"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 | Ryan Terlihat Aneh
“Maaf, Bu. Aku baru pulang dari kerja kelompok.” Dia tidak berani menatap mata ibunya yang seakan bisa menembus setiap kebohongannya.
“Kerja kelompok? Kamu pikir ibu bodoh? Kerja kelompok itu cuma alasan! Kamu tahu, nilai rapot kamu bisa menentukan masa depanmu, kan? Kalau sampai nilai kamu jelek, bagaimana kamu bisa masuk perguruan tinggi favorit ibu?”
Ibu Ryan terus melanjutkan dengan nada yang semakin meninggi, suaranya penuh tekanan pada Ryan. “Kamu harus berusaha lebih keras, Ryan! Jangan seperti ini terus! Ibu nggak mau anak ibu jadi orang biasa! Kamu harus membanggakan ibu, jangan buat malu!”
Ryan menelan ludah, perasaan terjepit di dada. “Iya, Bu. Aku akan belajar lebih keras,” jawabnya pelan, berusaha menenangkan ibunya.
“Belajar keras itu nggak cukup! Kamu harus punya nilai yang luar biasa, kamu harus lulus dengan nilai terbaik! Jangan malas, Ryan! Kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini! Ibu nggak mau anak ibu jadi orang biasa yang nggak bisa sukses!” suara ibunya semakin keras, seolah tak ada hentinya.
“Iya, Bu,” jawab Ryan, mencoba menahan emosi yang mulai meluap.
Rasanya seperti dunia ini hanya dipenuhi oleh harapan ibunya yang tidak pernah ada habisnya. Tidak ada ruang untuk dirinya sendiri, tidak ada ruang untuk pilihan-pilihannya. Ibunya berdiri di depan pintu, matanya masih tajam menatap Ryan, seolah ingin memastikan dia mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
“Kamu harus bisa masuk perguruan tinggi terbaik, Ryan! Ibu nggak mau dengar alasan apa pun! Kalau kamu sampai gagal, ibu bisa malu seumur hidup ibu!”
Ryan hanya bisa mengangguk, merasa sangat tertekan. Setiap kata ibunya seperti beban yang semakin berat di pundaknya. Ia ingin berteriak, mengatakan bahwa ia juga ingin menjadi dirinya sendiri, bukan hanya menjadi apa yang ibunya harapkan. Tapi kata-kata itu tak pernah keluar. Ia hanya bisa menelan semuanya dalam diam.
“Ayo, masuk ke kamar. Jangan buang-buang waktu, belajar saja sampai waktu makan malam!” Ibunya membentak, lalu berbalik dan pergi menuju ruang tamu.
Ryan melangkah pelan ke kamarnya, menutup pintu dengan lembut. Ia berdiri di sana sejenak, mencoba menarik napas panjang. Langit-langit kamarnya terasa semakin dekat, seolah menekan setiap pemikirannya.
Pikirannya kembali melayang ke Aura, gadis yang tak pernah jauh dari pikirannya. Tapi meskipun dia ingin sekali berbagi beban ini dengan Aura, dia tahu saat ini bukan waktu yang tepat. Aura masih belum bisa menerima perasaannya.
...»»——⍟——««...
Bruk!
Ryan meletakkan tasnya di atas meja, lalu mengambil buku catatan dan alat tulisnya. Dengan serius, ia membuka buku itu dan mulai membaca setiap halaman, mencatat beberapa hal di sana. Suasana pagi ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada canda tawa khas Ryan yang biasanya menggangguku. Hanya suara bolpoin yang menyentuh kertas dan sesekali ia menghela napas. Aku hanya bisa menatapnya dari mejaku yang bersebelahan dengannya, merasa ada yang aneh, ada jarak yang tak biasanya di antara kami.
“Ryan, serius sekali belajarnya. Apa hari ini ada ulangan?” tanyaku dengan nada basa-basi, berusaha menghilangkan keheningan yang mulai mencekam.
Aku tahu dia bukan tipe yang serius di pagi hari seperti ini. Ryan itu lebih sering menggoda atau sekadar berbicara tentang hal-hal konyol di luar pelajaran.
