Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Harus kuat
Flashback on
"Mas mau makan pakai lauk apa?" tanya Yasna.
"Ikan saja Sayang," jawab Zahran.
Yasna selalu melayani semua kebutuhan Zahran dari yang terkecil sekalipun, beberapa kali Zahran mengingatkan Yasna agar tidak terlalu lelah, bagaimanapun saat ini Yasna tengah hamil, di rumah mereka sudah ada asisten rumah tangga jadi Yasna tak perlu mengerjakan semuanya, tapi Yasna selalu berkilah bahwa dia hanya mengerjakan keperluan Zahran membuat Zahran diam tak lagi melarangnya karena Yasna termasuk orang yang keras kepala.
"Bagaimana pekerjaan kamu Ran?" tanya Hamdan Ayah Zahran.
"Alhamdulillah, lancar Pa," jawab Zahran.
"Kandungan istrimu sudah masuk trimester akhir jangan terlalu sibuk," nasehat Faidah.
"Iya Ma," jawab Zahran.
"Kapan check up lagi Na?" tanya Faida.
"Satu minggu lagi Ma," jawab Yasna.
"Sudah lihat jenis kelaminnya?" tanya Faida lagi.
"Kami sepakat untuk tidak mengetahuinya Ma, biar jadi kejutan," jawab Yasna yang diangguki Faida.
Setelah menikmati sarapan Papa dan Zahran berangkat bekerja, sementara Yasna memilih melakukan senam Ibu hamil disebuah ruangan yang biasa keluarga ini pakai olahraga, ada beberapa alat gym juga.diruangan itu.
"Yasna," panggil Faidah.
"Iya Ma," sahut Yasna kemudian keluar dari ruangan olahraga dan menuju tempat dimana mertuanya berada.
"Cobain nih Mama tadi membuat salad," ucap Faidah sambil memberikan satu kotak kecil salad.
"Kecil banget sih ma," ucap Yasna cemberut.
"Nanti lagi, kamu tadi habis makan," ucap Faidah sambil membelai rambut Yasna.
Sungguh Yasna sangat bahagia diperlakukan oleh Ibu mertua layaknya Ibu sendiri, Yasna akan menyayangi mertuanya ini seperti Yasna menyayangi Ibunya.
"Aduuhh," rintih Faidah sambil memegangi lututnya.
"Kenapa Ma?" tanya Yasna.
"Asam urat Mama sepertinya kambuh," ucap Faidah.
"Memangnya Mama mau kemana?" tanya Yasna.
"Mama mau ambil ponsel Mama yang berada di kamar," jawab Faidah.
"Biar Yasna saja yang ambil, Mama duduk saja," ucap Yasna.
"Tidak usah biar Mama sendiri saja, aduuhh," rintih Faidah saat akan berdiri.
"Tuhkan Mama masih sakit, sudah duduk saja biar Yasna yang ambil," ucap Yasna berlalu.
Yasna menaiki tangga menuju kamar mertuanya itu, dibuka pintu kamar, dicarinya ponsel sang mertua ternyata berada diatas meja disamping ranjang, setelah menemukannya segera ia bawa, baru saja ia keluar dari kamar ia mendengar jeritan mertuanya yang sepertinya sedang terjatuh, karena khawatir Yasna berjalan terburu-buru bahkan sedikit berlari, hingga tanpa sengaja saat berada ditangga yang paling atas Yasna terpeleset hingga terjatuh dan berguling hingga lantai dasar.
"Aaaaaaaaaaa
Terikan Yasna menggema disetiap sudut rumah hingga tanpa sadar Yasna berteriak di alam sadarnya kini.
Flashback off
"Aaaaaaaaaa
"Na, na lo nggak papa?" tanya Fazila setelah menepikan mobilnya yang sudah melaju sedari tadi.
"Fa, tadi aku mimpi Fa, kita ketemu Bang Zahran di Malang dan dia bersama wanita, dan wanita itu sedang hamil anak Abang Fa, ya ampun Fa itu mimpi yang mengerikan," ujar Yasna sambil meneteskan air mata.
Melihat Fazilah yang diam saja menatapnya membuat Yasna terdiam, apakah Fazilah mengetahui mimpinya? Atau yang ia lihat sebenarnya bukan mimpi, tapi kenyataan.
"Fa, tadi kita nggak lihat Abang kan disana?" tanya Yasna lirih sambil menatap lekat Fazilah.
