Jihan yang polos dan baik hati perlu mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar untuk membayar tagihan medis ibunya yang sakit parah. Terpaksa oleh situasi, dia menandatangani kontrak pernikahan dengan CEO perusahaan, Shaka. Mereka menjadi suami istri kontrak.
Menghadapi ibu mertua yang tulus dan ramah, Jihan merasa bersalah, sedangkan hubungannya dengan Shaka juga semakin asmara.
Disaat dia bingung harus bagaimana mempertahankan pernikahan palsu ini, mantan pacar yang membuat Shaka terluka tiba-tiba muncul...
Bagaimana kisah perjalanan Jihan selama menjalani pernikahan kontrak tersebut.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Jihan awalnya diam saja ketika di cibir Shaka yang menyebut dirinya mencari keuntungan karna tidur sambil memeluk si gunung es yang ternyata lebih hangat dari pemanas ruangan.
Sekali dua kali, Jihan memilih diam dan meminta maaf dengan mengatakan tidak sadar memeluk Shaka. Sebab kondisinya memang sedang tidur, dia kedinginan dan butuh sesuatu yang hangat. Dalam keadaan tidur, Jihan mana tau kalau benda hangat itu adalah Shaka. Seandainya tau, mana mungkin Jihan mau memeluk manusia dingin itu. Lebih baik menahan dingin daripada harus memeluk Shaka.
"Pak Shaka tolong jangan menguji kesabaran saya. Demi apapun, saya nggak curi kesempatan. Daripada meluk Bapak, mending meluk mantan saya deh." Gerutu Jihan. Dia baru protes setelah mengalah beberapa kali. Sepertinya Shaka memang ingin mencari keributan, jadi selalu membahas hal itu.
Dalam keadaan masing mengunyah makanan di mulutnya, Shaka milik Jihan sambil tersenyum mengejek.
"Yakin mau peluk mantan kamu.? Baru ketemu aja udah nangis.!" Cibirnya.
Jihan mendadak cemberut, bisa-bisanya Shaka tau hal itu. Mood Jihan seketika buruk, bukan karna ucapan Shaka, tapi karna perlakuan buruk keluarga mantan pacarnya. Dan akhirnya memisahkan dua hati yang saling mencintai.
Menghela nafas berat, Jihan menjadi tidak bersemangat menghabiskan sarapannya. Suasana dan pemandangan yang mendukung, tak bisa mengembalikan mood Jihan yang terlanjur buruk.
"Kenapa diam.? Kamu malu mengakui.?" Cecar Shaka. Entah sejak kapan gunung es itu menjadi banyak bicara. Ada saja bahan obrolan yang membuatnya selalu bicara dengan Jihan.
"Mood saya lagi buruk, Pak Shaka bisa di pending dulu nggak tanyanya.? Misalnya nanti kalau kita sudah pulang ke Jakarta." Ujar Jihan.
Shaka berdecak lirih, dia langsung fokus menghabiskan sarapannya tanpa banyak bicara lagi. Melihat Shaka tidak memancing emosinya lagi, Jihan diam-diam bernafas lega. Sekarang dia bisa sarapan dengan tenang walaupun pikirannya terbagi.
...*******...
"Kita mau kemana dulu Pak.?" Tanya Jihan sembari mengekori langkah Shaka keluar restoran. Dia mempercepat langkahnya agar sejajar dengan pria berbadan tinggi itu.
"Main Ski. Kamu bisa.?" Tanya Shaka sembari mengotak-atik ponselnya.
Jihan berdecak sebal, Shaka itu mau menghinanya atau bagaimana. Pergi ke luar negeri saja baru kali ini, tidak mungkinkan Jihan belajar Ski di Negaranya yang tidak memiliki musim dingin.
"Pak Shaka hobby sekali menghina dan mengejek saya. Pergi ke luar negeri juga baru kali ini.!" Jihan menggerutu dan berjalan cepat ke arah mobil. Supir paruh baya itu sudah standby di samping pintu penumpang untuk membukakan pintunya.
Shaka menggaruk tengkuknya dan menatap kikuk ketika sadar salah bicara.
"Nanti saya ajarin." Ucapnya datar. Jihan langsung menoleh, padahal tubuhnya sudah setengah masuk ke dalam mobil.
"Pak Shaka serius.??" Seru Jihan antusias. Mata kecilnya membulat dan tampak berbinar.
Shaka hanya mengangguk kecil. Jihan masuk ke dalam mobil dan langsung menanyakan banyak hal pada Shaka tentang bermain Ski.
...*******...
"Dingin banget,,," Jihan menggosok telapak tangannya yang terbungkus sarung tangan tebal. Suhu di penggunaan Alpen itu cukup membuat tubuh Jihan menggigil. Bahkan mulutnya sampai mengeluarkan asap setiap kali berbicara.
