seorang wanita tangguh, yang dikenal sebagai "Quenn," pemimpin sebuah organisasi mafia besar. Setelah kehilangan orang yang sangat ia cintai akibat pengkhianatan dalam kelompoknya, Quenn bersumpah untuk membalas dendam. Dia meluncurkan serangan tanpa ampun terhadap mereka yang bertanggung jawab, berhadapan dengan dunia kejahatan yang penuh dengan pengkhianatan, konflik antar-geng, dan pertempuran sengit.
Dengan kecerdikan, kekuatan, dan keterampilan tempur yang tak tertandingi, Quenn berusaha menggulingkan musuh-musuhnya satu per satu, sambil mempertanyakan batasan moral dan loyalitas dalam hidupnya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan intrik dan ketegangan, tetapi ia bertekad untuk membawa kehormatan dan keadilan bagi orang yang telah ia hilangkan. Namun, dalam perjalanan tersebut, Quenn harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia yang ia kenal bisa berubah, dan balas dendam terkadang memiliki harga yang lebih mahal dari yang ia bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Pelarian dalam Kegelapan
Terowongan yang gelap itu terasa seperti jalan menuju kegelapan yang tak terelakkan. Setiap langkah Quenn dipenuhi dengan rasa sakit yang semakin parah, tubuhnya yang penuh luka membuatnya hampir tak bisa bertahan. Vincent, yang meskipun terluka parah, berusaha berjalan berdampingan dengannya, namun jelas ia juga tidak dalam keadaan baik. Mereka berdua berjalan dengan langkah berat, memaksakan diri menuju titik evakuasi terakhir yang masih jauh di depan mereka.
"Vincent..." Quenn berusaha berbicara meskipun suara nyaris tak keluar, "Kita... kita akan selamat, kan?"
Vincent tersenyum lemah, namun matanya yang penuh darah dan kelelahan tak bisa menyembunyikan keputusasaan. "Aku... aku nggak tahu, Quenn. Tapi kita harus mencoba. Kalau kita berhenti sekarang, kita mati di sini."
Quenn menggertakkan gigi, berusaha menekan rasa sakitnya. Setiap detik yang berlalu, ia merasa semakin lemah, namun tekad untuk bertahan dan menghentikan semua ini membakar semangatnya. Mereka harus keluar dari tempat ini, apapun yang terjadi.
Namun, suara langkah kaki dari belakang membuat mereka berhenti sejenak. Quenn menoleh ke belakang, namun yang tampak hanyalah gelap. Tak ada yang terlihat jelas, tapi mereka tahu bahwa mereka sedang diburu. Musuh pasti masih mengikutinya.
"Vincent, kita harus lebih cepat!" teriak Quenn, berusaha mempercepat langkahnya meskipun tubuhnya hampir tidak mampu lagi.
Vincent mengangguk, meskipun jelas ia kesulitan bergerak. “Kita hampir sampai, Quenn. Pintu depan itu tinggal beberapa meter lagi.”
Namun, tak ada yang tahu apakah mereka akan cukup waktu. Suara tembakan terdengar jauh di belakang mereka, semakin dekat, semakin mendekati. Quenn menoleh, dan dengan cepat, mereka berdua terus berlari, berusaha meninggalkan jejak yang semakin terasa berat di tubuh mereka.
---
Ketika mereka mencapai ujung terowongan, pintu besar yang semula terlihat seperti jalan keluar kini terlihat lebih seperti jebakan. Di depan mereka, ada pasukan yang sudah menunggu, menyadari bahwa mereka tidak akan bisa melarikan diri begitu saja. Pasukan Dmitri telah memblokir jalan keluar mereka.
“Ini... ini tidak bisa terjadi,” kata Quenn, hampir tak percaya.
Vincent yang terluka parah, namun tetap dengan semangat yang menyala, memandang Quenn dengan tatapan tajam. "Kita tidak akan menyerah. Kita tidak mati di sini."
Sambil berusaha menahan rasa sakit, Vincent melepaskan tembakan pertama ke arah pasukan Dmitri yang sudah mengepung mereka. Suara tembakan bergema di sepanjang terowongan yang gelap, memecah kesunyian yang sebelumnya mematikan.
