Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦢꦸꦮꦥꦸꦭꦸꦱꦼꦩꦧꦤ꧀
Sebuah akar pohon besar yang mencuat dari tanah, dan sebelum ia sempat menyadarinya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Mela terjatuh ke belakang dengan keras, keranjang jamunya terlempar dan botol-botolnya berguling ke tanah.
Herlic menghentikan langkahnya, seolah terkejut melihat Mela jatuh. Untuk sesaat, ia hanya berdiri diam, memperhatikan gadis itu yang sedang berusaha bangkit. Tapi ketika Mela mencoba bergerak, ia terlihat meringis kesakitan, jelas ada sesuatu yang salah dengan kakinya.
Herlic mendekat, kali ini dengan langkah lebih cepat. "Mela," panggilnya, suaranya tidak lagi terdengar dingin. "Kau terluka?"
"Aku tidak apa-apa," sahut Mela sambil menggeser tubuhnya mundur, mencoba menjauh dari Herlic. Wajahnya menahan nyeri, tapi ia tetap memaksakan diri untuk terlihat kuat.
Herlic mendengus, menatap gadis itu dengan sorot mata tajam. "Ah, dasar perempuan. Selalu bilang tidak apa-apa, padahal jelas-jelas kau terluka," katanya sambil melipat kedua tangannya.
Mela tahu apa yang ia lakukan tadi—melempar botol jamu ke tubuh Herlic—adalah tindakan yang sangat berani, bahkan kurang ajar. Dalam situasi seperti ini, ia sadar bahwa Herlic, dengan kekuasaan dan posisinya, bisa dengan mudah mengalahkannya. Apalagi sekarang, ketika ia terluka dan tidak bisa banyak bergerak.
Herlic kemudian mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya, senjata yang terikat rapi. Gerakannya membuat mata Mela membelalak lebar. Pikiran-pikiran buruk langsung melintas di kepalanya. "Apakah mungkin aku akan mati sekarang?" pikirnya sambil memegangi kakinya yang terkilir.
Ia menatap Herlic penuh ketegangan. "Kau mau menembakku?" tanyanya, suaranya bergetar.
Herlic memutar matanya dan mendesah panjang. "Tidak," jawabnya datar. "Siapa yang bilang aku mau menembakmu? Aku hanya memperbaiki ikatan senjataku ini." Ia mengangkat senjatanya, menunjukkan bahwa ia sedang mengencangkan tali pengikatnya.
Mela terdiam, perasaan lega bercampur rasa malu menyeruak di dadanya. Namun, ia tetap berjaga-jaga, tidak sepenuhnya percaya pada niat Herlic.
Setelah selesai dengan senjatanya, Herlic berbalik ke arah Mela dan mengulurkan tangannya. "Sudah, ayo bangkit," katanya sambil menatapnya dengan serius. "Aku tidak punya waktu sepanjang hari."
Mela mencoba meraih tangannya, tetapi saat ia mencoba berdiri, rasa sakit di kakinya terlalu tajam untuk ditahan. Ia meringis dan jatuh kembali ke tanah.
"Ah, kau ini," gumam Herlic, tampak jengkel. "Kau benar-benar tidak bisa berdiri, ya?"
Herlic berjongkok, membalikkan badannya ke arah Mela. "Naiklah ke punggungku. Aku akan menggendongmu," katanya tanpa banyak basa-basi.
Mela terkejut mendengar tawaran itu. "Aku tidak butuh bantuanmu," jawabnya dengan nada keras kepala.
"Sudah, jangan banyak bicara. Kau tidak punya pilihan lain sekarang," balas Herlic tegas. "Cepatlah, atau aku akan pergi dan meninggalkanmu di sini."
Mela menatap punggung Herlic dengan ragu-ragu. Namun, ia tahu bahwa dengan kakinya yang seperti ini, ia tidak akan bisa berjalan sendirian. Akhirnya, dengan berat hati, ia mengulurkan tangannya dan merangkak naik ke punggung Herlic.
Belum sempat Herlic melangkah lebih jauh sambil menggendong Mela, ia mendengar suara langkah kaki berat yang mendekat. Dalam hitungan detik, sekelompok prajurit Belanda muncul dari tikungan jalan, membawa senapan dan mengenakan seragam lengkap. Mereka adalah prajurit yang sedang berpatroli, mengawasi para pribumi yang tengah membangun jembatan di dekat area itu.
Salah satu dari mereka melihat Herlic, dan dengan cepat memberi isyarat kepada yang lain untuk berhenti. "Tuan Herlic!" seru salah satu prajurit sambil menghampirinya.
