cerita sampingan "Beginning and End", cerita dimulai dengan Kei dan Reina, pasangan berusia 19 tahun, yang menghabiskan waktu bersama di taman Grenery. Taman ini dipenuhi dengan pepohonan hijau dan bunga-bunga berwarna cerah, menciptakan suasana yang tenang namun penuh harapan. Momen ini sangat berarti bagi Kei, karena Reina baru saja menerima kabar bahwa dia akan pindah ke Osaka, jauh dari tempat mereka tinggal.
Saat mereka duduk di bangku taman, menikmati keindahan alam dan mengingat kenangan-kenangan indah yang telah mereka bagi, suasana tiba-tiba berubah. Pandangan mereka menjadi gelap, dan mereka dikelilingi oleh cahaya misterius berwarna ungu dan emas. Cahaya ini tampak hidup dan berbicara, membawa pesan yang tidak hanya akan mengubah hidup Kei dan Reina, tetapi juga menguji ikatan persahabatan mereka.
Pesan dari cahaya tersebut mungkin berkisar pada tema perubahan, perpisahan, dan harapan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Reina kehausan.
Mentari Chang'an, tanpa ampun, membakar debu jalanan yang bergelombang. Panas yang menyengat menusuk kulit, bercampur dengan aroma rempah-rempah dari warung-warung kecil, asap yang mengepul, aroma kuda, dan keringat manusia. Ibukota itu berdenyut, sebuah lautan manusia yang bergelombang, pakaian dan wajah mereka membentuk kaleidoskop warna dan ekspresi. Di tengah keramaian itu, Kei, dengan wajahnya yang biasanya datar, kini tampak cemas. Ia memimpin rombongannya—Reina, Hanna, Kenzi, Lu Bu, Lu Lingqi, Zhang Liao, dan Chen Gong—kuda-kuda mereka melangkah dengan langkah pasti, namun ketegangan terasa mencekam di udara.
Reina, suaranya nyaris tak terdengar di antara deru kuda dan hiruk pikuk kota, memeluk Kei dari belakang. "Kei…" bisiknya, kepalanya tertunduk lemas. Bibirnya kering dan pecah-pecah, wajahnya pucat pasi. Mata Reina, yang biasanya berbinar, kini sayu dan dipenuhi penderitaan.
Kei mengerutkan dahi. Kekhawatiran tergambar jelas di mata biasanya datarnya. Ia melirik ke kanan dan kiri, mencari sumber air. Chang'an yang ramai ini, tampak kering kerontang. Hanya deretan rumah dan warung-warung kecil yang terlihat. Kecemasannya semakin kentara.
Kenzi, dengan sikapnya yang biasanya urakan, menghampiri mereka. Wajahnya kehilangan keceriaannya, tergantikan oleh kekhawatiran. "Ada apa ini? Reina, kau pucat sekali!" serunya.
Hanna, cemas, mendekat. "Bibirnya kering sekali, Kenzi! Reina, kau haus?" tanyanya.
Reina menjawab dengan suara lemas, "Haus…" Pelukannya pada Kei semakin erat, matanya berkaca-kaca.
Kei mengamati deretan rumah. Ekspresinya berubah dari cemas menjadi tegas. "Kita cari penginapan," katanya, suaranya datar namun bertekad. "Mungkin ada air di sana."
Lu Bu dan Lu Lingqi mendekat. Lu Lingqi, dengan wajah tegas namun penuh perhatian, bertanya, "Reina, kau baik-baik saja?"
Reina menjawab lemah, "Baik… hanya haus." Ia memaksakan senyum, namun kelemahannya terlihat jelas.
Lu Bu, dengan suara beratnya, berkata, "Kekurangan air bisa membuatmu tak fokus. Kita berhenti dan cari tempat yang menjual air."
Reina tersenyum lemah, "Terima kasih."
Tiba-tiba, suara Ashura terdengar di pikiran Kei. "Hei, bagaimana kita ke rumah Wang Yun? Kita harus cepat!"
Kei terkejut sesaat, lalu ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Lu Bu tersentak. "Benar juga! Sebelum perang, Wang Yun memintaku datang ke rumahnya untuk… menikahi Diao Chan." Ia mengeluarkan sebuah surat dari bawah pelana kudanya, Red Hare. "Tempat ini tidak jauh. Belok kiri, lalu lurus melewati pedagang pedang. Rumahnya bertuliskan nama Wang Yun."
