat sunyi itu membuat suara Hilya terdengar jelas di telinga Tara.
" Apa kamu belum mau ikut aku?"
" Ndak Mas, aku bukannya belum mau. Aku malah sedang nunggu kamu ngajak aku ketemu kedua orang tuamu."
" Ya? Hahaha, Ya Allah aku bener-bener khawatir kamu nggak mau ke jakarta Hil. Maaf, maafin aku yang nggak peka."
Greb
Tara memeluk Hilya dengan erat dan Hilya menepuk punggung sang suami. Tara sungguh merasa bersalah karena tidak menyadari kegelisahan Hilya. Ya wanita mana yang tenang karena sudah menikah dnegan seorang pria tapi belum bertemu dengan keluarga dari pihak suaminya itu. Bayangan ketakutan akan ditolak dan sejenisnya pasti membuatnya kepikiran.
" Lusa, kita akan ke Jakarta. Nanti setelah pulang dari sini aku akan minta izin ke Bapak dan Ibu buat ajak kamu ke Jakarta."
Tara melerai pelukannya tapi tidak melepaskan istrinya itu. Ia menangkup wajah sang istri lalu mendaratkan sebuah ciuman, ciuman yang bukan hanya kecupan itu berlanjut lebih dalam dan intens. Tara mulai membimbing Hilya untuk membuka mulutnya sehingga bisa bisa mengekspos seluruh isi dalam mulut sang istri. Lidahnya menjelajah dan mencoba menautkan dengan lidah Hilya, masih terasa kaku tapi mereka bisa melakukannya dengan sama-sama menikmatinya.
" Bolehkah?"
Hilya hanya mengangguk, ia cukup malu untuk menjawab pertanyaan Tara. Pasalnya tubuhnya sudah mulai bereaksi saat tangan pria itu masuk ke dalam baju miliknya.
" M-mas ... "
Hilya menutup mulutnya rapat, ia menahan suaranya sendiri yang ia anggap sedikit memalukan.
" Lepaskan saja, jangan ditahan sayang. Suaramu indah, kamu cantik dan segala hal yang ada dalam dirimu cantik. Aku cinta kamu Hilya Nadhira, istriku."
Pelan tapi pasti, baju Hilya sudah dibuang oleh Tara ke bawah tempat tidur. Kini bagian atas Hilya terpampang nyata di mata Tara dan lagi-lagi Hilya merasa malu. Ia menutupi dua benda miliknya itu dengan tangan. Tapi secara lembut Tara menyingkirkan tangan itu ke samping.
" Jangan di tutupi, aku mau lihat."
" A-aku malu Mas."
Tara tersenyum, wajah memerah Hilya yang ada dibawah kungkungannya itu membuatnya semakin bersemangat. Tapi malam ini dia tidak akan melakukannya. Ia tidak ingin terburu-buru dan akan melakukan tahap demi tahap agar Hilya tidak terkejut.
Tara kembali mencium bibir Hilya, ciuman itu lalu turun ke leher dan terus turus kebawah. Ia berhenti di sana untuk menikmati hal yang belum pernah ia nikmati sebelumnya.
" Kepalaku rasanya sangat kosong saat Mas Tara mulai menyentuhku, geli tapi menyenangkan. Mulutku ingin mengeluarkan suara tapi aku malu. Aku sangat malu karena suara itu seperti ... Ahhhh."
Hilya bermonolog dalam hati. Ia merasa kehilangan kendali atas dirinya saat bibir Tara mengulum lembut salah satu miliknya. Dan satunya lagi digenggam oleh tangan besar pria itu.
Sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya itu membuat tubuhnya seperti terbakar. Peluh keluar dari pori-pori kuit, padahal hawa malam begitu sangat dingin.
Ia tidak pernah menyangka bahwa mereka akan sampai pada tahap ini. Hilya sudah siap jika Tara memang akan meminta hak nya malam ini. Dia sudah menyiapkan hati sedari tadi ketika Tara memutuskan untuk menginap.
" Kamu sungguh sangat cantik Hilya."
" Hmmphh."
Tara semakin menyukai apa yang ia lakukan kali ini tangannya yang tadi masih ada di seputar bagian atas kini mulai turun dan ia sisipkan ke bagian sensitif lainnya milik sang istri.
" Maas!" pekik Hilya ketika tangan Tara menyentuh miliknya.
Tara langsung menarik tangannya kembali. Agaknya ia masih terlalu terburu-buru untuk itu. Dan apa yang ia lalukan tadi sedikit membuat Hilya terkejut.
" Aku nggak akan buru-buru, malam ini sampai di bagian ini saja dulu."
Tara berbaring di sebelah Hilya, ia memeluk tubuh sang istri dan menarik selimut hingga tubuh Hilya tertutup sempurna.
" Kenapa?"
" Apanya? Aaah hahahah."
Awalnya Tara tidak mengerti maksud dari pertanyaan Hilya itu, tapi setelah terdiam beberapa saat ia paham juga.
" Nanti aja, di sini kelewat dingin kayaknya nggak seru. Kurang hot nanti gerakannya. Dan lagi si joni takut menciut."
Plak!
Sebuah tepukan kecil dari tangan Hilya mendarat di dada Tara. Wajahnya memerah lagi, entahlah setiap ucapan yang keluar dari mulut suaminya membuat Hilya selalu merasa malu. Tapi dia berusaha menepis itu, mereka sudah menjadi suami istri jadi kata-kata yang sedikit 'nakal' adalah hal yang wajar.
" Lalu, besok pagi jadi nggak ke bukit Sikunir nya?" tanya Hilya tanpa melihat wajah Tara karena masih merasa malu.
" Jadi dong, jadi ayok tidur biar besok nggak kesiangan. Kalau kesiangan fix kita bakalan gagal."
Hilya mengangguk, ia mendekatkan tubuhnya dalam pelukan Tara agar rasa dingin itu menjadi lebih hangat.
Cup
" Tidurlah sayang, mimpi indah."
TBC