Quenn, yang tahu ini adalah pertempuran terakhir mereka, segera mengeluarkan senjata dan bergabung dengan Vincent. Mereka berdua memberikan perlawanan sengit, melepaskan tembakan ke pasukan Dmitri yang terus merangsek maju. Namun, meskipun mereka berusaha sekuat tenaga, jumlah musuh yang semakin banyak membuat perjuangan mereka terasa semakin sia-sia.
Pasukan Dmitri tidak hanya kuat, tetapi juga lebih terlatih. Mereka bergerak dengan disiplin, menutup setiap kemungkinan jalan keluar. Quenn tahu ini adalah akhir dari perjalanan mereka. Namun, sebelum menyerah, dia harus memastikan bahwa dia dan Vincent memiliki kesempatan untuk hidup. Mereka harus menemukan cara untuk keluar hidup-hidup dari situasi ini.
---
Quenn merasa tubuhnya semakin lelah, darahnya semakin banyak mengalir, dan kepalanya mulai berputar. Namun, di tengah kekacauan ini, dia melihat ada kesempatan untuk lari. Pintu besar di depan mereka hanya tampak tertutup rapat, tetapi ada celah kecil di sisi kiri, yang tampaknya bisa mereka jebol.
"Vincent!" teriak Quenn, "Ke pintu kiri, cepat!"
Vincent memandang Quenn dengan tatapan penuh kebingungan, tetapi melihat determinasi di mata Quenn, ia langsung mengangguk dan bersama-sama mereka berlari ke arah pintu celah yang sempit itu. Dengan tembakan-tembakan yang terdengar semakin dekat, mereka berdua memaksa tubuh mereka melewati celah sempit itu. Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, sebuah ledakan mengguncang tanah di belakang mereka, membuat pintu yang mereka lewati tertutup rapat.
“Quenn!” Vincent berteriak, memandang pintu yang kini telah terkunci kembali.
Namun, Quenn, dengan sekuat tenaga, meraih sebuah alat pemutus yang ia sembunyikan di dalam jasnya dan mencoba membuka pintu itu. Semuanya berjalan sangat cepat, dan rasa sakit di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Setiap detik terasa seperti berjam-jam.
Quenn mendengus keras, mengangkat alat pemutus itu, dan berhasil membuka pintu celah. Mereka berlari keluar dengan kecepatan yang tak terduga meskipun tubuh mereka hampir tak mampu bergerak.
Mereka berhasil keluar ke area terbuka yang gelap, namun sebelum mereka sempat merasa aman, suara langkah kaki dari belakang terdengar semakin mendekat. Quenn dan Vincent saling bertukar pandang, menyadari bahwa pengejaran ini belum berakhir. Mereka harus bertahan lebih lama lagi.
Namun, ketika mereka berbalik untuk berlari lebih jauh, ledakan besar mengguncang bumi, dan suara tembakan terdengar semakin dekat. Quenn tahu bahwa mereka tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.
---
Dengan tubuh yang lemah dan keadaan yang semakin terdesak, Quenn merasakan keputusasaan menyelimuti dirinya. Pasukan Dmitri, meskipun kehilangan banyak orang, tetap memiliki keunggulan dalam jumlah. Mereka mengejar tanpa henti, tidak memberi ruang bagi Quenn dan Vincent untuk bernapas.
Vincent, yang semakin goyah, hampir terjatuh karena luka-lukanya. Quenn meraih tubuhnya, menolongnya untuk tetap berjalan meski kedua tubuh mereka terasa semakin rapuh.
“Quenn… aku nggak bisa,” suara Vincent hampir tak terdengar. “Aku… aku terlalu terluka…”
Quenn menatapnya, melihat perjuangan yang ada di dalam mata Vincent. Dia tahu mereka sudah tidak punya waktu lagi. Pasukan Dmitri semakin dekat, dan mereka hanya memiliki satu pilihan terakhir: bertarung sampai mati atau mencari jalan keluar yang mungkin masih ada.
Namun, apa pun yang mereka pilih, Quenn tahu bahwa tak ada jalan kembali. Ini adalah pertarungan terakhir mereka. Dan jika mereka harus mati, mereka akan mati dengan kehormatan, tidak akan menyerah begitu saja.
Quenn memandang langit yang gelap, merasakan angin malam yang menembus tubuhnya yang terluka. Dalam kegelapan itu, dia tahu bahwa jalan menuju kebebasan semakin tipis. Tapi satu hal yang pasti mereka akan melawan sampai napas terakhir.