"Baiklah," kata Kei dan kawan-kawannya serentak.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan rumah Wang Yun. Bukan sekadar rumah, melainkan sebuah istana kecil yang megah. Tembok tinggi berwarna putih gading, dihiasi ukiran-ukiran naga dan phoenix yang rumit, mengelilingi kompleks tersebut. Gerbang besar dari kayu jati tua, yang tampak kokoh dan berukir indah, berdiri gagah di depan sebuah halaman luas yang ditata dengan taman yang terawat sempurna. Bunga-bunga berwarna-warni bermekaran, menciptakan aroma harum yang menenangkan. Pohon-pohon rindang memberikan keteduhan di bawah terik matahari Chang'an. Air mancur kecil bermandikan cahaya matahari, gemericik airnya menambah suasana tenang dan damai. Di beranda yang luas, Wang Yun terlihat sedang menikmati teh, tampak tenang dan bijaksana. Kemewahan dan ketenangan rumah tersebut kontras dengan keramaian dan panasnya kota di luar.
Kei membantu Reina turun dari kuda. Ekspresi dinginnya sedikit melembut, sudut bibirnya tertarik dalam sebuah senyum tipis—sesuatu yang sangat jarang terlihat. "Reina, ini rumah Wang Yun," katanya, suaranya masih datar, namun dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Reina, suaranya serak karena haus, bertanya dengan mata yang masih sayu, "Benarkah?" Kelegaan tampak jelas di wajahnya yang pucat.
Kei menggenggam tangan Reina, sentuhannya lembut dan penuh perhatian. "Ya. Kita akan bicara dengannya. Kau istirahat dulu, minum teh." Matanya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
Reina mengangguk lemah, "Baiklah… tapi ajak aku kalau kalian mulai rapat." Meskipun lelah, seutas senyum kecil muncul di bibirnya, sebuah tanda kepercayaan pada Kei.
"Iya," jawab Kei, senyum tipisnya sedikit melebar, menunjukkan sedikit kelembutan yang jarang terlihat.
Dua penjaga, dengan tombak terhunus, menghalangi mereka. Wajah mereka tegang, penuh kewaspadaan. "Siapa kalian?" tanya salah satu penjaga dengan suara keras.
Lu Bu, tanpa berkata-kata, menunjukkan surat Wang Yun. Wajah penjaga langsung berubah pucat pasi, ketakutan menggantikan kewaspadaan mereka. Mereka mengenal Lu Bu, dan nama itu cukup untuk membuat mereka gemetar.
Lu Bu, dengan ekspresi yang berubah dari tenang menjadi sedikit jengkel, mendorong salah satu penjaga dengan bahunya. "Tidak ada sopan santun!" gumamnya, suaranya berat dan penuh otoritas.
Di dalam, seorang pelayan muda menyambut mereka dengan senyum ramah, namun sedikit gugup. "Selamat siang, Tuan Lu Bu dan kawan-kawan. Tuan Wang Yun sudah menunggu."
Lu Bu, ekspresinya kembali tenang, namun dengan sedikit perhatian pada Reina, menunjuk ke arahnya. "Berikan dia air putih dulu. Dia lelah."
"Baiklah, Tuan Lu Bu," jawab pelayan itu, buru-buru menuju dapur. Ia tampak terkesan dengan aura Lu Bu dan rombongannya.
Reina, dengan ekspresi lega, berkata kepada Lu Bu, "Terima kasih."
Lu Bu, sebuah ekspresi hangat dan sedikit malu muncul di wajahnya yang biasanya garang, menjawab, "Anggap saja balasan karena kau telah menyelamatkan aku, anakku, dan dua kawanku."
Pelayan kembali dengan nampan berisi air putih dan anggur. "Nona, silakan pilih minuman."
Reina, matanya berbinar-binar karena haus, langsung mengambil gelas berisi air putih dan meminumnya dengan cepat. "Ah, ini yang kutunggu!" Ia mendesah lega, ekspresinya berubah ceria.
Pelayan itu, tersipu malu karena diperhatikan Reina, bertanya gugup, "Kenapa nona tidak mencoba anggur kami?"
Reina menjawab dengan polos, "Aku lebih suka air putih, teh… dan cappuccino." Ekspresinya menunjukkan kepolosan yang membuat Lu Bu dan yang lainnya saling bertukar pandang.
Lu Bu, Lu Lingqi, Zhang Liao, dan Chen Gong saling berpandangan, sebuah senyum tipis muncul di bibir mereka—mereka paham arti cappuccino. Kei, Hanna, dan Kenzi hanya tertawa kecil melihat kepolosan Reina. Ekspresi mereka campuran terkejut dan geli. Mereka pun di pandu ke tempat Wang Yun bersantai.