"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jurusan
“Driing...driiing...driing,” suara dering dari ponsel Hamzah memecah keheningan sore yang tenang. Di sebuah kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi dan kue segar, Hamzah melirik tas kecilnya yang terletak di samping meja. Dengan sedikit rasa penasaran, ia membuka tas tersebut untuk mengambil ponsel. “Aku angkat telepon dulu sebentar ya,” ucapnya kepada Robi, sahabatnya yang sedang asyik menikmati suasana kafe.
Ponsel Hamzah masih berdering, dan dari layar ponsel, terlihat nomor tak dikenal memanggilnya. “Ini nomor siapa ya?” gumam Hamzah sambil mengernyitkan dahi.
“Sudah, diangkat dulu sana Zah,” sahut Robi dengan nada menggoda, sambil menatap Hamzah dengan penuh harap agar ia segera menjawab.
Dengan sedikit keraguan, Hamzah menekan tombol hijau. Suara panggilan berlangsung, tetapi hanya keheningan yang menyambutnya. “Halo, ?” ucap Hamzah mengawali pembicaraan. “Halo?” lanjut Hamzah, suaranya mulai terdengar bingung. “Halo? Dengan siapa di sana?” tanya Hamzah lagi, namun jawaban tetap tak kunjung datang. Sesaat setelah itu, panggilan berakhir dengan sendirinya.
“Lhoh, kok dimatiin? Padahal dia belum berbicara sama sekali,” ucap Hamzah dengan nada kecewa.
“Siapa Zah?” tanya Robi dengan rasa ingin tahu yang menggelitik.
“Tidak tahu Rob, dia hanya diam. Paling cuma nomor nyasar,” timpal Hamzah sambil menggelengkan kepala seraya menaruh kembali ponsel kedalam tas.
“Sudah biarkan saja,” ucap Robi sambil kembali fokus pada minumannya.
Di tengah situasi tersebut, Daisy, teman mereka yang duduk di seberang meja, tiba-tiba berseru, “Eh, itu pesanan kita sudah datang!”
“Waah, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang,” spontan Robi bersorak gembira.
Pelayan kafe itu muncul dengan senyum lebar sambil membawa nampan berisi hidangan lezat. “Ini pesanannya,” ucap pelayan seraya menaruh pesanan di atas meja. “Selamat menikmati.”
Di atas meja tersaji berbagai macam makanan yang tampak menggugah selera: pasta krim yang berkilau, salad segar berwarna-warni, dan kue cokelat yang tampak sempurna. Elena, salah satu teman mereka, mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan mulai menata beberapa makanan agar terlihat lebih menarik.
“Baik, sudah cantik,” ucap Elena senang melihat hasil tataannya.
“Cekrek...cekrek...cekrek,” suara memotret dari ponsel Elena memenuhi udara kafe.
“Hmmm, mulaiii..., update status duluuu,” sahut Daisy menggoda sambil tertawa kecil.
“Hehehe..., lagian ini begitu cantik, jadi sayang kalau tidak difoto dulu,” timpal Elena membela diri dengan senyum manis di wajahnya.
Suasana penuh tawa dan kehangatan menyelimuti mereka saat makanan lezat itu mulai dinikmati. Namun di sudut hati Hamzah, rasa penasaran tentang panggilan misterius itu masih menggelayuti pikirannya. Siapa sebenarnya pemilik nomor tak dikenal itu? Pertanyaan ini terus berputar dalam benaknya meski ia berusaha menikmati momen bersama teman-temannya.
Di luar jendela kafe, langit mulai gelap seiring dengan datangnya malam. Suara deru kendaraan dan langkah kaki orang-orang berlalu-lalang menciptakan melodi kehidupan kota yang tak pernah berhenti. Namun bagi Hamzah, malam ini terasa berbeda—ada sesuatu yang menunggu untuk terungkap di balik layar ponselnya.
***
Suasana di kafe itu begitu menyenangkan dan hangat. Hamzah tertawa terbahak-bahak melihat tingkah kocak Daisy dan Elena yang saling menggoda. Keduanya tampak akrab meski baru pertama kali bertemu, seolah ikatan persahabatan telah terjalin di antara mereka. Dari tempat duduknya, Elizabeth memperhatikan Hamzah dengan penuh rasa ingin tahu, hatinya berdebar-debar setiap kali Hamzah melontarkan tawa cerianya.
Daisy, yang kebetulan duduk di sebelah Elizabeth, tidak bisa menahan diri untuk menggoda. “Ehemm,” dehem Daisy sambil menyenggol tangan Elizabeth dengan nakal.
Elizabeth langsung tersipu malu, wajahnya memerah. “Apaan sih?” tanyanya, berusaha menutupi rasa malunya dengan nada canggung.
Spontan, Daisy tertawa keras. “Hahaha,” suaranya menggelegar, membuat Elena ikut tertawa.
Elena yang tidak mau ketinggalan lantas bertanya, “Ehh, ada apa nih? Kasih tahu dooong!” matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Enggak, itu lho ada nyamuk,” jawab Daisy sambil menepuk-nepuk tangannya di udara, berusaha mengusir sesuatu yang tidak ada.
