Menikah karena perjodohan, dihamili tanpa sengaja, lalu diceraikan. Enam tahun kemudian tak sengaja bertemu dengan mantan suami dalam situasi yang tak terduga.
Bertemu dengan Renata dalam penampilan yang berbeda, membuat Mirza jatuh dalam pesonanya. Yang kemudian menumbuhkan hasrat Mirza untuk mendapatkan Renata kembali. Lantas apakah yang akan dilakukan oleh Renata? Apalagi ketika mantan suaminya itu tahu telah ada seorang anak yang lahir dari hasil ketidaksengajaan dirinya di malam disaat ia mabuk berat. Timbullah keinginannya untuk merebut anak itu dari tangan Renata. Apakah Renata akan membiarkan hal itu terjadi? Ataukah Renata memilih menghindar dan membuka hati untuk pria lain?
“Kamu sudah menceraikan aku. Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi tolong jangan ganggu aku.”
- Renata Amalia -
“Kamu pernah jadi milikku. Sekarang pun kamu harus jadi milikku lagi. Akan aku pastikan kamu dan anak kita akan berkumpul kembali.”
- Mi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Salah Paham
PMI 23. Salah Paham
“Pak Tony?”
Sontak Tony menoleh. Dan terkejut seketika melihat kedatangan orang itu. Bahkan wajah orang itu tampak seperti tidak biasanya.
“Ren?” Tony langsung melepas Vanessa. Ia berubah panik saat melihat raut wajah Renata, yang tampak terkejut bercampur tanya, atau bahkan mungkin kecewa.
Renata datang untuk pamit pulang karena hari sudah sore. Dan kebetulan juga memang sudah waktunya pulang. Tetapi, begitu ia membuka pintu ruangan Tony, ia justru dibuat terkejut oleh pemandangan di depan matanya. Atasannya itu tengah memeluk Vanessa, kekasih temannya sendiri.
Pemandangan itu jujur saja membuat Renata menjadi risih. Dalam kepalanya ia pun mulai menilai bahwa Tony ternyata sama saja dengan Mirza. Matanya selalu silau melihat yang bening. Lagipula pria mana yang sanggup menolak pesona Vanessa yang cantik dan berbodi aduhai itu.
“Maaf kalau saya mengganggu. Saya cuma mau pamit pulang, Pak. Kalau gitu saya permisi.” Cepat-cepat Renata berkata, kemudian lekas menyeret langkahnya menjauh dari ruangan itu. Ia tak ingin berada dalam situasi canggung karena memergoki kecurangan atasannya itu.
“Ren ... Renata. Tunggu, Ren,” panggil Tony dengan wajah cemas. Cemas Renata menilai salah pada dirinya. Tony sampai menyusul langkah Renata saking cemasnya.
Namun Renata tak menghiraukan suara Tony yang memanggilnya. Ia malah semakin mempercepat langkahnya menjauh, bahkan setengah berlari. Seolah ingin cepat sampai ke tempat parkir dan ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini.
“Ren ... nanti saya samperin kamu ke rumah, ya? Kita harus bicara, Ren.” Tony memandangi punggung Renata yang menjauh. Sungguh ia didera cemas berlebih saat ini. Perasaannya tak enak lantaran tak menyangka Renata akan datang ke ruangannya disaat posisinya bersama Vanessa yang menimbulkan kesalahpahaman itu.
Tony merogoh kantong celana, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Kemudian kembali lagi ke dalam ruangannya usai menyimpan kembali ponselnya.
“Renata kenapa? Renata marah sama kamu?” tanya Vanessa. Melihat reaksi Renata beberapa saat lalu itu membuatnya senang. Ia yakin Renata pasti cemburu melihat kekasihnya sedang berduaan dengan wanita lain.
