kisah seorang siswi perempuan yang tidak tertarik dengan apapun akhirnya menyukai seorang lelaki yaitu kakak kelasnya,hari demi hari ia lewati tana menyapa ataupun yang lain.hanya sebatas melihat dari jauh orang yang di kaguminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myz Yzy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
masa lalunya kembali
Hari-hari berlalu, Yana mencoba membangun kembali rasa percaya terhadap Nabil, meskipun bayang-bayang masa lalu Nabil tentang Raya terus mengusiknya. Namun, tak disangka, sebuah peristiwa mengubah segalanya.
Pada suatu siang di kantin sekolah, seorang siswi baru datang. Semua mata tertuju padanya, termasuk Nabil dan Yana. Siswi itu tampak anggun dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai. Saat ia melewati meja Yana dan Nabil, langkahnya terhenti.
“Nabil?” suara siswi itu terdengar akrab, dan seketika wajah Nabil berubah.
“Raya?” jawab Nabil, terkejut.
Yana yang duduk di samping Nabil terdiam. Hatinya mencelos mendengar nama itu disebut. Raya tersenyum kecil, lalu melirik ke arah Yana.
“Jadi ini pacar kamu?” tanya Raya, nada suaranya terdengar santai, tetapi ada sedikit kehangatan yang sulit Yana abaikan.
Nabil tampak canggung. “Uh, iya, ini Yana,” katanya, memperkenalkan. “Yan, ini Raya… dia teman lama aku.”
Yana mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. “Halo,” sapanya singkat.
Raya tersenyum manis. “Halo, Yana. Senang kenalan sama kamu,” ucapnya dengan ramah. Namun, Yana merasa ada sesuatu dalam tatapan Raya yang membuatnya tidak nyaman.
Setelah pertemuan itu, Yana merasa Nabil menjadi lebih pendiam. Meskipun ia berusaha untuk mengabaikan hal itu, kehadiran Raya di sekolah membuat segalanya semakin sulit. Hampir setiap hari, Yana melihat Raya dan Nabil berbicara—kadang di taman, kadang di perpustakaan. Yana tahu mereka hanya berbicara sebagai teman, tetapi ia tidak bisa menghilangkan rasa cemas yang semakin kuat.
Suatu sore, saat mereka bertemu di taman, Yana memutuskan untuk berbicara.
“Kak, aku mau tanya sesuatu,” katanya dengan suara pelan.
Nabil menoleh, terlihat bingung. “Apa, Yan?”
“Kakak masih ada perasaan sama Raya, nggak?” tanyanya langsung.
Nabil terdiam. Ia menghela napas, lalu menggenggam tangan Yana. “Yana, aku nggak mau kamu salah paham. Aku memang senang ketemu lagi sama Raya, tapi itu bukan karena aku masih ada perasaan sama dia.”
“Tapi Kakak sering ngobrol sama dia,” balas Yana, suaranya mulai bergetar. “Aku nggak tahu harus gimana kalau dia kembali masuk ke hidup Kakak.”
Nabil menatap Yana dalam-dalam. “Yan, aku akui kehadiran Raya bikin aku teringat masa lalu. Tapi aku nggak mau hidup di masa lalu lagi. Aku cuma mau bersikap baik ke dia, nggak lebih.”
Yana mencoba mempercayai kata-kata itu, tetapi beberapa hari kemudian, sesuatu terjadi yang mengguncang hatinya. Ia melihat Nabil dan Raya berbicara di taman, dan kali ini, mereka tampak lebih serius. Raya terlihat menangis, dan Nabil memegang pundaknya, berusaha menenangkannya. Yana hanya bisa memandangi mereka dari kejauhan, merasa terlupakan.
Ketika Nabil menghampiri Yana malam harinya, ia mencoba menjelaskan.
“Yan, aku tahu kamu lihat aku sama Raya tadi,” katanya. “Dia cuma cerita soal masalah keluarga yang lagi dia hadapi. Aku cuma dengar aja.”
“Tapi kenapa harus kamu?” tanya Yana dengan suara pelan, matanya berkaca-kaca. “Kenapa dia nggak cari orang lain buat cerita?”
Nabil terdiam, seolah tak punya jawaban. Akhirnya, ia berkata, “Mungkin karena dia percaya sama aku. Tapi itu nggak berarti aku lebih peduli sama dia daripada kamu.”
Yana menggeleng, hatinya terasa terlalu lelah. “Aku nggak tahu, Kak. Aku cuma… nggak kuat kalau harus terus ngerasa kaya gini.”
“Yana, aku sayang sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu cuma karena hal ini,” kata Nabil dengan suara penuh kesungguhan.
Namun, malam itu, Yana memutuskan untuk mengambil jarak. Ia butuh waktu untuk berpikir, untuk memahami apa yang sebenarnya ia inginkan. Sementara itu, Nabil merasa kehilangan arah. Ia tidak tahu bagaimana meyakinkan Yana lagi, dan kehadiran Raya di sekolah hanya membuat situasi semakin rumit.
Beberapa minggu kemudian, Nabil menerima sebuah surat. Surat itu dari Raya. Isinya sederhana, tetapi penuh makna.
“Nabil, aku tahu kehadiranku mungkin mengganggu hidup kamu sekarang. Aku nggak pernah bermaksud seperti itu. Aku cuma butuh seseorang yang aku percaya untuk mendengarkan aku, dan kamu selalu jadi orang itu. Tapi aku sadar, kamu sudah punya orang yang lebih berarti di hidup kamu sekarang—Yana. Aku harap kamu bisa bahagia sama dia, seperti aku dulu pernah bahagia mengenal kamu. Terima kasih untuk semuanya. Aku akan mundur pelan-pelan.”
Setelah membaca surat itu, Nabil merasa lega sekaligus sedih. Ia tahu bahwa perasaan masa lalunya terhadap Raya akhirnya benar-benar selesai. Dengan tekad baru, ia pergi menemui Yana untuk memperbaiki hubungan mereka.
Namun, apakah Yana siap untuk mempercayai Nabil lagi? Atau luka itu sudah terlalu dalam untuk disembuhkan?