Kirana, wanita berusia 30 an pernah merasa hidupnya sempurna. Menikah dengan pria yang dicintainya bernama Arga, dan dikaruniai seorang putri cantik bernama Naya.
Ia percaya kebahagiaan itu abadi. Namun, segalanya berubah dalam sekejap ketika Arga meninggal dalam kecelakaan tragis.
Ditinggalkan tanpa pasangan hidup, Kirana harus menghadapi kenyataan pahit, keluarga suaminya yang selama ini dingin dan tidak menyukainya, kini secara terang-terangan mengusirnya dari rumah yang dulu ia sebut "rumah tangga".
Dengan hati hancur dan tanpa dukungan, Kirana memutuskan untuk bangkit demi Naya. Sekuat apa perjuangan Kirana?
Yuk kita simak ceritanya di novel yang berjudul 'Single mom'
Jangan lupa like, subcribe dan vote nya ya... 💟
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 21 - Sircle
Ep. 21 - Sircle
🌺SINGLE MOM🌺
Lampu kamar menyala temaram. Kirana duduk di meja kecil di sudut kamarnya sambil menatap tumpukan buku pembukuan dan laptop yang terbuka.
Di meja itu juga ada secangkir teh hangat yang sudah hampir dingin karena terlalu lama dibiarkan.
Ia lalu membuka buku catatan pembukuan usahanya dan membandingkan angka-angka pemasukan dengan pengeluaran.
Wajahnya tampak serius, dan sesekali dia menghela napas panjang.
"Aku benar-benar tidak menyangka," bisik Kirana pelan sambil menggoyangkan kepala. "Rini, orang yang paling aku percayai, justru memanfaatkan kesempatan ini. Pantas saja beberapa bulan terakhir laporan keuangan terasa janggal. Pemasukan menurun, sementara pengeluaran terus membengkak. Aku pikir itu hanya karena bahan baku naik atau pelanggan yang berkurang."
Kirana lalu menutup buku itu dengan perlahan, lalu menatap ke arah jendela. Dimana, di luar sana bintang-bintang tampak berkilauan di langit malam.
Lalu, ia menyesap teh yang sudah tidak lagi hangat dan mencoba menenangkan pikirannya.
“Haruskah aku memecat Rini?,” pikir Kirana dalam hati. “Dia memang salah, tapi dia juga orang pertama yang mendukungku sejak awal usaha ini dimulai. Aku tahu dia melakukan kesalahan, tapi... semua orang pasti pernah berbuat hilap.”
Kemudian, Kirana bangkit dari kursinya lalu berjalan ke arah ranjang Naya yang sudah tertidur pulas. Ia duduk di sisi ranjang sambil mengelus rambut putrinya dengan lembut.
“Naya, kalau Ibu mengajarkanmu untuk memaafkan orang lain, Ibu juga harus melakukannya, kan?,” bisik Kirana sambil tersenyum kecil.
Keesokan paginya, suasana di ruko catering terasa hening. Para karyawan terlihat bekerja seperti biasa, sementara Rini tampak lebih pendiam dari biasanya dan terlihat cemas.
Saat Kirana tiba, semua karyawan menyapa seperti biasa. Namun, tatapan mereka tertuju pada Rini yang hanya menundukkan kepalanya.
“Rini, bisa kita bicara sebentar di ruangan ku?,” kata Kirana.
Rini pun mengangguk pelan, lalu mengikuti Kirana masuk ke dalam ruangan kecil di sudut ruko yang biasa digunakan untuk diskusi atau istirahat.
Setelah mereka duduk, Kirana pun mulai bicara. “Rini, aku sudah memikirkan semuanya tadi malam. Aku kecewa dengan apa yang kamu lakukan, tapi aku juga tahu semua orang bisa berbuat salah.”
“Bu Kirana, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud merusak usaha ini. Aku hanya... Aku benar-benar terdesak.”
“Aku memaafkanmu, Rini. Tapi kamu harus tahu, memaafkan bukan berarti aku mengabaikan kesalahanmu. Aku ingin ini menjadi pelajaran, bukan hanya untukmu, tapi juga untuk semua karyawan di sini.”
Rini mengangkat wajahnya dengan mata yang basah. “Terima kasih, Bu. Aku janji, aku tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi.”
“Aku percaya padamu, Rini. Tapi mulai sekarang, aku akan lebih berhati-hati dalam mengelola bisnis ini. Semua transaksi dan stok akan dipantau lebih ketat, bukan karena aku tidak percaya, tapi untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik.”
Ketika mereka keluar dari ruangan, suasana ruko kembali terasa normal. Kirana lalu mengumpulkan semua karyawan untuk berbicara.
“Teman-teman, aku ingin kita semua bekerja dengan rasa tanggung jawab dan saling mendukung. Kita sudah melalui banyak hal untuk sampai di titik ini, jadi aku berharap tidak ada kesalahan yang bisa merugikan kita semua.”
"Baik Bu!!!."
Semua karyawan, termasuk Rini, mengangguk penuh semangat. Mereka tahu bahwa Kirana adalah pemimpin yang adil dan bijaksana, dan mereka merasa bangga bisa bekerja di bawah kepemimpinannya.
**
Keesokan harinya di sekolah TK Naya. Anak-anak berlarian di halaman sekolah yang luas, sementara para orang tua berdiri di tepi lapangan, mengobrol sambil memperhatikan anak-anak mereka.
