Awalnya Elodie adalah ibu rumah tangga biasa. Istri yang penurut dan ibu yang penuh kasih. Namun sebuah kecelakaan mengubah segalanya.
Sikap dan Perilaku wanita itu berubah 180 derajat. Melupakan segala cinta untuk sang suami dan putra semata wayangnya. Mulai membangkang, berperilaku sesuka hati seingatnya di saat 19 tahun. Namun justru itu memberi warna baru, membuat Grayson menyadari betapa penting istri yang diremehkannya selama ini.
"Mommy."
"Nak, aku bukan mommy kamu."
"Elodie Estelle."
"Grayson Grassel, ayo kita bercerai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Clara memeluk tubuh sang sahabat dengan erat. Melihat kondisi memprihatinkan Elodie malah ia yang sakit hati sendiri.
Rambut dan pakaian acak-acakan, bibir yang lecet hingga leher yang ada bekas gigitan. Jika Elbert tidak mengatakan siapa yang melakukannya, ia akan mengira sahabatnya ini digigit vampire seperti dalam film.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Clara yang dijawab anggukan kepala Elodie. Wanita itu belum mau berbicara sejak kembali, ia hanya menjawab dengan mengangguk dan menggeleng saja.
"Cedric, Cedric di mana?" tanya Elodie setelah lama terdiam. Wanita itu baru menyadari sang putra yang tidak berada di rumah.
Elbert tersenyum, pria itu mengelus sayang kepala sang adik. "Aku sudah menyuruh asistenku untuk menjemputnya. Jadi kamu tenang saja!" jelas Elbert yang membuat Elodie lega.
"Aku titip Cedric pada kalian dulu. Sepertinya hari ini aku butuh waktu sendiri."
Clara memandang ke arah Elbert, jujur saja sejak ia tahu pria ini adalah kakak sang sahabat, ia sudah tidak berinteraksi lagi dengannya. Tapi sekarang karena permintaan Elodie sepertinya mau tidak mau harus dilakukan.
Gadis itu mengangguk. "Tapi kamu yakin mau sendiri dulu?"
"Hem, aku butuh waktu sendiri. Setelah mandi aku akan tidur. Kalian tenang saja!" balas Elodie dengan wajah meyakinkan, namun suaranya masih terdengar lemas dan lembut.
Elbert enggan, namun Clara segera menarik tangannya keluar.
"Apa yang kamu lakukan? Aku tidak mungkin meninggalkannya sendiri dalam keadaan seperti itu." Elbert marah setelah keluar dari kamar sang adik. Pria itu ingin masuk kembali namun Clara kembali menahan.
"Kamu tidak lihat Elli sedang butuh waktu sendiri? Jika kita memaksa menemaninya, dia tidak akan bisa berpikir jernih. Kamu tahu sendiri bagaimana kepribadian adikmu."
Elbert terdiam, apa yang dikatakan Clara memang benar. Adiknya ini ketika ada masalah justru lebih senang sendiri. Besoknya wanita itu akan kembali semula dengan berbagai ulah yang membuat Elbert tanpa sadar tertawa kecil saat mengingatnya.
"Kamu tertawa?" tanya Clara dengan bingung. Perasaan gadis itu tidak melucu, sedangkan di sana hanya ada mereka berdua.
Elbert menatap Clara dengan senyum yang tak pudar. Pria itu mendekatkan wajahnya hingga Clara mematung. "Menurutmu?" tanya Elbert membuat Clara berkedip bingung.
Saat gadis itu sadar, Elbert sudah meninggalkannya jauh di depan sana. "Hei, Elbert!" pekiknya yang membuat sang empu di depan tertawa kecil.
.
.
.
Elodie keluar dari kamar mandi dengan kimono yang melekat di tubuhnya juga rambut yang terbungkus dengan handuk. Wanita itu lalu duduk di tepi ranjang, memejamkan mata dan menghirup wewangian lavender di kamarnya.
Perasaannya sudah jauh lebih baik setelah berendam air hangat hampir setengah jam. Wanita itu mengambil ponsel, hendak mencari hiburan di media sosial.
"Axel?" gumamnya dengan kaget setelah beberapa saat mengusap layar ponsel.
Tanpa menunggu ia menghubungi pria itu, sekali berbunyi juga langsung mendapat jawaban. "Halo, Elli."
"Xel, kamu kenapa bisa jadi babak belur seperti itu?" tanya Elodie to the point. Pria itu terluka di restorannya, tentu ia harus tahu. Apalagi kalau-kalau semua itu perbuatan Grayson jahat itu.
Axel mendesis, sebenarnya wajahnya tidak sampai separah itu. Hanya lebam-lebam sedikit juga cakaran saat para fans yang ingin mendekatinya, malah berkumpul dan mendorong hingga ia yang berakhir jadi korban.
Pria itu mengalihkan panggilan biasa ke panggilan video. Dalam sekejap sudah terpampang wajah Elodie yang mengerutkan kening.
"Kenapa? Wajahku tidak papa, kan? Aku masih tampan paripurna seperti biasanya," ujar pria itu yang membuat Elodie mendengus.
"Di media sosial, kamu seperti habis digebuki massa."