“Nggak, kok. Aku cuma mau belajar materi yang kemarin,” jawab Ryan singkat, tanpa menoleh ke arahku.
Suaranya terdengar agak datar, seolah tak ingin diganggu. Aku tahu dia sedang fokus, tapi kenapa rasanya suasana ini semakin aneh?
“Oh,” jawabku, mengangguk, meskipun dalam hati aku tetap merasa ada yang janggal.
Kenapa Ryan yang biasanya ceria dan suka mengajak bicara malah mendiamkan aku pagi ini? Ada yang berbeda darinya, dan aku tidak tahu apa itu.
Aku kembali memutar pandanganku ke arah jendela. Dari sana, aku bisa melihat pohon besar di luar kelas, yang daunnya mulai berguguran satu per satu. Aku memperhatikan dengan seksama setiap daun yang jatuh, terasa begitu lambat, seolah-olah waktu berjalan mundur. Daun-daun yang berguguran itu seperti pertanda bagiku.
Sejak kecil aku sering mendengar bahwa setiap orang punya pohon kehidupan masing-masing. Dan saat daun terakhir pada pohon itu jatuh, artinya kehidupan kita juga berakhir saat itu juga. Sejenak, aku merasa pohon yang ada di sebelah kelas ini adalah pohon kehidupanku. Apakah aku sudah mencapai daun terakhir? Apakah semua yang terjadi sekarang adalah pertanda bahwa hidupku sedang menuju akhir?
Pikiranku melayang jauh, terjebak dalam bayangan tentang hidup dan kematian, tentang masa depan yang belum pasti. Aku merasa pohon itu seperti menjadi simbol dari segala hal yang tidak bisa aku kontrol. Setiap daun yang jatuh mengingatkan aku pada sisa waktu hidupku yang tak lama lagi.
Kring!
Suara bel masuk sekolah yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Semua siswa yang berada di luar mulai masuk satu per satu, obrolan mereka terdengar keras, mengisi ruang kelas dengan suara tawa dan percakapan yang tidak bisa lagi aku dengar jelas. Meski suasana kelas mulai kembali hidup, pikiranku masih tersangkut pada pohon besar di luar jendela. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang terhenti di sana, di antara daun-daun yang berguguran, sementara dunia di sekitarku terus berjalan.
Ryan menoleh sebentar ke arahku, mungkin merasakan bahwa aku tidak sepenuhnya ada di sana. “Aura, kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan suara lembut, namun ada kekhawatiran yang tergambar di matanya.
Aku terkejut, langsung mengalihkan pandangan dari jendela dan menatapnya. “Ah, iya,” jawabku cepat, berusaha terlihat normal.
Suasana di sekitar mulai ramai, beberapa teman mulai duduk di tempat mereka masing-masing, membuka buku dan mempersiapkan diri untuk pelajaran. Namun, guru yang mengisi pelajaran pertama belum tiba. Ruangan itu terasa semakin padat dengan kebisingan, namun di dalam diriku, ada ruang hampa yang hanya dipenuhi dengan percakapanku dengan Ryan.
Ryan menatapku lagi, seolah menunggu aku untuk kembali sadar dari lamunan. Setelah beberapa detik, dia akhirnya membuka mulut.
“Aku ingin mengatakan sesuatu pulang sekolah nanti,” ucap Ryan, suaranya terdengar serius, meskipun tidak terlalu terburu-buru.
Aku mengernyit, merasa ada yang janggal dengan kalimatnya. “Pulang sekolah?” Aku berpikir sejenak, mencoba mencerna maksudnya. “Maaf, Ryan. Aku sudah ada janji lain. Kamu ingat, kan kalau aku mendaftar klub memasak? Hari ini pertemuan pertama klub itu.”
Ryan terlihat sedikit terkejut, tapi tidak menunjukkan kekecewaan. “Oh, ya, benar. Aku lupa.” Dia tersenyum tipis, meski ada sedikit kerutan di dahinya. “Nggak apa-apa, nanti kita bisa bicara di lain waktu.”
...»»——⍟——««...
(✊ cemunguuutt otor..!! selalu kutunggu up'nyaa..)