Adapun Kirana, ia duduk di bangku taman yang teduh, sambil menikmati kopi dari termos kecil yang selalu ia bawa. Namun pikirannya melayang ke pekerjaan catering dan perkembangan Naya di sekolah.
Tak jauh dari situ, sekelompok ibu-ibu dengan gaya berpakaian yang mencolok dengan sepatu hak tinggi, tas branded, dan perhiasan yang berkilauan, sedang asyik berbincang.
Mereka terlihat penuh percaya diri, tertawa lepas sambil sesekali melirik ke arah Kirana.
“Ibu itu siapa ya? Baru ya di sini?,” bisik salah satu dari mereka sambil menunjuk Kirana.
“Iya, orang tua murid baru kayaknya, dia sering kelihatan akhir-akhir ini. Tapi gayanya... hmm, kelihatan dari keluarga mapan,” timpal yang lain.
“Cantik juga. Kayaknya dia cocok masuk grup kita,” ujar seorang ibu dengan rambut yang tergerai rapi dan tas mahal yang mencolok.
Mereka lalu mendekati Kirana dengan tersenyum lebar. Kirana yang awalnya asyik menatap Naya tiba-tiba terkejut ketika salah satu dari mereka menyapanya.
“Selamat pagi, Bu! Maaf mengganggu. Saya Bella, ini teman-teman saya, Rina, Tania, dan Vivi,” ucap Bella dengan ramah.
“Oh, selamat pagi juga. Saya Kirana," jawab Kirana seraya tersenyum sopan.
Bella lalu duduk di samping Kirana, sedangkan yang lain mengambil posisi mengelilingi mereka.
“Kami sering melihat Ibu di sini, tapi belum sempat kenalan. Anak Ibu yang mana ya?,” tanya Tania.
“Yang rambutnya dikepang itu, namanya Naya,” jawab Kirana sambil menunjuk ke arah Naya yang sedang bermain ayunan.
“Wah, lucu sekali! Anaknya aktif ya,” puji Vivi.
Kemudian, Bella mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Kirana dan berkata, “Begini, Bu Kirana, kami ini kelompok ibu-ibu yang sering kumpul. Biasanya kami ngobrol, ngopi bareng, atau kadang bikin acara kecil-kecilan untuk anak-anak. Kami rasa, Ibu cocok sekali bergabung dengan kami.”
“Oh, terima kasih atas undangannya. Tapi saya ini cukup sibuk dengan pekerjaan, jadi mungkin tidak bisa sering ikut acara," jawab Kirana tetap sopan.
“Ayolah, Bu. Tidak perlu setiap waktu. Kalau ada acara besar saja,” bujuk Rina.
“Lagipula, kami ini bukan hanya berkumpul biasa. Kami sering berbagi info penting soal pendidikan, investasi, bahkan bisnis. Ibu Kirana kan kelihatan pebisnis juga,” tambah Bella dengan nada menggoda.
Kirana pun diam sejenak. Tawaran itu terdengar baik, tapi ia tidak terlalu suka terlibat dalam kelompok-kelompok yang cenderung seperti mereka itu. Namun, ia juga tidak ingin dianggap sombong.
“Baiklah, saya coba bergabung dulu. Tapi saya tidak janji bisa sering hadir,” jawab Kirana akhirnya.
Semua ibu-ibu itu pun tersenyum puas. “Bagus! Besok kita ada acara brunch di kafe dekat sini. Datang ya, Bu Kirana. Nanti saya kirim lokasinya,” ucap Bella.
Kirana hanya tersenyum kaku sambil melihat kepergian mereka. “Semoga ini bukan keputusan yang salah,” gumamnya sambil menatap Naya yang kini tertawa ceria di ayunan.
Keesokan harinya, Kirana tiba di kafe mewah yang sudah disebutkan. Tempatnya elegan dengan interior serba emas dan putih.
Para ibu-ibu itu sudah menunggu di meja besar dengan berbagai hidangan lezat yang sudah tersaji di depan mereka.
“Bu Kirana! Akhirnya datang juga,” sapa Bella dengan antusias.
Kirana pun tersenyum kemudian duduk di kursi yang sudah disiapkan untuknya. Obrolan mereka pun mulai mengalir dan membahas banyak hal, dari sekolah anak-anak hingga investasi properti.
“Bu Kirana, saya dengar Ibu punya usaha catering. Apa benar?,” tanya Vivi penasaran.
“Iya, betul. Usaha kecil-kecilan saja,” jawab Kirana merendah.
“Kecil? Saya dengar dari guru TK, catering Ibu itu sangat terkenal. Mungkin kita bisa pesan untuk acara keluarga nanti,” ujar Bella.
“Oh, tentu. Saya senang sekali kalau bisa membantu,” balas Kirana sambil tersenyum.
Meski awalnya ragu, Kirana merasa pertemuan itu cukup bermanfaat. Tapi ia tetap menjaga sikap profesional, sambil mengamati apakah kelompok ini benar-benar baik untuknya atau hanya sekadar basa-basi.
Sementara itu, di balik senyuman mereka, beberapa ibu-ibu mulai membicarakan Kirana dalam hati, mengukur seberapa jauh dia bisa menjadi bagian dari kelompok mereka.
Bersambung....
serahkan semua sama Allah minta petunjukNya. Allah tidak diam. tugasmu hanya berdoa meminta... selebihnya biar Allah yg bekerja 💪💪💪
aku sudah mampir ya kak, ceritanya baguss😍
jangan lupa mampir ya kak kecerita aku..lagi belajar menulis novel 😊🤭
ceritanya menarik 😍