Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bercerita
Setelah semua selesai, Netha duduk di sofa ruang tamu sambil menggulir layar ponselnya. Ia memeriksa daftar belanja untuk memastikan tidak ada yang terlewat. Di sebelahnya, El dan Al sedang menonton film animasi kesukaan mereka di televisi.
Netha melirik sekilas, memperhatikan wajah ceria mereka saat tertawa kecil melihat adegan lucu di layar. Dalam hati, ia merasa lega melihat anak-anak itu tampak nyaman. Tapi ada satu hal yang terus mengganjal pikirannya sejak ia mulai tinggal di rumah ini: El dan Al tampak seperti tidak pernah berbicara tentang teman atau kehidupan sosial mereka.
“Hmm, kalian tidak punya teman?” tanya Netha tiba-tiba, memecah keheningan.
El dan Al menoleh ke arahnya hampir bersamaan. Mereka terdiam sejenak, lalu saling bertukar pandang.
“Kenapa kamu tanya itu?” Al menjawab lebih dulu.
“Yah, aku cuma penasaran,” kata Netha, menatap mereka dengan ekspresi lembut. “Biasanya anak-anak seusia kalian punya banyak teman, kan? Apalagi kalian tinggal di kompleks militer. Di sana pasti banyak anak-anak lain, bukan?”
El diam, tapi matanya mengerjap sedikit lebih cepat dari biasanya, pertanda ia tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Al, seperti biasa, mencoba menguasai situasi dengan bicara.
“Di sana baik-baik saja,” katanya dengan nada datar. “Tapi kita nggak butuh teman.”
Jawaban itu membuat Netha mengernyit. “Tidak butuh teman? Kenapa? Apa kalian tidak suka bermain dengan anak-anak lain?”
Al mengangkat bahu. “Anak-anak itu berisik. Suka nangis, suka rebutan. Kita lebih suka berdua.”
Netha tahu ada sesuatu yang tidak beres. Anak-anak ini terlalu muda untuk memutuskan tidak membutuhkan teman. Mereka pasti menyembunyikan sesuatu.
Netha dalam hati “Ada apa sebenarnya di kompleks militer itu? Kenapa mereka tidak punya teman? Apakah mereka pernah mengalami sesuatu yang buruk?”
Namun, ia memutuskan untuk tidak terlalu memaksa. “Oke, kalau kalian tidak mau cerita sekarang, tidak apa-apa,” katanya pelan. “Tapi kalian tahu, kan, kalau aku selalu di sini kalau kalian mau berbagi cerita, jadikan aku teman kalian. Ingat kan?”
El tetap diam, sementara Al hanya mengangguk kecil, tampak tidak benar-benar memikirkan ucapan Netha. Mereka fokus kembali ke layar televisi.
Setelah beberapa saat, Netha mencoba mendekati mereka dengan cara lain. Ia menatap mereka sambil tersenyum kecil. “Apa kalian mau sekolah? Belajar di sana mungkin bisa seru.”
“Sekolah?” Al tertawa kecil, meskipun nadanya terdengar sinis. “Buat apa sekolah? Anak-anak di sekolah pasti selalu nangis-nangis, selalu ribut, bikin pusing.”
El hanya diam, tapi kali ini ia tidak menonton televisi. Pandangannya mengarah ke lantai, seolah-olah sedang berpikir keras.
“Kalian sudah bisa membaca dan menulis?” tanya Netha hati-hati.
Al menggeleng santai. “Nggak bisa.”
“Kalian tidak bisa membaca atau menulis?” tanya Netha, mencoba menahan keterkejutan di suaranya.
“Kalian tak pernah belajar?” Netha mengulang kata-kata itu, seakan tidak percaya.
“Kita nggak pernah belajar itu,” jawab Al dengan santai. “Papa nggak pernah ngajarin. Dia cuma ngajarin cara bertarung.”
Netha tertegun. “Cara bertarung?”
“Iya,” lanjut Al, kali ini terdengar lebih bersemangat. “Papa ngajarin kita cara bertarung dan cara bertahan kalau ada yang mau nyakitin kita. Kadang kita ikut bawahan papa di kamp militer. Main-main di sana, lihat mereka latihan.”
El mengangguk kecil, membenarkan ucapan kembarannya.
“Tapi papa nggak pernah ngajarin kita baca atau nulis,” tambah Al, nadanya kembali datar. “Kamu juga nggak pernah ngajarin.”
Netha merasa jantungnya mencelos. “Astaga, Netha asli benar-benar meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu. Anak-anak ini bahkan tidak pernah belajar hal-hal dasar. Bagaimana mereka bisa hidup di dunia luar tanpa kemampuan membaca atau menulis?”
Dia menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. “Kalian tahu, membaca dan menulis itu penting,” katanya pelan. “Kalau kalian tidak bisa, bagaimana kalian akan belajar hal-hal lain?”
