Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Beberapa hari setelah kejadian di mal, Dasha berharap situasi dengan Clara bisa mereda. Namun, Clara ternyata tidak berhenti begitu saja. Ia semakin berani, dan kali ini, keributan datang di tempat yang lebih sensitif kantor Gavin.
Pagi itu, Gavin sedang sibuk di kantornya, mengecek laporan keuangan untuk toko kue mereka. Dasha sedang berada di belakang meja, merapikan beberapa hal yang perlu disiapkan untuk acara pelanggan yang datang siang itu. Nathan sedang asyik bermain dengan mainannya di ruang tunggu. Suasana di kantor terasa tenang, hingga tiba-tiba pintu kantor terbuka dengan keras.
Clara berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam. Dia melangkah dengan penuh percaya diri, tanpa memberi kesempatan bagi siapapun untuk mencegahnya. Gavin yang terkejut langsung berdiri dari kursinya, sementara Dasha merasa cemas, menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Clara, apa yang kamu lakukan di sini?” Gavin bertanya dengan nada serius, berusaha untuk tetap tenang meskipun jelas ada kemarahan yang merasuk.
Clara tidak menghiraukan pertanyaan itu, malah berbalik menatap Dasha dengan tatapan tajam. “Kamu pikir kamu bisa mengendalikan semuanya, Dasha? Kamu pikir Gavin akan terus membiarkanmu masuk ke dalam hidupnya dan Nathan tanpa ada konsekuensinya?” Clara berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Dasha mencoba untuk tetap tenang meski hatinya berdegup kencang. "Clara, ini kantor, bukan tempat untuk melakukan keributan seperti ini. Kita bisa bicara dengan baik-baik."
Namun, Clara semakin tak terkendali. Ia melangkah maju, mendekati Dasha dengan langkah agresif. “Aku sudah cukup sabar, Dasha! Aku tidak akan membiarkan kamu merusak hidup Nathan, dan sekarang aku datang untuk memastikan kamu tahu tempatmu! Gavin adalah ayahnya, bukan kamu! Kamu hanya akan jadi pengganti sementara!” Clara menambahkan dengan suara lebih keras, hampir berteriak.
Gavin merasa marah, tapi ia berusaha menahan dirinya agar tidak semakin memperburuk keadaan. Ia maju mendekat, mencoba untuk memisahkan Clara dari Dasha. “Clara, sudah cukup. Jangan pernah datang ke sini lagi dan mengganggu pekerjaan kami. Aku sudah cukup berbicara denganmu tentang batasan-batasan ini.”
Namun, Clara tidak menyerah begitu saja. “Kamu pikir bisa begitu saja membuang aku dari hidupmu, Gavin? Nathan adalah anakku, dan aku akan selalu menjadi ibunya. Tidak ada yang bisa menggantikan aku dalam hidupnya! Jangan kira aku akan diam saja melihat kamu menghapus jejakku!”
Gavin mencoba menenangkan Clara, namun Clara terus meluapkan amarahnya. Dasha yang mulai merasa terganggu oleh semua keributan ini, menatap Gavin dengan cemas. “Gavin, tolong… ini sudah terlalu jauh.”
Saat suasana semakin memanas, Nathan yang mendengar suara gaduh dari luar masuk ke ruangan dengan wajah khawatir. Melihat ibunya dan Clara bertengkar, ia langsung berlari menghampiri Dasha, menggenggam tangan Dasha dengan erat.
“Mama, kenapa Clara marah-marah? Aku nggak mau Clara marah-marah seperti ini,” kata Nathan, suaranya cemas.
Clara menatap Nathan dengan tatapan tajam. “Kamu harus tahu tempatmu, Nathan. Aku tidak akan pernah membiarkan wanita ini mengubah hidupmu begitu saja.”
Gavin dengan tegas melangkah maju, menarik Clara menjauh dari Dasha dan Nathan. “Clara, kamu sudah melampaui batas. Aku minta kamu pergi dari sini sekarang, atau aku akan memanggil keamanan.”
Clara terdiam sejenak, tetapi amarahnya masih belum reda. “Kamu memang sudah lupa siapa aku, Gavin? Kamu benar-benar berpikir aku akan membiarkan semuanya berjalan dengan lancar? Aku akan membuat hidupmu menderita,” Clara berkata dengan suara penuh kebencian sebelum berbalik dan keluar dari kantor dengan langkah tergesa-gesa.
Setelah Clara pergi, suasana di kantor menjadi tegang. Gavin menatap Dasha dengan penuh perhatian, kemudian beralih ke Nathan yang masih tampak takut. “Nathan, kamu nggak perlu khawatir. Mama Clara cuma marah, dan aku akan pastikan dia nggak akan mengganggu kita lagi.”