Sementara itu, Shaka sedang memakai peralatan untuk bermain Ski. Dia sudah menyuruh Jihan agar ikut bersiap juga, tapi wanita itu malah memilih duduk. Padahal saat dalam perjalanan menuju tempat itu, Jihan kelihatan sangat bersemangat. Sekarang harus dibujuk agar ikut main.
"Kalau nggak gerak malah semakin dingin. Kamu yakin mau tunggu disini.?" Ujar Shaka yang baru selesai memakai perlengkapan Ski. Sudah di ajak beberapa kali, Jihan masih menolak.
"Pak Shaka saja, saya takut beku." Jihan menggigil dengan kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri. Mungkin karna baru pertama kali merasakan musim dingin, meskipun sudah memakai pakaian tebal dan tertutup tubuhnya masih saja menggigil.
"Justru kamu bisa jadi es kalau diam disini.!" Tegas Shaka. Pria itu kemudian bicara pada petugas menggunakan bahas asing, menyuruh petugas itu agar membantu Jihan memakai perlengkapan Ski.
"Cepat pakai, bukannya tadi kamu antusias." Titah Shaka. Jihan ingin protes, tapi petugas itu sudah terlanjur menghampiri Jihan dan mengatakan akan membantu Jihan memasangkan peralatan Ski.
"Ayo jalan.!" Shaka sedikit kesal melihat Jihan takut-takut dan tidak mau gerak sama sekali.
Jihan menggeleng, dia tidak berani berseluncur ke bawah. Membayangkannya saja sudah membuat Jihan panik, takut terguling walaupun tidak curam. Sudah di bawa ke area khusus pemula yang medannya masih sederhana, Jihan tetap takut untuk mencoba.
"Ternyata saya nggak seberani itu Pak. Mending Pak Shaka saja yang main, saya mau lanjut foto-foto." Kata Jihan dan berusaha duduk untuk melepas peralatan ski di kakinya.
Dengan tingkat kesabaran Shaka yang setipis tisu, pria menarik paksa tangan Jihan dan mendorongnya maju. Keduanya mulai bergerak turun, Jihan sempat berteriak dan berpegangan pada lengan Shaka menggunakan satu tangannya. Sedangkan satu tangannya di gunakan untuk menyeimbangkan tubuh dengan tongkat ski.
"Pak berhenti, saya takut jatuh,,!!" Teriak Jihan gemetar.
"Kamu bisa tenang nggak.?!! Rileks saja dan meluncur pelan-pelan." Ujar Shaka memberi komando. Perlahan dia melepaskan tangan Jihan dan membiarkan wanita itu bergerak sendiri. Sayangnya Jihan malah kehilangan keseimbangan dan harus berguling di atas tumpukan salju.
Bukannya membantu membangunkan Jihan, Shaka malah menertawakan wajah Jihan yang dipenuhi salju.
Sontak bibir Jihan langsung mengerucut sebal. Kesal di tertawakan, Jihan meraih salju dalam genggamannya dan melemparnya ke arah Shaka.
Kini giliran Jihan yang tertawa karna lemparan saljunya mengenai wajah Shaka. Namun tawa Jihan hanya bertahan beberapa detik, sebab detik berikutnya dia melihat tatapan kemarahan di mata Shaka.
"Maaf Pak, saya reflek." Jihan menyengir takut, dia susah payah berdiri menghampiri Shaka dan menyingkirkan salju dari wajah Shaka.
"Kamu ingin di pecat dari perusahaan ya.?!" Geram Shaka tanpa menghentikan gerakan tangan Jihan di wajahnya.
Jihan menggeleng takut.
"Saya kan sudah minta maaf Pak. Lagian salah Pak Shaka, kenapa tadi lepasin tangan saya.? Giliran saya jatuh, malah diketawain. Saya kan belum pernah main ski." Protes Jihan.
Memang dasar Jihan, dia terlalu bawel dan bicara apa adanya. Sekarang malah menyalahkan Shaka, walaupun kenyataannya memang seperti itu. Tapi bukan Shaka namanya kalau diam saja ketika di salahkan.
Pria itu langsung mengomeli Jihan memilih bermain ski sendirian, dia membiarkan Jihan duduk di area dekat ski dan terlihat sibuk dengan ponselnya.
Hampir 1 jam Shaka bermain ski, pria itu akhirnya kembali dan duduk di sebelah Jihan. Dia mengambil ponsel miliknya yang memang dititipkan pada Jihan.
"Tadi ada chat dari mantan Pak Shaka. Minta ketemuan nanti malam di restoran favorit kalian." Ujar Jihan memberi tau.
Dia tidak sengaja melihat notifikasi chat yang terlihat di layar ponsel Shaka. Jihan sempat membaca sebagian chat itu tanpa perlu membuka layar kunci ponsel Shaka.
Shaka tidak menjawab, ekspresi wajahnya juga tetap datar seperti sebelumnya. Berbeda dengan Jihan yang justru penasaran dengan kisah cinta Shaka dengan wanita masa lalunya.