Rania terjebak dalam buayan Candra, sempat mengira tulus akan bertanggung jawab dengan menikahinya, tapi ternyata Rania bukan satu-satunya milik pria itu. Hal yang membuatnya kecewa adalah karena ternyata Candra sebelumnya sudah menikah, dan statusnya kini adalah istri kedua. Terjebak dalam hubungan yang rumit itu membuat Rania harus tetap kuat demi bayi di kandungannya. Tetapi jika Rania tahu alasan sebenarnya Candra menikahinya, apakah perempuan itu masih tetap akan bertahan? Lalu rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5 Menjadi Takut
Perlahan mata yang memiliki bulu mata lentik itu terbuka, langsung terdengar ringisan pelan dari bibirnya merasakan denyutan pusing di kepala. Rania mendudukan tubuhnya sambil memperhatikan kamar yang ditempatinya.
"Aku hampir lupa kalau pulang ke rumah," gumamnya.
Ceklek!
"Akhirnya cucu Nenek bangun," ucap Ima memasuki kamar.
"Sekarang jam berapa Nek?"
"Sudah mau jam sepuluh siang."
"Aku lama juga ya tidur."
"Iya kamu nyenyak banget, ini Nenek saja baru mau berangkat ke kebun teh."
"Kenapa Nenek kerja di sana sih? Kan sudah aku bilang istirahat saja di rumah."
"Nenek bosan di rumah terus, lagian kan Nenek sudah gak sakit lagi."
"Tapi--"
"Sudah jangan khawatirkan Nenek, mending sekarang kamu mandi terus makan ya? Nenek harus berangkat sekarang. Gak papa Nenek tinggal sendiri di rumah?"
Sebenarnya Rania sedikit khawatir, tapi Ia mencoba meyakinkan diri semuanya akan baik-baik saja. Untuk saat ini pun Rania belum mau cerita yang sebenarnya pada Neneknya, menunggu hatinya siap saja.
"Gak papa," ucap Rania sambil berusaha tersenyum.
"Kamu mending di rumah aja kalau gak enak badan."
"Iya Nek."
Setelah Neneknya itu pergi, Rania turun dari ranjangnya. Ringisan pelan terdengar saat merasakan sakit di bagian bawahnya, sepertinya benar Ia sudah hilang keperawanan. Sayang sekali harus hilang dengan kejadian memilukan seperti itu.
Tidak mau terus memikirkannya, Rania mencoba menyibukan diri di rumah. Memang hari ini sedikit kurang enak badan, tapi Rania tetap bisa bersih-bersih rumah. Rania tidak berani keluar, apalagi sampai bertemu orang lain. Ingin menyendiri dulu.
Tok tok!
Rania tersentak mendengar ketukan pintu rumahnya, siapa? Mana mungkin Neneknya, kan bisa langsung masuk. Biasanya Neneknya juga selalu pulang agak sore, dan ini masih siang. Mendengar ketukan pintu yang terus menerus, membuat Rania berjalan pelan untuk melihat dari jendela.
"Pak Rudi? Kenapa dia kesini?" tanyanya seorang diri.
Setelah menguatkan hati, akhirnya Rania pun membuka pintu rumahnya, "Pak Rudi, ada apa ya?"
"Rania, jadi benar kamu pulang? Kenapa? Kan kamu kerja di villa."
"Itu--"
"Tadi pagi saya cek ke villa dan dalam keadaan kotor, selain itu juga Tuan Candra bangun kesiangan dan belum ada makanan apapun. Kamu kenapa?"
"Maaf Pak Rudi, tapi.. Sepertinya saya tidak akan lanjut kerja di sana."
"Apa?"
"Saya mau berhenti kerja di Villa, sekali lagi maaf."
"Tapi kenapa? Kamu bahkan baru kerja di sana beberapa hari loh."
"Untuk alasannya itu cukup pribadi, tapi saya tidak mau bekerja di sana lagi."
"Apa menjadi pelayan seorang diri di sana terlalu berat untuk kamu? Waktu itu kamu terlihat yakin sekali bisa mengerjakan semuanya sendiri."
"Bukan itu Pak, tapi alasan lain."
"Ya alasan apa Rania, katakan dong dengan jelas."
Rania menggeleng pelan, "Maaf sekali lagi, masalahnya sangat berat sampai saya tidak mau lagi bekerja di sana."
Mereka bahkan bicara hal penting ini di ambang pintu. Bukan maksud Rania bersikap tidak sopan, tapi obrolan ini mengalir begitu saja dengan cepat. Dada Rania pun sampai kembang kempis menahan segala emosi, Ia berusaha menguatkan hatinya untuk tidak menangis lagi.