“Kita nggak perlu itu,” jawab Al cepat. “Kalau kita nggak bisa, papa yang baca buat kita. Lagian, kita kan anak-anak militer. Nggak butuh belajar banyak.”
“Kalian nggak butuh?” Netha menggeleng pelan. “Dengar, membaca dan menulis itu penting. Kalau nggak bisa, bagaimana kalian mau belajar hal-hal lain?”
“Al...” suara Netha melembut, tapi matanya menatap tajam ke arah anak itu. “Apa kalian tidak ingin sekolah? Bertemu anak-anak lain, belajar bersama? Aku yakin kalian bisa.”
El tiba-tiba angkat bicara, meskipun suaranya pelan. “Aku ingin sekolah,” katanya, membuat Al menoleh dengan kaget.
Ucapan itu membuat Al menoleh tajam ke arah kembarannya. “Kamu mau sekolah?” tanyanya, tampak terkejut.
El mengangguk lagi, kali ini lebih yakin. “Aku ingin belajar baca dan nulis. Tapi aku nggak mau sekolah, malas kalau harus denger anak-anak nangis di kelas.”
Al mendesah keras. “Makanya aku bilang malas sekolah. Anak-anak itu menyebalkan.”
Netha tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kelegaannya. Setidaknya ada harapan untuk El dan mungkin, dengan sedikit usaha, untuk Al juga.
Netha tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku bisa ajari kalian di rumah. Bagaimana?”
“Kamu?” tanya Al, alisnya terangkat. “Apa kamu bisa ngajarin kita? Kamu aja selama ini nggak pernah peduli.”
Kalimat itu terasa seperti tamparan di wajah Netha. Tapi dia tidak marah. Dia tahu anak ini hanya mengatakan apa yang dirasakannya.
“Aku memang salah selama ini,” katanya jujur. “Tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin membantu kalian belajar. Kalau kalian mau, kita bisa mulai besok.”
Al diam, tampaknya mempertimbangkan tawaran itu. El menatap Netha dengan ekspresi yang sulit diartikan, tapi ada secercah harapan di matanya.
“Kalau kamu benar-benar mau ngajarin, aku mau coba,” kata El akhirnya.
“Al?” Netha menatap anak yang lebih cerewet itu.
Al mengangkat bahu. “Aku ikut aja. Tapi kalau bosan, aku nggak mau terusin.”
Netha tertawa kecil. “Deal. Kita coba dulu. Kalau nggak suka, kita cari cara lain. Kita mulai besok.”
Setelah percakapan itu, Netha mencoba mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan mereka di kompleks militer. “Sekarang, bagaimana kalau kalian cerita lebih banyak tentang apa yang kalian lakukan di kompleks militer? Bukankah jika ada papa kalian, kalian selalu ikut bersama nya ke rumah dinas militer?”
El dan Al kembali saling melirik. Kali ini, Al yang memulai.
“Kita biasanya ikut papa olahraga pagi atau sore,” katanya. “Kadang kita diajak keliling kompleks, lihat-lihat tentara latihan.”
“Kalian suka itu?” tanya Netha.
Al mengangguk. “Suka. Kita sering main juga di sana.”
“Tapi kalian nggak pernah cerita banyak,” Netha menatap mereka curiga. “Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan?”
El dan Al saling pandang lagi, lalu Al tertawa kecil. “Nggak ada apa-apa. Semuanya baik-baik aja.”
Netha tidak puas dengan jawaban itu, tetapi ia memutuskan untuk tidak memaksa. Ia hanya ingin mereka merasa nyaman berbicara dengannya, tanpa tekanan.
“Kalau ada yang mengganggu kalian, janji akan cerita, ya?” katanya akhirnya.
El mengangguk pelan, sementara Al berkata, “Kita nggak perlu cerita. Kalau ada masalah, kita bisa selesaikan sendiri.”
“Kadang lebih baik bilang,” Netha mencoba meyakinkan mereka. “Aku di sini untuk membantu kalian.”
Kedua anak itu tidak menjawab, tapi dalam hati Netha bertekad. “Aku harus pelan-pelan mendekati mereka. Anak-anak ini sudah terlalu lama dibiarkan sendiri. Mereka butuh dukungan, dan aku akan memastikan mereka mendapatkannya.”
El tiba-tiba angkat bicara lagi. “Kata papa, kita harus kuat.”
Netha terdiam. Dalam hati, ia merasa marah sekaligus sedih. “Sean, apa yang kamu pikirkan? Anak-anak ini butuh perlindungan, bukan hanya latihan militer.”
Dia menarik napas panjang. “Mulai sekarang, kalau ada yang mengganggu kalian, kalian harus cerita padaku, ya? Aku akan selalu ada untuk kalian.”
El dan Al tidak menjawab, tapi dari cara mereka menunduk, Netha tahu kata-katanya telah menyentuh hati mereka.
Netha dalam hati “Mungkin ini akan sulit, tapi aku harus membuat mereka percaya padaku. Aku harus menjadi ibu yang pantas untuk mereka.”
To be continued…