Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Overthinking
Nara memalingkan muka ketika Arjuna berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang. Nara tidak suka ditatap layaknya seorang pencuri yang sudah ketahuan. Helaan napas kasar pun terdengar dari bibir sang Suami.
"Mas tidak tahu mengapa sekarang kamu jadi seperti ini. Bukankah di awal kamu sudah setuju?" tanya Arjuna lembut agar tidak melukai perasaan Nara.
Nara memilih bangkit dari duduknya lalu menuju ranjang. "Aku memang setuju. Tetapi, aku tidak pernah mengatakan jika aku rela," jawab Nara masih memalingkan muka.
Arjuna memilih duduk di sisi Nara yang kini berada di sisi ranjang. Nara merasakan tangannya digenggam oleh tangan besar Arjuna. "Kenapa semua jadi begini? Bukankah kita sudah sepakat?" Arjuna bertanya dengan lebih halus lagi. Sikap keras tidak bisa dilawan oleh kekerasan juga.
Tanpa menunggu lama, Arjuna langsung memeluk Nara dan mengecup puncak kepalanya berulang kali. Saat itu juga, Nara kembali menangis dalam dekapan Arjuna. Beberapa hari ini memang sangat berat untuk Nara. Sampai dia merasa jika beban di pundak tak sanggup lagi untuk dipikul.
"Aku tidak yakin jika aku sanggup, Mas," racau Nara sambil memukul dada suaminya pelan. Arjuna hanya pasrah ketika pukulan bertubi-tubi dilayangkan padanya.
Arjuna mengaku salah karena secara tidak langsung sudah membuat mental Nara terguncang. Beruntung, Nara adalah wanita yang rajin beribadah. Dia memiliki pegangan ketika keputusasaan menghampiri hidupnya.
Arjuna tidak bisa membayangkan jika Nara memiliki iman yang lemah. Bisa saja tepat di hari pernikahan, istrinya itu bisa melakukan hal yang tidak diinginkan.
"Bagaimana jika aku tidak sanggup?" tanya Nara ketika melihat sang Suami hanya termenung. Tatapan mata Nara dan Arjuna saling bertemu dengan jarak yang terbilang dekat.
"Percayalah. Mas juga sama terlukanya ketika harus menuruti Mama. Langkah kaki Mas terasa berat akibat beban yang menumpuk di bahu. Tanggung jawab Mas akan semakin banyak," ujar Arjuna tak lepas menatap mata Nara. Sosok perempuan yang sangat Arjuna cintai.
Selain cantik, Nara merupakan perempuan yang pandai menjaga diri dan paham agama. Sampai detik ini, rasa cinta itu masih sama dan semakin bertambah karena Arjuna akan selalu merasa takut kehilangan setelah pernikahan keduanya. Arjuna takut Nara akan pergi.
"Apa yang harus Mas lakukan agar beban yang kamu tumpu bisa sedikit ringan?" tanya Arjuna sungguh-sungguh.
Nara mengerjap. Dia seperti mendapatkan kartu keberuntungan ketika diberi pertanyaan semacam itu. "Bagaimana jika aku diizinkan untuk bekerja lagi?" tanya Nara yang tentu langsung mendapat tatapan tajam dari Arjuna.
"Kenapa? Mas masih sanggup menafkahi kamu. Apakah jatah yang Mas kasih masih kurang?" tanya Arjuna kurang setuju.
Nara menggeleng. "Aku hanya ingin mencari hiburan ketika jatah Nadya tiba. Aku tidak sekuat itu untuk menyaksikan bagaimana Mas melalui hari-hari bahagia bersama Nadya. Belum lagi jika Nadya hamil. Aku yakin, Mas akan dengan mudah berpali—"
Ucapan Nara terhenti oleh sebuah ciuman di bibirnya. Nara membelalak tak percaya. "Mas! Jangan sentuh aku dulu! Minggu ini bukanlah jatahku!" peringat Nara kesal sambil memegangi bibirnya.
Nara tersentak ketika pinggangnya ditarik agar lebih dekat dengan Arjuna. "Jangan pernah menduga pada hal yang belum terjadi. Tolong. Berprasangka baik saja. Jangan bebankan pikiranmu dengan hal-hal buruk," ucap Arjuna parau.
Mendengar suara parau sang Suami, perasaan Nara langsung luluh. Dia tersadar jika akhir-akhir ini selalu overthinking. "Maafkan aku, Mas."
Tanpa keduanya sadari, Nadya masih bertahan di depan pintu demi mendengar pembicaraan Nara dan sang Suami. Ada rasa sesak ketika menyadari bahwa suaminya terlihat sangat mencintai istri pertama. Nama panggilan untuk kata 'aku' saja telah Arjuna ganti dengan sebutan 'mas'. Padahal ketika berbicara dengannya, Arjuna tetap mengatakan dengan sebutan 'aku'.
Hanya dari sana, Nadya sudah mengetahui siapa pemenangnya. Nadya pikir, perasaan seperti terbakar di rongga dada tidak akan pernah Nadya rasakan. Nyatanya, rasa itu hadir karena sebuah rumah tidak bisa memiliki dua ratu.
"Aku berpikir, semua akan berjalan lancar. Mungkinkah aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, Mas? Untuk merobohkan benteng itu saja aku ragu," gumam Nadya lalu memilih pergi dari sana sebelum tingkah lakunya diketahui Arjuna.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...mampir juga kesini yuk 👇👇...