“Ishh, engga asyiiik,” timpal Elena dengan wajah cemberut, merasa sedikit kecewa karena tidak mendapatkan informasi yang diharapkannya.
“Sudah, sudah. Kalian ini malah pada ribut sendiri,” sahut Elizabeth melerai mereka dengan senyum lembut. Ia tidak ingin suasana ceria ini terganggu oleh keributan kecil.
“Kalian diam dulu. Lihat, itu Hamzah ingin bicara,” lanjut Elizabeth, mengalihkan perhatian semua orang ke Hamzah yang kini terlihat sedikit ragu untuk berbicara.
“Tahu aja kamu kalau Hamzah ingin bicara,” timpa Daisy dengan nada menggoda.
“Ehhh...mmm..., Gimana Zah?” ucap Elizabeth canggung, berharap Hamzah bisa menjelaskan sesuatu yang menarik.
Hamzah yang merasa dipanggil oleh Elizabeth melirik ke arahnya. Ia mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan. “Mmm, jadi begini—” Ia meletakkan gelasnya di atas meja dengan hati-hati, “Sebelumnya, aku dan Robi ingin meminta maaf karena tadi sempat mengikuti kalian bertiga.”
“Iya, tidak apa-apa kok Zah,” jawab Elizabeth dengan senyum tulus.
“Dengan alasan?” tanya Daisy penasaran.
“Tadi, sebelum kalian berjalan melewati kita berdua, kita sempat mencari-cari tempat untuk ditinggali selama masa kuliah. Namun belum membuahkan hasil sampai akhirnya kalian lewat,” ucap Hamzah mencoba menjelaskan dengan nada serius.
“Lalu hubu—” sahut Daisy yang kemudian dipotong oleh Elizabeth.
“Biarkan Hamzah menyelesaikan terlebih dahulu,” tegas Elizabeth sambil memberi tatapan penuh pengertian kepada Daisy.
Hamzah tersenyum lebar. “Aku berpikir, siapa tahu kalian ingin berjalan pulang ke rumah sewa kalian. Dan jika itu benar, nanti kita akan bertanya apakah masih ada slot kamar untuk disewa.”
“Tapi, kenapa kamu berpikir kalau kita tinggal di sebuah rumah sewa?” tanya Elena menyelidik dengan alis terangkat.
“Ya sekilas, penampilan kalian terlihat seperti seorang mahasiswa,” jawab Hamzah dengan nada santai namun penuh keyakinan.
“Mmm...” ucap Daisy sambil mengangguk pelan.
“Tebakan kamu benar Zah, kita adalah mahasiswi di Oxford.” Lanjut Daisy dengan bangga.
“Dan tebakan kamu juga benar kalau kita menyewa tempat di sini. Kecuali Elizabeth,” sahut Elena menambahkan informasi penting itu.
Seketika Hamzah melirik ke arah Elizabeth dengan rasa ingin tahu yang mendalam. “Kamu tinggal di sini?” tanyanya penuh perhatian.
“Mmm..., iya, aku tinggal di dekat sini Zah,” jawab Elizabeth pelan namun jelas.
Hamzah mengangguk paham dan kembali melihat ke arah Daisy dan Elena. “Mmm, apakah masih ada kamar kosong di sana?”
“Kalian membutuhkan berapa kamar?” ucap Daisy sambil memikirkan kemungkinan yang ada.
“Kita membutuhkan dua kamar. Tapi jika hanya tersisa satu kamar pun tidak apa-apa,” jawab Hamzah dengan nada optimis.
“Mmm..., kalau tidak salah masih ada kamar yang kosong. Sebentar, aku telepon Bibi aku dulu. Kebetulan pemiliknya adalah bibi aku,” lanjut Daisy seraya meraih ponsel yang tergeletak di depannya dengan cepat dan cekatan.
“Alhamdulillah,” gumam Hamzah bersyukur dalam hati atas kemungkinan baik ini.
Beberapa saat kemudian terdengar suara Daisy membuka obrolan dengan bibi. “Halo Bi.”
“Iya halo Daisy. Ada apa? Mau minta uang jajan lagi?” jawab Bibi bercanda dari ujung telepon.
“Hehehe, enggak kok Bi,” lanjut Daisy malu-malu namun tetap ceria.
“Ini Bi, Daisy punya teman yang sedang mencari tempat tinggal. Apakah disana masih ada tempat Bi?” tanyanya langsung tanpa basa-basi lagi.
“Sebentar Bibi cek dulu.”
“Tunggu sebentar ya,” ucap Daisy kepada Hamzah sambil menunggu jawaban dari bibi.
Hamzah mengangguk paham dan menunggu dengan penuh harap. Beberapa saat kemudian terdengar suara Bibi memanggil kembali. “Halo Daisy.”
“Iya Bi, bagaimana Bi?” tanyanya penuh semangat.
“Setelah Bibi cek, ini masih sisa dua kamar,” lanjut Bibi memastikan informasi tersebut.
“Waahh, baik Bi! Daisy ambil semua ya Bi.” Suara Daisy penuh kegembiraan dan harapan.
