Raka adalah seorang pemuda biasa yang bermimpi menemukan arti hidup dan cinta sejati. Namun, perjalanan hidupnya berbelok saat ia bertemu dengan sebuah dunia tersembunyi di balik mitos dan legenda di Indonesia. Di sebuah perjalanan ke sebuah desa terpencil di lereng gunung, ia bertemu dengan Amara, perempuan misterius dengan mata yang seakan memiliki segudang rahasia.
Di balik keindahan alam yang memukau, Raka menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam konflik antara dunia nyata dan kekuatan supranatural yang melingkupi legenda Indonesia—tentang kekuatan harta karun kuno, jimat, serta takhayul yang selama ini dianggap mitos.
Dalam perjalanan ini, Raka harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk rasa cintanya yang tumbuh untuk Amara, sembari berjuang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik cerita rakyat dan keajaiban yang mengikat mereka berdua. Akan tetapi, tidak semua yang bersembunyi bisa dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ihsan Fadil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Rasa Takut yang Mulai Meningkat
Malam semakin larut, dan ketenangan hutan yang mereka masuki terasa semakin mencekam. Cahaya dari senter mereka memantul di antara pepohonan yang berbatang besar, menggarisbawahi bayangan-bayangan yang bergoyang. Udara terasa lembab dan dingin, seakan memeluk mereka dengan keheningan yang mengancam.
Raka duduk di dekat api kecil yang mereka buat untuk menghangatkan tubuh mereka. Matanya menatap ke dalam nyala api yang berkerlip-kerlip. Di sisi lain, Amara sedang memeriksa kembali peta yang ia bawa, sementara Arjuna duduk dengan posisi lebih tegak, memperhatikan ke dalam kegelapan hutan yang seakan tak berujung.
Sejak pertemuan mereka dengan cahaya biru itu, ada semacam ketegangan yang sulit dijelaskan dalam diri mereka. Ketika cahaya itu menghilang dan mereka melanjutkan perjalanan, ketakutan yang sebelumnya mereka abaikan mulai menjalar di dalam hati.
“Raka,” suara Amara memutuskan keheningan yang tegang. “Kau pikir kita benar-benar siap untuk apa yang akan kita temui selanjutnya?”
Raka menghela napas dan menatap ke arah Amara. “Kita tidak punya pilihan lain, Amara. Ini adalah petunjuk yang kita temukan, dan kita harus mengikuti petunjuk itu. Tapi aku juga merasakan hal yang sama—semakin dalam kita menggali, semakin banyak yang tak kita pahami.”
“Rasa takut ini… rasanya semakin kuat,” sambung Arjuna dengan nada yang bergetar. “Apakah mungkin kita sedang mengalami ilusi? Atau mungkin ini permainan dari kekuatan yang tak kita pahami?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Raka menggeser posisi duduknya sambil memandangi api yang berkerlip. Ia merasakan kebenaran dalam perkataan Arjuna, meskipun ia berusaha untuk tetap optimis dan tidak membiarkan ketakutan menghentikan mereka.
“Rasa takut itu wajar,” ujar Raka, mencoba untuk menghibur mereka. “Kita sedang menghadapi hal yang baru dan tak dikenal. Tapi ketahuilah—takut hanya akan mengalahkan kita jika kita membiarkannya menguasai hati.”
Tiba-tiba, mereka mendengar suara lembut yang bergema di kejauhan. Suara itu seperti desiran angin, namun memiliki nada yang berbeda, seakan-akan ada yang sedang berjalan di dalam kegelapan.
“Dengar itu?” tanya Amara sambil mendekatkan telinganya.
Ketiganya saling berpandangan. Perasaan cemas mulai memadati hati mereka. Arjuna meraih senter yang ia bawa dan mulai memindai ke arah suara tersebut. Namun, yang ia temukan hanyalah kegelapan—tak ada apapun di kejauhan.
“Mungkin hanya binatang,” ujar Arjuna dengan suara berusaha tenang.
Namun, firasat mereka berbeda. Suara itu terdengar semakin dekat. Perlahan-lahan, suasana hutan seperti memiliki kehidupan sendiri—gemerisik di semak, hembusan angin yang membentuk bayangan, serta sensasi kehadiran yang tak mereka pahami.
“Kita harus berhati-hati,” ujar Raka dengan nada tegas. “Ayo, lanjutkan perjalanan kita sebelum kita terjebak di sini lebih lama.”
Mereka bertiga berdiri dan mulai mengemas barang mereka sambil tetap waspada. Ketika mereka berdiri dan memulai langkah menuju jalur yang mereka rencanakan, mereka kembali mendengar suara yang sama, kali ini lebih dekat. Seperti langkah kaki yang mengikuti mereka.
“Arjuna, apakah kau mendengar itu?” tanya Amara dengan nada panik.
Arjuna berhenti sejenak dan mengarahkan senter ke semak-semak. Cahaya itu berputar-putar di udara sebelum menyinari area yang gelap. Tak ada apa-apa.
“Tidak ada apa-apa… atau mungkin ini hanya perasaan kita saja,” ujar Arjuna sambil berusaha menenangkan dirinya.
Tapi hati mereka bertiga tahu bahwa ini bukan perasaan biasa. Mereka bisa merasakan kehadiran yang samar—sebuah energi yang mereka tidak tahu dari mana datangnya.
“Jangan berpikir berlebihan,” ujar Raka sambil memimpin langkah. Namun, hatinya sendiri mulai merasakan hal yang sama—ketakutan yang ia pikir bisa ia kendalikan mulai menggelayuti pikirannya.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka, namun ketegangan semakin memadat di udara. Langkah-langkah mereka terasa lebih lambat, lebih hati-hati, meskipun mereka berusaha untuk berpura-pura tegar. Setiap desiran angin dan setiap gerakan semak membuat mereka terlonjak kaget.
“Kenapa kita seperti ini?” bisik Amara sambil berusaha mengendalikan perasaannya. “Apakah ini bagian dari petunjuk yang harus kita hadapi?”
Raka menghela napas dan mencoba berpikir positif. “Kita harus percaya bahwa ini adalah ujian. Tak ada petunjuk yang mudah. Jika kita tetap tegar dan berusaha memahami ini, kita bisa melewati ketakutan ini.”
Namun, jawaban mereka masih terasa samar. Kegelapan hutan semakin dalam, semakin menekan, dan mereka tak bisa menghilangkan rasa bahwa sesuatu—entah apa—sedang mengintai mereka dari balik bayangan.
Ketika mereka mencapai jalur sempit yang mengarah ke lembah kecil, langkah mereka terhenti. Kegelisahan memenuhi hati mereka. Semuanya terasa salah—sebuah energi yang tak terlihat namun bisa mereka rasakan mulai merayapi perasaan mereka.
“Ini bukan hanya rasa takut biasa,” ujar Arjuna dengan suara bergetar. “Kita sedang menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan.”
Raka memandang ke sisi lembah yang menakutkan dengan dinding yang berlumut. “Kita harus terus berjalan. Tapi tetap waspada.”
Dengan hati yang berdebar, mereka melanjutkan perjalanan. Ketakutan mereka semakin meningkat, namun mereka tahu bahwa berdiam diri sama dengan menyerah.
Dan dalam ketakutan mereka yang mulai mengintai, mereka masih bertanya-tanya:
Kebenaran atau ilusi?
Apakah mereka benar-benar siap menghadapi yang akan datang?
Atau ini hanya ujian yang semakin menguras kekuatan mereka?
Pertanyaan itu menggema di hati mereka, tanpa jawaban yang bisa mereka temukan.
Akhir Bab 16