para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: "Langkah ke Dalam Bayang"
Hutan Giripati tampak tenang di bawah sinar matahari sore. Jalan setapak yang mereka lalui dipenuhi dedaunan yang gugur, menciptakan suasana seperti lukisan alam yang damai. Raka berjalan paling depan, membawa peta yang ia unduh dari internet, sementara Andre di belakang sibuk merekam perjalanan mereka dengan kamera.
"Ini bakal jadi konten yang keren," ujar Andre dengan senyum lebar. Judulnya, 'Menaklukkan Giripati: Hutan Paling Angker di Jawa.' Aku yakin video ini bakal viral."
"Bisa nggak, sekali aja, lo nggak ngomong soal konten?" sindir Dinda sambil menggulung lengan jaketnya. "Kita di sini buat refreshing, bukan buat cari sensasi. Awas saja gara-gara perbuatan Lo kita gak bisa pulang," ancam Dinda lagi.
"Hei, siapa tahu ini jadi kenang-kenangan terakhir," sahut Andre, bercanda, meski matanya menyiratkan keseriusan.
Bima tertawa kecil. "Kenang-kenangan terakhir? Lo kebanyakan nonton film horor, Ndre. Hutan ini cuma hutan biasa. Cerita-cerita serem itu cuma buat nakut-nakutin biar orang nggak sembarangan masuk."
Namun, Citra, yang selama perjalanan lebih banyak diam, tiba-tiba berhenti. Wajahnya sedikit pucat. "Kalau cuma cerita, kenapa semua penduduk desa tadi nggak ada yang mau jadi pemandu kita? Bahkan saat kita nawarin bayar lebih?"
Semua terdiam. Raka mengangkat bahu, berusaha terlihat santai. "Mungkin mereka cuma percaya takhayul. Lagi pula, kita udah cek semua peralatan. Kompas, peta, GPS, semua aman. Kalau kita ikut jalur ini, kita pasti sampai ke tempat perkemahan sebelum gelap."
Tapi dalam hati, Raka juga menyimpan keraguan. Sepanjang perjalanan tadi, ada perasaan tak nyaman yang tak bisa ia jelaskan. Seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi dari balik pepohonan.
Matahari mulai tenggelam.
Mereka tiba di sebuah persimpangan kecil. Jalur setapak bercabang menjadi dua arah. Satu jalur tampak lebih lebar, dengan tanda-tanda bekas jejak kaki, sementara jalur lainnya sempit, hampir tertutup semak-semak.
"Arah mana, Rak?" tanya Bima, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
Raka menatap peta, lalu GPS. Keduanya memberi informasi berbeda. GPS menunjukkan jalur lebar sebagai rute utama, tapi peta yang dipegang Raka justru menunjukkan jalur sempit itu sebagai jalan yang benar.
"Kalau ikut peta, kita ambil yang sempit ini," ujar Raka, sedikit ragu.
"Lo yakin?" tanya Andre.
"Tentu aja yakin." Tapi suaranya terdengar lebih seperti meyakinkan diri sendiri.
Tanpa banyak bicara, mereka memutuskan mengikuti jalur sempit itu. Pepohonan di kanan kiri semakin rapat, menghalangi sisa-sisa cahaya senja. Suara burung dan binatang lain perlahan menghilang, digantikan oleh kesunyian yang mencekam.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mereka tiba di sebuah batu besar yang menjulang di tengah jalur. Batu itu tertutup lumut, dengan goresan-goresan aneh yang terlihat seperti tulisan kuno.
"Ada yang tahu ini tulisan apa?" tanya Citra sambil menunjuk salah satu goresan.
"Nggak penting. Kita harus cepet-cepet nyari tempat buat buka tenda sebelum gelap," balas Dinda, jelas mulai cemas.
Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, terdengar suara keras dari balik pepohonan. Seperti ranting yang patah, diikuti bunyi langkah kaki berat.
Raka mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua berhenti. "Dengar itu?" bisiknya.
Langkah itu semakin mendekat. Suara dedaunan yang terinjak terdengar jelas. Tapi saat mereka menoleh ke arah suara, tidak ada apa-apa.
"Siapa di sana?" Raka berseru, suaranya tegas, meski ada nada takut.
Tidak ada jawaban.
Kemudian, dari arah yang berlawanan, terdengar suara yang sama—langkah berat, ranting yang patah. Kali ini, terdengar lebih dekat, lebih jelas.
"Kita harus pergi sekarang," kata Dinda, hampir berbisik.
Sebelum mereka sempat bergerak, Andre berteriak, "Lihat itu!"
Semua menoleh ke arah yang ditunjuk Andre. Di kejauhan, di balik pepohonan, tampak sosok tinggi besar, bayangan hitam dengan mata merah menyala, berdiri diam memandang mereka.
Dan dalam sekejap, sosok itu menghilang.
"Kita nggak sendiri di sini," bisik Citra dengan suara gemetar.
Malam baru saja dimulai.