“Tidak juga. Renata tidak seperti itu orangnya. Orang yang berhati lembut mana mungkin bisa marah.” Tony memasang senyuman tipis. Yang membuat Vanessa terpesona dengan ketampanan pria itu. Jika dilihat dari dekat, Tony seperti tak memiliki cela. Pahatan wajahnya begitu sempurna. Wanita mana yang sanggup menolak pesona pria yang satu ini.
“Tapi tadi aku lihat Renata sepertinya marah. Maaf, ya?”
“Oh ya, maaf, Van. Aku harus pergi sekarang. Aku ada urusan yang lebih penting. Kalau ada yang ingin kamu tanyakan tentang tempat ini, tentang fasilitas-fasilitas yang tersedia di tempat ini, nanti kamu bisa tanya Ronal. Aku sudah menghubunginya tadi. Sebentar lagi dia ke sini. Kalau begitu, aku permisi. Salam untuk Mirza.” Tony bergegas meninggalkan ruangannya usai menyimpan laptop ke dalam case bag-nya dan menenteng tas itu.
Vanessa yang masih ingin berlama-lama mengobrol dengan Tony malah dibuat tercengang karena ditinggal pergi begitu saja. Ia hampir tak percaya, apakah pesonanya tidak berarti bagi pria itu. Padahal ia sudah mengenakan dress selutut dengan belahan dada yang cukup rendah sampai dua gundukan kembarnya sedikit menyembul keluar.
“Apa laki-laki itu buta?” Vanessa masih tak percaya Tony mengabaikan pesonanya. Setiap laki-laki yang bertemu dengannya, hampir tak satupun yang sanggup menolak pesonanya. Walaupun mereka sedang bersama pasangannya.
“Permisi.” Seorang pria datang menemui Vanessa di ruangan itu. Pria itu tercengang melihat Vanessa. Matanya langsung berbinar-binar saat ia mengenali siapa Vanessa.
“Vanessa Angela, kan?” tanya Ronal. Manajer yang diminta Tony untuk melayani Vanessa.
Vanessa tersenyum sembari mengibas rambut panjangnya demi memancarkan pesonanya.
“Saya Ronal. Saya ngefans sama Mbak Vanessa. Oh ya, saya manajer di sini. Pak Tony tadi menghubungi saya. Beliau meminta saya untuk melayani Mbak Vanessa. Kalau begitu ada yang bisa saya bantu, Mbak?”
“Untuk sekarang tidak ada. Aku sudah lupa apa yang ingin aku tanyakan tadi. Kalau begitu, aku pergi dulu.”
“Baiklah, tidak apa-apa, Mbak. Oh ya, saya boleh minta foto? Saya benar-benar ngefans sama Mbak Vanessa.”
“Boleh. Tapi sekali saja, ya? Soalnya aku buru-buru.” Terpaksa Vanessa menuruti permintaan Ronal walaupun sebenarnya ia malas sekali. Namun, bersikap buruk pada fans, nanti malah akan berakibat buruk juga pada karirnya.
****
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Rembulan mulai merangkak naik menerangi gelapnya malam. Renata tengah membantu Bu Ningsih menyiapkan makan malam saat Dito datang berlarian dari arah depan.
“Bunda, ada ayah Tony di depan,” kata Dito begitu tiba di dapur. Anak itu kemudian kembali lagi ke depan.
Renata yang sedang mengaduk kuali yang berisi sup ayam itu terpaksa mengehentikan kegiatannya.
“Temui dulu, Ren. Sekalian ajak makan malam bersama kita,” kata Bu Ningsih. Wanita tua itu mengambil alih mengaduk sup.
Sebenarnya Renata merasa canggung untuk menemui Tony. Karena tanpa sengaja melihat Tony sedang bersama Vanessa itu menghadirkan perasaan yang lain dalam dadanya. Seperti perasaan tak suka.
“Ren, tunggu apa lagi. Mumpung supnya masih panas.”
“I-iya, Bu.” Renata pun kemudian menyeret langkahnya ke depan walaupun sebenarnya ia enggan. Bayangan Tony bersama Vanessa itu masih sedikit mengganggunya.
