Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persaingan Serabi Dan Dua Hati Di CFD
Hari itu, aku berdiri di depan ATM dengan pandangan terpaku pada layar. Angka saldo di rekeningku semakin menipis. Biaya kuliah, kebutuhan harian, semuanya terasa semakin berat. Aku menarik napas panjang, mencoba memikirkan jalan keluar. Setelah merenung sejenak, aku memutuskan untuk mencari tambahan penghasilan. Ide pun muncul: berjualan serabi di car free day (CFD) di alun-alun kota Cilacap. Ibuku adalah penjual serabi, dan sejak kecil aku sudah terbiasa membantu beliau. Ini adalah kesempatan yang bisa kugunakan.
Sore itu, setelah pelajaran di kampus selesai, aku langsung bergegas pulang. Aku harus belanja bahan-bahan untuk jualan besok pagi. Saat langkahku tergesa-gesa menuju tempat parkir, Dinda tiba-tiba menghentikanku.
“Mas, kok buru-buru banget? Mau ke mana?” tanyanya, menatapku penuh rasa ingin tahu.
Aku berhenti sejenak, sedikit terkejut melihatnya. “Mau pulang, Din. Ada yang harus aku siapin buat besok pagi,” jawabku singkat sambil melirik jam tangan.
“Besok pagi kan ada rapat IMM, ingat nggak? Jam 10 pagi,” katanya, mengingatkanku dengan nada lembut.
Aku mengernyit, baru sadar kalau aku benar-benar lupa. “Oh iya, ya. Tapi aku nggak janji bisa datang, Din. Kalau sempat, aku datang, tapi kalau nggak, maaf ya.”
Dinda menatapku bingung. “Memangnya besok pagi ada apa? Biasanya kan kalau cuma bantu ibu jualan, jam 9 juga udah selesai.”
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sedikit ragu untuk menjelaskan. “Iya, tapi kali ini beda. Aku mau coba jualan sendiri di CFD. Jadi mungkin nggak keburu kalau harus ke rapat.”
Dinda mengangguk pelan, tampak berpikir. “Kalau begitu, aku bantu aja, Mas. Biar lebih cepat selesai, kamu tetap bisa datang ke rapat.”
Aku tersenyum, merasa terharu dengan tawarannya, tapi aku menggeleng. “Nggak usah, Din. Aku nggak enak kalau harus ngerepotin kamu. Lagipula, ini aku coba sendiri dulu.”
Dia hanya mengangguk kecil, meskipun tampak masih ingin membantuku.
Keesokan paginya, setelah salat Subuh, aku langsung bersiap. Semua bahan dan peralatan sudah kupersiapkan sejak malam. Dengan semangat, aku menuju alun-alun kota. Suasana pagi itu cerah, dan aku mulai menata barang-barang di lapak kecilku. Setelah semuanya siap, aku mulai memanggang serabi satu per satu. Aroma harum serabi yang matang mulai menarik perhatian pengunjung CFD.
Tidak butuh waktu lama, pembeli mulai berdatangan. Awalnya aku masih bisa melayani mereka dengan baik, tetapi semakin siang, lapakku makin ramai. Aku mulai kewalahan, mencoba mengatur pesanan dan memanggang serabi secepat mungkin.
Tiba-tiba, saat aku hampir kehilangan kendali, Dinda muncul di depan lapak. Aku tidak begitu heran melihatnya. Tapi, yang membuatku terkejut adalah Monika, yang datang bersamanya.
“Monika? Kok kamu di sini?” tanyaku heran.
Sebelum Monika sempat menjawab, Dinda lebih dulu menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam. “Ngapain kamu di sini?” tanyanya dengan nada sedikit curiga.
Monika hanya tersenyum santai. “Aku kebetulan lagi ke acara CFD, terus lihat dia kesusahan. Jadi aku pikir, kenapa nggak bantu sekalian?” jawabnya sambil menunjukku.
Dinda menghela napas, seolah tidak percaya. “Ya, tapi dia kan bisa urus sendiri.”
Sebelum perdebatan mereka makin panjang, aku memotong. “Eh, kalian berdua, nggak usah ribut. Kalau memang mau bantu, mending bantu sekarang. Aku beneran nggak bisa handle ini sendirian.”
Mendengar itu, mereka berdua akhirnya diam dan mulai membantu. Dinda mengambil alih bagian melayani pembeli, sementara Monika membantuku memanggang serabi. Meski awalnya canggung, mereka bekerja sama dengan baik. Dalam waktu singkat, semua serabi habis terjual.
Setelah selesai, aku melihat Dinda menatap Monika dengan tatapan serius. “Mon, nggak usah repot-repot datang lagi kalau Mas jualan. Dia pasti bisa sendiri. Lagi pula, aku juga yang lebih sering bantu dia.”
Monika, dengan nada jutek khasnya, menjawab, “Terserah aku dong. Aku kan bebas mau datang atau nggak. Kalau aku mau bantu, ya aku bantu.”
Dinda mengerutkan kening, jelas merasa tidak senang. “Tapi, dia nggak butuh bantuan dari kamu.”
Monika membalas dengan senyum sinis. “Ya, itu urusan aku sama dia. Lagian, aku nggak minta izin ke kamu, kan?”
Aku yang mendengar percakapan itu hanya bisa menghela napas, berusaha tidak terlibat. Aku tahu mereka berdua selalu seperti ini, tapi kali ini aku merasa perlu menyela.
“Sudah, sudah. Kalian nggak usah berdebat soal ini. Kalau aku butuh bantuan, aku bakal bilang kok. Sekarang, terima kasih ya, kalian berdua,” kataku mencoba menenangkan suasana.
Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi ketika aku melihat Dinda dan Monika duduk kelelahan di samping lapak. Aku menyodorkan dua botol minuman dingin kepada mereka. “Ini buat kalian. Makasih banyak, ya. Tanpa kalian, mungkin aku masih keteteran.”
Dinda hanya tersenyum kecil sambil membuka botol minumnya. “Sama-sama, Mas. Lain kali kalau butuh bantuan, bilang aja.”
Monika, dengan senyum khasnya, menambahkan, “Iya, siapa tahu aku lagi iseng dan mau bantu lagi.”
Aku tertawa kecil melihat mereka berdua. Meskipun kelelahan, aku merasa bersyukur. Hari itu bukan hanya soal serabi yang laris manis, tapi juga soal bagaimana orang-orang di sekitarku ternyata selalu siap mendukungku, meskipun dengan cara mereka masing-masing.