Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Jalan yang Terpecah
llPagi itu, udara di luar terasa dingin dan penuh kabut. Bucharest, kota yang sering kali menyimpan banyak rahasia, kini terasa seperti labirin tanpa ujung. Ariella dan timnya telah melalui banyak pertempuran, menghadapi pengkhianatan yang tak terduga, namun kali ini, rasa khianat itu lebih dalam dan sulit untuk diterima. Liana, yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari tim, kini berdiri di ambang kehancuran.
Setelah kejadian di Black Sun Warehouse, suasana di apartemen menjadi semakin tegang. Mereka semua tahu, tidak ada lagi yang bisa kembali seperti semula. Kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun hancur begitu saja. Ariella merasa bingung, marah, dan terluka, namun sebagai pemimpin, dia tahu bahwa tidak ada ruang untuk kelemahan.
Di ruang tamu yang remang-remang, Ariella memandang Liana yang duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh penyesalan. Sementara itu, Alex dan Rael duduk di meja besar, masih memproses informasi yang mereka temukan tentang The Obsidian Circle dan langkah selanjutnya yang harus diambil.
"Apakah kalian tahu apa yang kalian hadapi?" suara Ariella memecah keheningan, tajam dan penuh beban. Dia berdiri tegak, menatap Liana dengan mata yang penuh kekesalan. "Mereka lebih kuat dari yang kita kira, dan kau tahu itu. Mereka akan datang untuk kita, dan kita tidak bisa membiarkan kelemahan menghalangi misi kita."
Liana mengangkat kepala, matanya basah dengan air mata. "Aku... aku tahu aku salah. Tapi mereka mengancam hidup keluargaku, Ariella. Aku tidak punya pilihan lain." Suaranya bergetar. "Aku tak pernah ingin mengkhianati kalian. Kalian adalah keluarga bagiku."
Ariella menghembuskan napas panjang, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Dia tahu Liana berbicara dengan kejujuran, tetapi itu tidak cukup. "Keluarga? Apa kau kira ini tentang keluarga? Ini tentang misi kita, tentang masa depan yang kita perjuangkan. Kau pikir aku tidak punya orang-orang yang kusayangi?" Suara Ariella kini penuh dengan amarah yang tak tertahan. "Kau tidak bisa hanya mengorbankan kami begitu saja karena ancaman. Kita semua berjuang dengan harga yang lebih besar."
Rael, yang sebelumnya diam, akhirnya membuka mulutnya. "Ariella, cukup. Kita sudah dengar alasan Liana. Ini bukan saat yang tepat untuk menambah luka. Kita harus fokus pada apa yang ada di depan kita." Dia menatap Liana dengan tatapan tajam. "Kau sudah membuat kesalahan besar, Liana, tapi kita masih memiliki misi yang harus dijalankan."
Ariella menatap Rael, lalu beralih ke Alex, yang tetap memandang ke arah lantai, mencoba menenangkan pikirannya. Semua orang dalam ruangan itu kini terjebak dalam kebisuan, tidak tahu harus melangkah ke mana. Satu hal yang pasti: mereka harus membuat keputusan besar.
"Aku setuju dengan Rael," kata Alex akhirnya, suaranya berat. "Kita tidak bisa membiarkan The Obsidian Circle memenangkan pertempuran ini hanya karena masalah internal kita. Kita harus menemukan cara untuk mengalahkan mereka, dan kita membutuhkan semua tangan yang ada."
Ariella menatap mereka semua dengan penuh perhatian. Dia tahu keputusan ini tidak akan mudah, tetapi mereka tidak punya banyak waktu. Di luar, musuh sudah bersiap untuk bergerak. Tidak ada ruang untuk keraguan lagi. "Baiklah," katanya, suara lembut namun penuh kekuatan. "Liana, kau masih bagian dari tim ini. Tapi jangan pernah coba-coba mengkhianati kami lagi. Jika kau melakukannya, aku tidak akan ragu untuk mengakhiri semuanya."
Liana hanya bisa mengangguk, bibirnya bergetar. Dia tahu dia harus membuktikan dirinya, dan untuk itu, dia harus membayar harga yang sangat mahal.
---
Malam itu, tim Ariella berkumpul untuk merencanakan langkah selanjutnya. Liana, meski dihantui rasa bersalah, kini sepenuhnya berkomitmen untuk menebus kesalahannya. Mereka harus bergerak cepat. Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan bagi The Obsidian Circle untuk meluncurkan serangan balasan.