Fazilah terdiam, ingin rasanya mengatakan jika mereka tidak melihatnya, tapi fakta berkata lain, mereka melihat dan mendengar semua yang terjadi disana, Fazilah juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan? Otaknya tak bisa berfikir, semuanya begitu mengejutkan untuknya, orang yang selama ini ia pikir tak akan mampu mendua, nyatanya sama saja dengan pria br**gs*k diluaran sana.
Keterdiaman Fazilah sudah cukup menjawab semuanya, Yasna menatap kedepan tanpa bertanya lagi.
"Ayo kita pulang Fa," ajak Yasna.
Fazilah kembali melajukan mobilnya tanpa bertanya lagi.
Ponsel didalam tas Yasna terus bergetar sedari tadi entah Yasna tahu atau tidak, karena sedari tadi Yasna menatap kedepan dengan pandangan kosong, Fazilah ingin mengambil ponsel itu tapi takut jika Yasna marah, akhirnya ia biarkan saja, jika Ibu atau Ayah yang telpon pasti akan menghubunginya karena mereka tahu nomor Fazilah dan benar saja Ibu menghubungi ponsel Fazilah.
"Assalamualaikum," ucap Fazilah setelah mengangkat panggilan.
"Waalaikumsalam, Fa, dimana Yasna?" tanya Alina.
"Ada Bu, tapi sedang tidur," jawab Fazilah berbohong.
"Oh, tidur, tapi dia nggak kenapa-napa kan Fa?" tanya Alina.
"Nggak papa Bu! Memangnya kenapa?" tanya Fazilah balik.
"Tidak, tadi Zahran telpon Ibu menanyakan Yasna, sepertinya sedang khawatir makanya Ibu jadi ikutan khawatir," jawab Alina.
"Yasna nggak papa kok Bu, dari tadi juga ponselnya bergetar, cuma aku nggak bisa ngambil Bu karena sedang menyetir dan Yasna juga kecapekan jadi nggak berasa kalau ponselnya bergetar," tutur Fazilah.
"Yasudah kalau begitu, kamu hati-hati nyetirnya," ucap Alina.
"Iya Bu," jawab Fazilah.
"Assalamualaikum," ucap Alina.
"Waalaikum salam," sahut Fazilah.
Panggilan terputus membuat Fazilah lega, setidaknya untuk saat ini, jika nanti Ibu bertanya biarlah Yasna sendiri yang mengatakannya, karena itu bukan haknya.
"Fa, antar aku pulang ke rumah," ucap Yasna datar dengan pandangan yang masih menatap lurus kedepan.
"Maksud kamu rumah siapa? Rumah kamu atau Rumah Ibu?" tanya Fazilah.
"Ruma... entah apakah rumah itu masih rumahku atau tidak," jawab Yasna dengan suara lirih penuh dengan kekecewaan.
Fazilah menepikan mobilnya dan menggenggam tangan Yasna.
"Na, apapun yang sudah terjadi dan akan terjadi, gue harap lo kuat hadapi semua ini, apapun keputusan lo nanti gue orang pertama yang bakal dukung lo, meskipun keputusan yang lo ambil adalah keputusan yang salah dimata orang lain, karena gue tahu itu bukan keputusan yang mudah buat lo," ucap Fazilah.
Yasna tersenyum pada Fazilah dan segera Yasna memeluknya, Fazilah pun membalas pelukan Yasna, bahu Yasna bergetar dan Fazilah tahu penyebabnya.
"Lo harus kuat, Yasna yang gue kenal adalah wanita yang tangguh, apapun yang terjadi sama lo pasti dapat lo lewati meski tak akan mudah buat lo," bisik Fazilah yang diangguki Yasna disela pelukan mereka.
Setelah dirasa cukup lama menangis Yasna menegakkan tubuhnya dan tersenyum pada Fazilah, benar apa yang dikatakan Fazilah, dia harus kuat dan mulai hari ini dia akan belajar berdiri diatas kakinya sendiri, karena dia sadar kalau selama ini semua yang ada pada dirinya tak lepas dari Zahran, dan mulai hari ini dia harus belajar hidup tanpa Zahran, mungkin, ah entahlah.
"Anterin aku ke rumahku saja Fa," ucap Yasna akhirnya.
"Lo yakin?" tanya Fazilah meyakinkan.
"Iya, nggak mungkin aku ke rumah Ibu saat keadaan gue seperti ini, aku nggak mau buat Ibu bersedih," ujar Yasna.
"Baiklah," sahut Fazilah.
.
.
.
.
.