"Tuan Candra menanyakan kamu, dia meminta saya membawa kamu lagi ke sana."
"Sa-saya tidak mau," tolak Rania.
"Rania, apa alasan kamu berhenti kerja di villa karena ada sangkutannya dengan Tuan Candra?"
"Iya."
"Rania, kamu baik-baik saja?"
Perlahan kedua mata Rania berkaca-kaca, dadanya kembali sesak mengingat lagi kejadian malam tragis itu, dimana dirinya yang diperkosa oleh atasannya sendiri. Tetapi Rania mencoba tidak terisak di depan Rudi, ini akan sangat memalukan.
"Baiklah kalau kamu sudah tidak mau bekerja di sana lagi. Saya memang tidak tahu pasti masalah apa, tapi semoga kamu baik-baik saja. Kalau begitu, saya pergi dulu." Rudi pun akhirnya pergi dari sana.
Rania menutup pintu rumahnya, tubuhnya yang bersandar perlahan jatuh ke lantai. Tangisannya pun akhirnya pecah, Rania merasa belum terima sudah mendapatkan fakta dirinya mengalami pemerkosaan. Kalau saja ini mimpi, Rania ingin cepat dibangunkan.
Saat sedang memasak di dapur, perhatian Rania teralih mendengar ketukan pintu rumahnya. Sepertinya itu Neneknya yang pulang bekerja, Rania memilih mematikan kompornya dulu untuk membuka pintu. Tetapi senyumannya langsung menghilang karena ternyata itu adalah Candra.
"Tunggu Rania!" cegah Candra sambil menahan pintunya yang akan ditutup.
"Mau apa Tuan kesini? Tolong pergi!" jerit Rania.
"Rania, saya mau bicara sama kamu."
"Tidak, saya tidak mau. Tolong pergi, saya tidak mau melihat anda."
"Tidak Rania, ini penting. Saya minta maaf."
Mendengar permintaan maaf itu, membuat Rania tersadar jika sepertinya Candra pun sudah mengingat kejadian malam itu. Sayangnya kekuatannya melemah, membuat Candra pun akhirnya mendorong pintu dan masuk begitu saja ke dalam.
"Jangan, jangan apa-apa kan aku lagi hiks!" panik Rania, "Pergi dari sini!"
Melihat sikap perempuan itu yang terlihat ketakutan, membuat dada Candra seperti berdenyut. Rania yang biasanya selalu ceria, kini tampak berbeda. Semua ini gara-gara ulahnya, dan Candra tidak suka melihat suasana ini.
"Rania, saya tidak akan apa-apa kan kamu," ucap Candra dengan suara lembutnya.
"Bohong, kamu laki-laki jahat!"
"Tenang dulu Rania, mari bicara baik-baik ya?"
"Tidak mau, pergi dari sini."
Sebelum Rania berlari pergi, Candra dengan cepat menahan pergelangan tangannya. Mendapatkan sentuhan dari pria itu lagi, membuat tubuh Rania merinding dan rasa takut pun semakin menjadi. Bukannya melepaskannya, Candra malah semakin berani dengan memeluknya. Pria itu hanya ingin menenangkan Rania, tapi bagi perempuan itu ini adalah sinyal bahaya.
"Rania tenanglah, aku tidak akan berbuat apa-apa."
"Hiks tidak mau!"
"Rania saya minta maaf, saya.. Saya benar-benar hilang kendali malam itu. Saya mabuk, saya bahkan baru ingat kejadiannya tadi."
"Mati saja kamu laki-laki brengsek!"
Dikatai seperti itu, membuat Candra sejenak memejamkan matanya. Ia bisa menerima karena saat ini Rania sedang marah dan kesal kepadanya. Perlahan rontaan tubuh perempuan itu yang berada di pelukannya melemah, dan sebelum Rania jatuh pingsan, dengan sigap Candra menahannya.
"Astaga Rania."
Candra menepuk-nepuk pipi perempuan itu, tapi saat ini Rania sudah sudah tidak sadarkan diri. Candra pun menggendongnya dan mencari kamar terdekat, lalu membaringkan Rania di sana. Rasa panik pun perlahan hinggap di dadanya.
"Hah kenapa jadi seperti ini sih? Sialan!" gerutunya sambil mengusap wajah kasar.
Kalau boleh jujur, sebenarnya malam itu Candra tidaklah hilang kendali sepenuhnya, alias dirinya masih setengah sadar. Tetapi pikirannya sudah hilang akal, sampai Ia mengikuti bisikan jahat itu untuk memperkosa Rania. Tetapi Candra tidak menyangka, ternyata Rania sampai terpukul seperti ini.
Sekarang apa yang harus Candra lakukan?