Di meja perencanaan, peta Bucharest terbentang. Ariella memindai dengan cepat, lalu menunjuk pada lokasi yang baru mereka dapatkan dari Viktor Dragomir: Shadow Tower, markas rahasia yang digunakan oleh pemimpin tertinggi The Obsidian Circle. Menurut intelijen yang mereka peroleh, pemimpin itu dikenal sebagai "The Shadow King" – seseorang yang sangat misterius, hampir tak terdeteksi oleh dunia luar.
"Ini adalah kesempatan kita," kata Ariella, suara tegas. "Kita akan masuk ke dalam Shadow Tower dan menghancurkan mereka dari dalam. Jika kita bisa mengalahkan The Shadow King, maka organisasi ini akan runtuh."
Alex melirik peta dan berkerut kening. "Namun, ini bukan markas biasa. Shadow Tower dilindungi oleh sistem keamanan tingkat tinggi, termasuk pasukan elit mereka yang siap menghadapi siapa saja yang mencoba masuk."
Rael menatap peta itu dengan serius. "Kita tahu bahwa mereka akan mempersiapkan pertahanan terbaik mereka. Tapi kalau kita bisa memanipulasi beberapa sistem mereka, kita bisa menciptakan jalan masuk yang lebih mudah. Aku bisa menggunakan keahlianku untuk membuat mereka kehilangan jejak kita."
Ariella mengangguk. "Kita akan menggunakan dua tim. Satu tim akan menyusup melalui saluran bawah tanah dan mencoba meretas sistem keamanan. Tim lainnya akan menyerang langsung untuk mengalihkan perhatian mereka. Kita harus melumpuhkan pertahanan mereka dalam waktu sesingkat mungkin."
"Dan kita harus memastikan untuk menangkap The Shadow King hidup-hidup," tambah Liana, meskipun ada keraguan di matanya. "Itu satu-satunya cara kita bisa mendapatkan informasi yang kita butuhkan."
"Betul," jawab Ariella dengan tekad. "Ini adalah langkah terakhir kita. Jika kita berhasil, kita akan menghancurkan The Obsidian Circle selamanya."
---
Setelah perencanaan yang matang, malam itu mereka bergerak. Tim Ariella terbagi menjadi dua kelompok: satu dipimpin oleh Ariella sendiri dan Alex, menyusup melalui saluran bawah tanah; sementara Liana, Rael, dan beberapa anggota tim lainnya akan melakukan serangan frontal untuk menciptakan kekacauan di luar markas.
Mereka bergerak cepat, mengikuti rute yang telah ditentukan. Setiap langkah mereka dihitung dengan cermat. Suasana malam itu terasa suram dan penuh ketegangan. Ariella merasakan denyut nadi yang semakin cepat di dadanya, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang. Keberhasilan operasi ini akan menentukan nasib mereka semua.
Saat mereka tiba di pintu masuk saluran bawah tanah, Rael memberi isyarat untuk berhenti. "Aku akan membuka jalan," katanya, memeriksa perangkat yang telah dia pasang di dinding.
Pintu besar yang menghalangi jalan mereka terbuka perlahan, dan tim Ariella pun menyusup ke dalam, menuruni tangga menuju ruang bawah tanah yang gelap. Di sini, di bawah tanah Shadow Tower, mereka tahu bahwa setiap detik sangat berarti. Musuh bisa muncul kapan saja, dan mereka harus siap menghadapi serangan dalam gelap.
"Ayo, kita tidak punya banyak waktu," bisik Ariella, memimpin timnya maju dengan hati-hati.
Namun, di saat mereka hampir mencapai inti bangunan, mereka dikejutkan oleh suara langkah kaki yang berat. Mereka bersembunyi, berusaha untuk tetap diam. Pintu yang baru saja mereka buka perlahan tertutup kembali, dan mereka bisa merasakan bahaya yang semakin dekat.
Tiba-tiba, suara derap kaki yang berat itu berhenti. Ariella bisa merasakan keberadaan musuh yang mendekat, lebih dekat dari yang mereka kira. Di hadapan mereka, bayang-bayang pengkhianatan, dan pertempuran yang lebih besar sedang menunggu. Kini, mereka hanya memiliki satu pilihan: bertarung atau mati.