Dasha menatap Gavin, merasa berat. “Aku nggak tahu berapa lama kita bisa terus begini, Gavin. Clara terus mengganggu hidup kita, dan aku merasa semakin tertekan. Aku khawatir tentang dampaknya bagi Nathan juga.”
Gavin menggenggam tangan Dasha, mencoba memberi ketenangan. “Aku tahu ini sulit, Dasha. Tapi aku akan melakukan apapun untuk melindungi kita semua. Clara mungkin mencoba membuat keributan, tapi aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan hidup kita.”
Dasha menatap Gavin, merasa sedikit tenang, meskipun perasaan cemasnya masih ada. "Aku cuma ingin hidup kita damai, Gavin. Aku nggak ingin Nathan tumbuh dalam ketegangan seperti ini."
Gavin mengangguk, memahami perasaan Dasha. “Aku janji, kita akan melewati semua ini bersama. Tidak ada yang bisa mengganggu kebahagiaan kita.”
Namun, meskipun kata-kata Gavin menenangkan Dasha untuk sementara, ia tahu ini belum berakhir. Clara tidak akan berhenti begitu saja, dan Dasha harus terus waspada agar kebahagiaan mereka tidak terganggu.
.
.
.
.
.
Clara duduk di sebuah kafe kecil, memandang keluar jendela sambil mengaduk-aduk kopinya yang sudah dingin. Di tangannya, ada sebuah foto lama seorang anak laki-laki bernama Nathan, anak yang dulu ia lahirkan, namun terpisah darinya karena situasi yang kelam.
Nathan kini tinggal bersama pasangan bahagia, Gavin dan Dasha. Clara tahu, mereka memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Nathan. Namun, Clara dipenuhi dendam. Baginya, Dasha telah "mencuri" kebahagiaannya sejak lama. Dasha pernah menjadi rival beratnya, seseorang yang tak pernah bisa ia kalahkan. Dan sekarang, Dasha memiliki Nathan, sesuatu yang tak pernah bisa Clara terima.
Rencana Clara sudah matang. Ia akan menculik Nathan, darah dagingnya sendiri, untuk memaksa Gavin dan Dasha menuruti syaratnya. Clara yakin bahwa menyakiti Dasha di titik terlemahnya keluarga yang ia cintai adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam.
Sore itu, Clara diam-diam mengamati rumah Gavin dan Dasha. Ia tahu Nathan biasa bermain di taman kecil di halaman belakang. Dengan langkah yang hati-hati, Clara mendekati pagar, menunggu saat yang tepat. Ketika Nathan sedang bermain sendirian, ia mendekatinya.
"Hai, Nathan. Kamu pasti capek ya main sendirian. Mama punya sesuatu buat kamu," Clara berkata lembut sambil menunjukkan boneka superhero yang terlihat menarik.
Nathan, polos dan ceria, mendekati Clara tanpa curiga. Dalam sekejap, Clara membawanya masuk ke dalam mobil dan pergi dari tempat itu.
Saat hari mulai gelap Gavin dan Dasha panik. Nathan hilang, dan tidak ada jejak yang tertinggal. Telepon mereka berdering, dan suara Clara terdengar di seberang.
"Kalau kalian ingin Nathan kembali, ada satu syarat," kata Clara dengan nada dingin. "Kalian harus berpisah. Tidak ada negosiasi. Jika kalian tetap bersama, Nathan akan hilang selamanya."
Dasha terduduk lemas mendengar ancaman itu. Gavin mengepalkan tangannya, menahan amarah. "Clara, kamu tidak punya hak melakukan ini! Nathan adalah anak kami!" serunya.
"Dia bukan anak kalian. Dia darah dagingku. Dan aku tidak akan membiarkan dia tumbuh bersama orang seperti Dasha," Clara menjawab dengan tegas, lalu menutup telepon.
Waktu terus berjalan, dan Gavin serta Dasha harus mengambil keputusan. Akankah mereka menyerah pada tuntutan Clara, atau melawan dengan segala risiko yang ada? Sementara itu, Nathan, yang masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, hanya ingin kembali ke rumah yang penuh cinta bersama Gavin dan Dasha. Di sisi lain, Clara merasa bahwa ini adalah caranya untuk mendapatkan kembali apa yang ia yakini sebagai miliknya.
Namun, satu hal yang pasti permainan ini bukan sekadar tentang cinta seorang ibu, melainkan dendam yang telah bertahun-tahun membara.