Di ruang tamu rumah itu, Tony sedang berbincang dengan Dito yang duduk di pangkuannya.
“Ehem.” Renata berdehem begitu langkahnya terhenti di ruang tamu itu. Yang mengalihkan perhatian Tony dan Dito seketika.
“Dit, Ayah mau ngobrol dengan Bunda dulu. Dito boleh ke belakang sebentar?” pinta Tony.
Dito mengangguk. “Boleh dong, Ayah. Tapi, Ayah jangan pulang dulu, ya? Aku masih mau main dengan Ayah Tony.”
“Iya. Ayah ngobrolnya cuma sebentar. Tidak akan lama, kok. Ayah boleh, kan, ngajak Bunda pergi sebentar?”
“Boleh, dong.”
“Sekarang, Dito ke belakang dulu, ya? Ayah mau ngomong sama Bunda.”
Dito menurut. Lekas anak itu melompat turun dari pangkuan Tony lalu pergi ke belakang. Seperginya Dito, barulah Renata mengambil duduk pada sofa di seberang Tony.
Tony melempar senyuman memandangi Renata. Sedari tadi perasaannya benar-benar tak enak saat teringat Renata yang pergi tak menghiraukannya saat ingin memberikan penjelasan.
“Ren, saya boleh ngomong sebentar?” tanya Tony.
“Boleh, Pak. Bapak mau ngomong apa?”
“Tapi tidak di sini. Sekalian saya mau mengajak kamu makan malam di luar.”
“Maaf, Pak. Tapi Bu Ning meminta saya mengajak Bapak makan malam bersama. Kebetulan kami baru selesai masak.”
“Kamu yang masak?”
“Cuma bantuin Bu Ning.”
Tony mengangguk pelan. “Ya sudah. Kalau begitu kita makan malam di sini saja. Tapi saya boleh ngomong dulu sebentar sama kamu, kan?”
Renata mengangguk pelan. Wajahnya tertunduk menghindari tatapan Tony.
“Soal yang tadi itu tolong kamu jangan salah paham. Tadi itu Vanessa hampir terjatuh. Untung saja saya cepat menahannya. Kalau tidak, mungkin dia sudah jatuh ke lantai saat kamu datang,” papar Tony.
“Oooh, soal itu. Saya sudah maklum. Lagian kenapa Bapak repot-repot memberi penjelasan ke saya. Memangnya apa hubungannya dengan saya.” Nada suara Renata terdengar sedikit ketus. Raut wajahnya bahkan datar, seolah ada amarah di sana yang sedang ia sembunyikan.
Reaksi tak biasa Renata itu membuat Tony mengulum senyuman. Sebab, hatinya mulai menduga-duga reaksi berbeda Renata itu. Agar ia tak salah menduga, untuk itulah ia ingin memastikan.
“Tadi itu tidak sengaja, Ren. Diantara saya dan Vanessa itu tidak ada apa-apa. Lagian mana mungkin saya menikung teman saya sendiri. Apalagi Vanessa itu bukan tipe saya,” tutur Tony sedikit menarik senyuman.
“Memang apa urusannya dengan saya,” ketus Renata.
“Kamu marah, ya, Ren? Maafkan saya.”
“Siapa yang marah? Saya tidak marah, kok. Wajar kalau Pak Tony dekat dengan perempuan lain. Saya tidak punya hak melarang.”
Tony mengangguk. Senyumnya semakin terkembang mendengar jawaban ketus Renata.
“Kamu marah, Ren. Bisa saya lihat dari raut wajah dan nada suara kamu. Kamu marah sama saya.”
“Saya tidak marah. Siapa bilang saya marah. Saya cuma__”
“Kamu cemburu?”
To be continued...
Lebih baik baik sangat dicintai, daripada mencintai sendirian. Sekal lagi jangan bertahu Mirza bahwa Dito anaknya
🐡🐡🐡🐡🐡🐡 untukmu thor