“Oke, segera bibi urus persiapannya agar teman kamu bisa segera beristirahat.”
“Waahh, terimakasih banyak Bi.”
“Iya Daisy.”
“Sudah dulu ya, ini bibi masih ada beberapa urusan,” lanjut Bibi sebelum menutup percakapan mereka.
“Iya Bi,” jawab Daisy seraya menutup panggilan dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Bagaimana Daisy?” tanya Hamzah tak sabar ingin tahu hasil pembicaraan tersebut.
“Huuft..., kalian memang beruntung,” jawab Daisy sambil menghela napas lega.
“Masih ada kamar?” lanjut Hamzah berharap tinggi agar semua berjalan lancar.
“Iya—” ia meletakkan ponselnya di atas meja dengan percaya diri “Kata Bibi aku masih ada dua kamar kosong. Bibi juga bilang kalau ia akan segera mengurus kamar kalian,” lanjut Daisy menjelaskan dengan nada ceria.
“Waaahh, alhamdulillah..., terimakasih banyak ya,” timpal Hamzah bahagia tak terkira mendengar kabar baik itu.
“Iya, kita kan teman,” sahut Daisy tersenyum tulus kepada Hamzah dan teman-temannya. Suasana hangat dan akrab semakin terasa saat mereka saling bertukar senyum penuh harapan akan masa depan yang lebih cerah bersama-sama.
***
“Oh iya—,” Elizabeth menaruh gelas di atas meja kayu yang berkilau, matanya berkilau penuh rasa ingin tahu. “Tadi kamu mengambil jurusan apa, Zah?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh semangat.
“Aku mengambil jurusan Islamic Studies and History,” Hamzah menjawab dengan percaya diri, lalu melirik ke arah Robi yang sedang asyik menikmati makanan. “Kamu mengambil jurusan apa, Robiii?” suaranya mengalun ceria.
Robi, yang tengah menelan makanan dengan lahap, mengisyaratkan tangan, tanda menyetop ucapan Hamzah. “Sebentar—,” ia berkata sambil menelan sisa makanan di mulutnya. “Aku mengambil jurusan Master of Business Administration... Aahh, enak sekali makanan ini,” Robi menambahkan dengan senyum puas. Ia meraih segelas minuman di depannya, meneguknya hingga habis sebelum melanjutkan, “Aku mengambil jurusan Master of Business Administration, Zah. Semuanya.” Suaranya kini dipenuhi kebanggaan.
“Waahh, kamu suka bisnis ya?” Elena menyahut dengan antusias, matanya berbinar seolah mendengar kabar baik.
“Iya, aku begitu tertarik di dunia bisnis,” jawab Robi dengan bangga, nada suaranya menunjukkan keyakinan yang mendalam.
“Jadi, kamu mengambil jurusan administrasi bisnis ya Rob,” ucap Hamzah sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seolah menyetujui pilihan Robi.
“Iya Zah,” jawab Robi singkat namun tegas.
“Nahh, kalau begini kan aku bisa tidur nyenyak,” lanjut Hamzah bercanda, membuat suasana semakin hangat dan akrab. Tawa mereka bersatu dalam kebersamaan yang sederhana namun berarti. Hamzah melanjutkan ucapannya dengan nada menggoda, “Kalian sudah tahu jurusan kita. Sekarang gantian kalian.” Ia memandang tiga wanita di depannya dengan ekspresi penuh harap.
“Siapa dulu nih?” tanya Daisy dengan nada penasaran.
“Ya terserah kalian,” timpal Hamzah sambil mengangkat bahu.
“Mmm, baiklah. Aku dulu ya. Aku program sarjana jurusan chemistry,” Daisy mengawali dengan suara percaya diri.
“Aku juga! Aku juga sama dengan Daisy. Kita satu kelas!” sahut Elena antusias, senyumnya merekah lebar seperti mentari pagi.
“Berarti tinggal—,” Hamzah menatap ke arah Elizabeth. “Elizabeth, kamu ambil jurusan apa?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
“Aku mengambil jurusan kedokteran, Zah,” jawab Elizabeth malu-malu, wajahnya memerah seolah sinar matahari menyentuh kulitnya.
“Waahh, hebat dong!” spontan Hamzah kagum, suaranya menggema dalam ruangan kecil itu.
“Hehehe, terimakasih,” sahut Elizabeth malu, senyumnya tak bisa disembunyikan meskipun ia berusaha terlihat tenang.
Di sela-sela obrolan mereka yang hangat dan penuh tawa itu, tiba-tiba ponsel Hamzah kembali berdering. Suara deringnya memecah kehangatan suasana. Dengan cepat ia meraih ponsel yang ia taruh di dalam tas. Setelah melihat layar ponselnya, matanya melebar; kali ini bukan nomor tak dikenal yang menelepon.
“Ririn...,” gumam Hamzah pelan, jantungnya berdegup kencang. Tanpa berpikir panjang lagi, ia berdiri dari duduknya, meninggalkan obrolan hangat itu untuk menjawab panggilan yang mungkin akan mengubah segalanya.
***