Herlic mendesah panjang, wajahnya menunjukkan rasa kesal yang tidak bisa ia sembunyikan. "Aih, sialan memang mereka ini," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Ketika para prajurit itu semakin dekat, mereka memandang dengan bingung ke arah Mela yang digendong di punggung Herlic. Salah satu dari mereka, seorang perwira muda, mendekat dan berbicara dengan suara heran. "Tuan Herlic, apa yang sedang Anda lakukan? Bukankah ada aturan bahwa kita tidak boleh membantu atau menolong pribumi?"
"Lalu mengapa jika aku menolong dia, aku tidak masalah jika harus dikenakan konsekuensinya," ujar Herlic dengan suara yang tegas, namun ada nada penuh kepercayaan diri yang mengalir dalam ucapannya.
Perwira muda yang tadi berbicara dengan Herlic kini tampak terdiam, tak bisa lagi melanjutkan protesnya. "Tapi ini kan aturan, Tuan. Aturan yang jelas," jawabnya dengan suara lebih rendah.
"Aku tahu," balas Herlic dengan senyuman tipis yang tidak menyiratkan rasa menyesal sedikit pun. "Tapi apasalahnya jika aku membantu Mela? Kalian tidak perlu mengadu pada William, aku sendiri yang akan memberitahu sepupuku itu."
Dengan kata-kata itu, Herlic memandang para prajurit di depannya. Ia tahu betul bahwa posisinya jauh lebih tinggi daripada mereka, bahkan lebih tinggi dari perwira muda itu, yang masih tampak ragu. Namun, ia juga tahu bahwa kendali atas para prajurit ini bukan hanya soal kekuatan, melainkan juga kewibawaan dan pengalaman.
Para prajurit itu saling pandang, ragu-ragu, tetapi akhirnya mereka mengangguk. "Baiklah kalau begitu, Tuan. Kami tidak bisa membantah Anda. Jika itu keputusan Anda, kami akan mengikuti."
Para prajurit itu memberi hormat singkat sebelum berbalik dan melanjutkan patroli mereka. Namun, beberapa dari mereka masih melirik ke arah Mela dengan tatapan curiga sebelum akhirnya pergi.
Setelah para prajurit itu pergi, Herlic melanjutkan langkahnya, kali ini dengan wajah yang lebih gelap dari sebelumnya. "Lihat? Bahkan saat aku mencoba menolongmu, mereka selalu ikut campur," katanya dengan nada dingin.
Mela, yang merasa canggung karena kehadirannya di punggung Herlic, akhirnya memutuskan untuk berbicara. Suaranya masih terdengar agak kasar dan penuh kekesalan. "Kenapa kau mau menolongku? Padahal aku sudah kurang ajar tadi sama kamu?" tanyanya, mencoba memahami alasan Herlic.
Herlic melangkah dengan tenang, seolah tidak terganggu dengan pertanyaan itu. "Aku juga tidak mau," jawabnya singkat. "Kau pasti akan meminta bayaran setelah aku menolongmu."
Mela mendengus mendengar itu, namun rasa kesal di dadanya semakin membuncah. "Mela, Mela, kau ini, pikiranmu terlalu buruk," ujar Herlic, sedikit tersenyum dengan nada yang lebih ringan.
"Tapi memang begitu," balas Mela dengan cepat, suaranya tajam. "Kan kau memang buruk. Jika pribumi seperti kami tidak membayar pajak tepat waktu, dengan tega kau habisi bahkan kau siksa. Dan perempuan-perempuan yang bersangkutan dengan urusanmu, akan kalian nodai!"
Mela mengucapkannya dengan tanpa menahan kata-kata itu. Tanpa sadar, ia mengungkapkan kebenciannya terhadap apa yang terjadi selama ini, betapa para penjajah begitu brutal terhadap orang-orang seperti dirinya.
Herlic terdiam mendengarnya, ekspresinya berubah menjadi sedikit berbeda. Ia berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis. Ini pertama kalinya ada seseorang, terutama seorang perempuan seperti Mela, yang berani mengungkapkan kata-kata itu langsung ke wajahnya. Tentu saja, selama ini ia biasa mendengar kekesalan dari pribumi, tetapi tak pernah dalam bentuk yang begitu blak-blakan dan tanpa rasa takut.
Namun, senyum Herlic bukanlah senyum yang ramah, melainkan lebih kepada rasa kagum terhadap keberanian Mela. Ia mengangguk pelan, seolah merenungkan kata-kata Mela. "Kau sangat berani, Mela. Tidak banyak yang berani mengatakan hal-hal seperti itu padaku," ujarnya pelan, meski suaranya tetap terdengar penuh kewibawaan.
Mela, yang merasa tidak ada gunanya untuk terus diam, membalas dengan lantang, "Aku tidak takut padamu, Herlic. Aku tahu apa yang kalian lakukan pada kami, dan aku tidak akan diam begitu saja."
"Bagus."