"Yang harus kau tahu itu, selain punya fandom besar. Aku juga punya haters yang banyak, foto yang beredar itu ulah mereka."
Elodie membentuk mulutnya menjadi huruf O. Wanita itu berniat mengakhiri panggilan namun Axel belum mau. Pria itu memperhatikan wajah cantik mantannya itu hingga menyadari ada yang aneh.
"Kau, mulut maksudku bibir kau kenapa?" tanya pria itu yang membuat Elodie berpikir keras.
"Aku jatuh di kamar mandi tadi, jadi tidak sengaja kebentur bathtub."
"Tapi kau tidak papa, kan?"
Elodie menggeleng, ia benar-benar hanya menunjukkan wajahnya agar Axel tidak banyak bertanya kalau melihat bekas gigitan di lehernya nanti.
Sementara Axel manggut-manggut saja, pria itu kembali bertanya berbagai hal hingga keduanya saling berbagi cerita. Bagaimana Axel yang memutuskan menjadi aktor setelah putus dengannya. Juga bagaimana perjalanan karirnya hingga bisa seterkenal sekarang.
"Ngomong-ngomong, kamu kenal temanku Glenca kan? Clara bilang dia pindah ke luar negeri dan putus kontak dengan kami. Siapa tahu kamu ada kontaknya yang sekarang?"
Axel sedikit melotot mendengar perkataan Elodie. Namun ia berusaha menetralisir wajahnya hingga kembali terlihat biasa.
"Tidak, aku juga tidak punya kontaknya," balas pria itu membuat Elodie menarik napas kecewa. Padahal ia ingin sekali bertemu sahabatnya yang sejak kecil itu.
.
.
.
Di tempat lain, pria yang benar-benar babak belur, berjalan masuk ke GG Group dengan pandangan datar. Ia tidak peduli dengan pandangan aneh dari para karyawan, bahkan berbicara pun sama sekali tidak sejak keluar dari DieCla Fried Chicken.
Sementara asisten Al yang mengikuti dari belakang, kondisinya tak jauh berbeda. Wajahnya lebam, sudut bibirnya juga berdarah karena berusaha menahan Elbert tadi.
Keduanya berjalan masuk ke dalam lift, asisten Al yang merasakan ponselnya bergetar merogoh benda persegi panjang itu.
"Halo." Pria itu terdiam sejenak setelah menyapa lawan bicaranya.
"Tidak, maksud saya kenapa dibatalkan tiba-tiba? Bukankah kalian sudah sepakat akan memberikan proyek itu pada perusahaan kami?" Asisten Al berkata dengan suara menekan.
Gray yang berdiri di samping sedikit memahami. Dari awal ia sudah menebak bahwa Felix George hanya bermain-main dengannya. Pria itu sama sekali tidak berniat memberikan proyek pembangunan villa itu padanya.
"Tuan ...." Asisten Al yang mengakhiri telepon ingin berkata pada sang tuan, namun Gray sudah mengangkat tangannya duluan.
"Aku sudah tahu. Dari awal dia memang tidak berniat memilih perusahaan kita."
Asisten Al menghela napas kasar, entah kenapa akhir-akhir ini mereka diterjang ombak masalah terus menerus. Melihat wajah sang tuan yang babak belur juga kelelahan yang tampak jelas, ia juga merasa kasihan.
"Tuan, tidakkah Anda ingin beristirahat dan merawat lukamu dulu?" tanya asisten Al namun tak ada jawaban dari sang tuan.
Gray langsung berjalan keluar saat lift terbuka. Pria itu masuk ke ruangannya tanpa menjawab sapaan sekretaris Bianca. "Jangan biarkan seorang pun menggangguku!" titahnya sebelum menutup pintu ruangannya dengan rapat.
Pria itu berjalan gontai, tak lagi tegak di saat ada orang lain. Sendirian kini membuat sisinya lemahnya keluar, meski tak menangis tapi kedua matanya memancarkan kesedihan mendalam.
Ia melirik sebuah amplop yang terselip dalam map dokumen. Pria itu tertawa, tertawa sedih akan apa yang terjadi sekarang.
"Aku mencintaimu, Gray!"
"Hem, aku juga." Gray membalas dengan suara kecil, tapi Elodie menyenggolnya.
"Katakan dengan jelas! Aku sama sekali tidak bisa mendengarnya!"
Gray gemas sendiri, ia menangkup wajah sang istri dan mengecupnya mesra. "Aku bilang, aku juga cinta sama kamu!"
Elodie tertawa renyah sembari mengusap perutnya yang besar.
Terngiang-ngiang suara ceria wanita yang mendiami hatinya itu. Ungkapan cinta di tahun pertama pernikahan mereka, begitu tulus dan membahagiakan. Namun tadi apa yang dikatakan sang istri?
"Kau tidak pernah mencintaiku?" tanyanya bergumam seorang diri sembari memegang surat cerai dengan tangan bergetar. Ia tentu tidak percaya, tapi tatapan Elodie sekarang benar-benar asing padanya, hingga menghempasnya kembali pada kenyataan.
Gray mengambil bolpoin, mengarahkan ke tempat di mana ia harus menggores meski hati tak rela.
.
.
.